Minggu, 14 Februari 2010

Wisma Pedang

Di sini adalah sebuah pekarangan yang sangat luas.
Langit mulai terlihat gelap, karena hari memang sudah sore.
Wisma itu adalah sebuah wisma tua, di sana sini banyak kayu-kayu penyangga rumah yang patah dan gentingnya juga sudah banyak yang pecah. Sebagian malah sudah terbakar menjadi abu, tapi yang utuhpun masih ada.
Dahulu wisma ini pernah berjaya dan juga terkenal, sekarang di bawah sinar matahari terbenam, wisma itu terlihat sepi dan merana.
Di dalam wisma itu ada sebuah ruangan yang sudah ambruk dan hancur, ruang tamu di wisma itu begitu luas. Di bagian atas rumah masih terpasang papan nama. Dulu papan itu dicat dengan warna terang benderang. Tapi sekarang papan itu terlihat sudah usang, malah sudah terbelah menjadi dua bagian. Sudah tertutup oleh debu dan sarang laba-laba. Tapi dari papan itu masih bisa terbaca sebuah tulisan kaligrafi yang indah dengan tulisan ’Shi Jian’. Tulisan itu terdapat di bagian papan yang terjatuh dan tertutup oleh debu, sedangkan di bagian papan yang lain tertulis ’Tian Xia’ (dikolong langit).
’Shi Jian Tian Xia’ memiliki makna tinggi dan juga berkesan sombong, dan begitu berjaya. Ditambah lagi dengan tulisan kaligrafi yang ditulis dengan sangat bagus dan bertenaga. Mungkin dulu para tamu dunia persilatan pada saat melihat papan itu tergantung tinggi, hati mereka akan tergetar! Tapi sekarang keempat huruf itu terbagi menjadi dua yang tampaknya terbelah dengan pukulan.
Selama 300 tahun ini, kalangan persilatan yang berani menggunakan kata ’Shi Jian Tian Xia’, kecuali Shi Jian Shan Zhuang (Wisma Pedang), tidak ada yang lainnya.

0-0-0

Di depan wisma itu ada sebuah batu besar, dan tampak ada dua orang yang sedang duduk di sana.
Dua orang itu berwajah biasa tapi terlihat penuh dengan kekhawatiran. Mereka adalah dua orang anak muda yang sama sekali tidak peduli dengan keadaan dunia ini.
Kedua tubuh anak muda itu dipenuhi dengan rumput kering, tanah, dan serbuk kayu. Sepertinya mereka sudah berguling-guling di rerumputan, sepertinya juga pernah tidur di tempat yang penuh dengan tanah, dan juga sepertinya pernah bergulat di tempat yang penuh dengan serbuk gergaji.
Pemuda yang satu berperawakan tinggi dan hitam, wajahnya masih terlihat lugu, tapi juga terlihat kalau dia seorang pemberani, bisa bertahan menghadapi semua masalah hidup, tapi matanya terlihat lesu.
Sedangkan yang satu lagi penampilannya seperti seorang pelajar, hidungnya mancung, bibirnya tipis, sepertinya dia bersifat keras. Dia seperti seorang pak tua yang sudah kelelahan.
Mereka berdua duduk saling berdampingan. Mereka tidak saling pandang, dan juga tidak memperhatikan keadaan temannya. Mereka seperti tidak pernah hidup di dunia ini. Sepertinya apa yang terjadi di dunia ini tidak ada hubungannya dengan mereka.

0-0-0

Mereka tampak sedang menunggu datangnya sore.
Tapi sebelum matahari terbenam, terdengar ada derap langkah kuda berlari ke arah mereka.
Dari suara derap langkah kuda itu, sepertinya kuda itu tidak berlari dengan cepat juga tidak lambat, seperti irama musik keras, tapi bercampur dengan irama lembut, irama ini begitu menggetarkan perasaan setiap orang yang mendengarnya.
Kedua orang itu mengangkat kepala untuk melihat, terlihat di Xi Shan di bawah sinar matahari yang akan tenggelam, seperti sudah dipoles dengan warna merah darah.
Pemuda pertama berkata, ”Hari masih sore tapi sudah ada yang datang.”
Pemuda kedua menggelengkan kepalanya, ”Sepertinya itu bukan mereka.”
Suara kuda terdengar sudah berada di depan wisma, langkah kuda mulai melambat, kaki kuda itu berbulu putih bersih dan terlihat sehat. Masih ada beberapa ekor kupu-kupu yang terbang di dekat kaki kuda.
Kemudian terlihat seseorang berbaju dan bersepatu putih turun dari kuda, daun yang tertiup angin melewati baju putihnya, terbang beberapa saat kemudian terjatuh lagi, tapi hal itu sama sekali tidak menganggunya.
Kedua pemuda itu saling pandang, kemudian mereka menundukkan kepala lagi. Sepertinya mereka tidak mau tahu apa yang terjadi di sekitar sana, tampak mereka sedang terkantuk-kantuk.
Orang itu turun dari kudanya, kemudian melihat sebentar ke atas, langit yang mulai gelap, dengan ramah dia bertanya, ”Apakah tempat ini adalah Shi Jian Shan Zhuang yang dulu sangat terkenal?”
Kedua pemuda itu tidak bergerak, sepertinya mereka tidak mendengar ucapan orang itu.
Orang itu tidak marah, dengan ramah dia bertanya lagi.
Kedua pemuda itu mengangkat kepala dan saling pandang, tapi mereka tetap tidak menjawab.
Orang itu tampak tersenyum, mengulangi kembali pertanyaannya, dia sudah bertanya 3 kali berturut-turut.
Akhirnya pemuda yang tinggi dan besar itu menunjuk ke arah papan nama dan berkata, ”Apakah kau tidak bisa melihatnya sendiri?”
Orang itu melihat sebentar ke arah yang ditunjuk, tiba-tiba dia tertawa dan berkata, ”Siapakah nama dan marga kalian?”
Pemuda yang bersikap agak dingin itu berkata, ”Lebih baik kau pergi dari sini, kalau tidak kau akan terbunuh di sini.”
Tanya orang itu, ”Apakah disini akan terjadi sesuatu?”
Pemuda tinggi besar itu marah, ”Mengapa kau begitu cerewet?”
Pemuda yang tampak dingin itu malah tertawa dingin, ”Apa yang akan terjadi di sini, kalau kau tahu apa yang akan terjadi di sini kau akan terkejut hingga terkencing-kencing, lalu lari terbirit-birit dari sini!”
Orang itu tertawa, ”Kalau begitu ceritakanlah, mungkin kenyataannya tidak begitu menakutkan seperti yang kau kira!”
Pemuda yang tampak agak dingin itu kembali tertawa dingin, ”He! He! He!”
Pemuda tinggi besar itu berkata, ”Hayo, cepat pergi!”
Orang itu tampak berpikir sebentar, dia membalikkan tubuh dan berjalan ke arah kudanya yang putih, dan berkata, ”Oh ternyata kalian tidak berani memberitahuku karena orang yang akan datang itu sangat lihai.”
Pemuda yang terlihat dingin itu segera berdiri dan membentak, ”Kau bilang apa! berdiri di tempatmu!”
Pemuda tinggi besar itu berkata, ”Apa? Siapa yang bilang kami tidak berani mengatakannya! Baiklah, kalau begitu akan kuberitahu---di Jiang Nan, di kalangan persilatan golongan putih dan hitam, orang mempunyai kekuatan besar dan namanya terkenal, dan paling sulit dihadapi, adalah siapa? Apakah kau mengetahuinya?”
Orang itu tertawa, ”Kalau sampai Qian Shou Wang (Raja bertangan seribu) Zuo Qian Zhen saja tidak tahu, aku tidak akan bisa bertahan hidup di dunia persilatan!”
Pemuda yang terlihat dingin itu berkata, ”Tidak disangka, kau juga tahu hal ini, kalau begitu kau pasti tahu juga Zuo Shou Zhen yang tidak terkalahkan di dunia ini, ilmu silatnya berada di atas semua pendekar, apa kau tahu apa alasannya?”
Orang itu tampak berpikir sebentar dan menjawab, ”Karena dia mempunyai seorang istri yang baik dan dua orang murid yang sangat membantunya.”
Pemuda tinggi besar itu tertawa dingin dan berkata, ”Masih ada lagi, dia masih mempunyai 9 orang pembantu yang paling sulit diajak bicara!”
Orang itu bertanya, ”Maksudmu, Jiu Da Gui (9 setan besar)?”
Pemuda dingin itu berkata, ”Benar, sebentar lagi yang akan datang adalah salah satu dari Jiu Da Gui yang bernama Yi Dao Zhan Qian Jun (sebilah golok memenggal, seribu prajutir), Sun Tu.”
Pemuda tinggi itu berkata lagi, ”Masih ada lagi, seorang anak buah Sun Tu yaitu Si Da Dao Mo (4 orang besar golok siluman), apakah kau tahu asal usul Si Da Dao Mo?”
Orang itu tertawa, ”Mereka? Qi Qing Feng adalah keturunan dari Qi Men Jin Dao, dia adalah pengkhianat perkumpulannya. Li Xue Hua berasal dari Xue Men Pai, murid perempuan dari Nian Dou Men, dia adalah seorang perempuan jalang. Mu Lang Shan adalah keturunan dari Lang Hua Dao Fa, dia mendapatkan ilmu silat secara langsung dari Cang Lang Lao Ren, tapi dalam hal membunuh dia senang membakar perempuan, lengkaplah semua kejahatannya. Tang Shan Jue adalah wakil ketua Di Tang Dao Fa, ilmu goloknya sangat lihai, katanya Qi Qing Feng, Li Xue Hua, Mu Lang Shan, dan Tang Shan Jue, keempat orang ini sudah berada di bawah kekuasaan Tu Tian Mo, mereka sangat kejam, semua kejahatan sepertinya sudah pernah mereka lakukan.”
Pemuda tinggi itu dengan pandangan aneh berkata, ”Ternyata kau tahu sangat banyak.”
Pemuda dingin itupun berkata, ”Berani bicara seperti itu, berarti kau termasuk orang yang lumayan pemberani.”
Orang itu tertawa, ”Kalau di dunia persilatan tidak ada yang berani marah, semua pahlawan dan pendekar akan menjadi kura-kura yang cuma bisa tinggal di dalam batoknya. Apakah di dunia persilatan ini bisa masih ada keadilan?”
Pemuda tinggi besar itu terpaku, ”Kau begitu berani, tapi kau tetap bukan lawan Sun Tu dan Si Da Dao Mo, lebih baik kau segera pergi dari sini!”
Orang itu bertanya, ”Tapi..mengapa kalian masih berada di sini?”
Wajah pemuda tinggi besar itu berekspresi yang sulit dimengerti, dia duduk kembali sambil menatap langit yang semakin gelap dan berkata, ”Kami? Kami hanya tinggal menunggu kematian di sini.”
Tanya orang itu, ”Apakah kau sedang menunggu Sun Tu yang membawa orang-orangnya, lalu menunggu mereka membunuhmu?”
Pemuda tinggi itu menjawab, ”Tiga tahun lalu, di Pin Jiang pada sebuah pertandingan silat, aku melihat dia menyerang orang yang sudah terluka dan dia ingin membunuh orang itu tanpa alasan sedikitpun, sudah tentu ini melanggar aturan dunia persilatan. Karena itu aku segera naik ke atas panggung untuk menolong.” dia tertawa dingin, lalu melanjutkan ceritanya, ”Tidak ada seorang juga yang mau membantuku membawa orang yang sedang terluka itu ke rumah panitia, aku sendiri yang bertarung melawan Sun Tu, kemudian Sun Tu dibantu oleh Si Da Dao Mo, mereka memukulku hingga aku terluka parah. Semua pendekar yang melihatnya, tapi tidak ada seorangpun yang berani tampil untuk membantuku, malah ada yang menghalangiku melarikan diri..akhirnya aku bisa melarikan diri. Aku juga tahu ternyata panitia malah sudah membunuh orang yang terluka itu dengan tujuan menjilat Sun Tu.” Tangannya terkepal dengan erat dan urat-urat hijaunya bertonjolan.
Orang itu terdiam sebentar. Dia membalikkan kepalanya melihat pemuda dingin yang sedang berdiri dengan tegak. Dia sedang menatap langit dan orang itupun bertanya, ”Bagaimana dengan dirimu?”
Pemuda dingin itu tertawa dingin, ”Apa maksudmu? Aku telah mengalami banyak peristiwa yang menyedihkan, kau ingin mendengarkan cerita yang mana?”
Orang itu hanya bisa menjawab, ”Oh!” Dia berkata lagi, ”Kalau begitu ceritakan kepadaku mengapa bermusuhan dengan Sun Tu?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar