Minggu, 14 Februari 2010

Tamu aneh bingkisan unik

BAB 1

Membasmi Tujuh Pembunuh

Genting yang sudah pecah, kayu yang sudah lapuk, ranting-ranting tampak layu dan daun-daunan tampak berguguran. Benda-benda yang dibakar tiada habisnya…. Tadinya di sana ada sebuah pagoda terkenal. Pelancong dan pengunjung terus-menerus datang memenuhi tempat itu. Sekarang pagoda itu seperti benda yang sudah tidak terpakai lagi.
Pagar-pagar yang mengelilingi pagoda itu hilang entah ke mana, bangunan pagodapun hanya tinggal separuh, karena bagian atas pagoda sudah roboh. Semenjak ada kabar yang mengatakan di atas pagoda sering muncul binatang aneh, suasana di sana jadi bertambah sepi lagi. Sekalipun itu di pagi hari sangat sulit menemui satu manusia di sana.
Itu semua adalah gambaran Pagoda Su Zhou Rui Guang. Tidak ada yang tahu mengapa pagoda itu bisa berubah menjadi seperti itu. Sepertinya setiap orang hampir melupakan keberadaan pagoda itu.
Tapi hari ini ada seseorang yang datang ke sana. Orang itu tampak duduk malas-malasan di tangga batu di depan pagoda yang bangunannya hanya tinggal separuh itu. Sepertinya dia sedang menikmati sinar matahari di musim semi, tapi bila diteliti dengan seksama, orang itupun seperti benda yang sudah tidak terpakai. Sedikitpun tidak memberikan kehidupan kepada pagoda itu.
Usianya sekitar 25-26 tahun, wajahnya tampan, tapi rambutnya berantakan dan kumal. Bajunya compang camping, kalau tidak melihat cara duduknya yang gagah dan masih terlihat sikap angkuhnya, orang itu tidak ada bedanya dengan pengemis biasa.
Di sisinya tersimpan sebuah pedang panjang, tapi posisinya sekarang terlihat lebih diam dari pedang yang diletakkan di sisinya. Dia duduk menyandar di tangga batu itu, lama tidak bergerak seperti sebuah patung manusia yang tidak bernyawa. Terlihat seekor tikus besar tanpa rasa takut berjalan mondar mandir di bawah kakinya. Bahkan tikus itu masih berani mengendus-endus kakinya, mungkin karena tidak tercium bau manusia atau karena tikus itu tidak pernah melihat manusia sebelumnya maka dia tidak takut kepada orang itu, tikus itu mulai bergerak ke atas kakinya.
Dia terus melihat gerakan tikus itu, terlihat dia mulai tersenyum, senyumnya terlihat oleh si tikus, tikus itu jadi tidak beranjak naik dan mulai mengendus-endus lagi, tikus itu siap melarikan diri.
“Puh!”
Dahak yang keluar dari mulutnya seperti sebuah panah yang meluncur ke arah kepala tikus itu.
Tikus itu seperti terpanah hanya terdengar suara, “Ciiit!” tikus itu bergerak-gerak sebentar kemudian mati.
Setelah itu barulah orang itu menggerakkan tangan dan kakinya, dan memungut tikus yang sudah mati itu dan melemparnya ke belakang.
Ternyata di tempat duduknya tadi terlihat banyak tikus yang sudah mati semuanya berjumlah 7 ekor, tampak gemuk-gemuk beratnya kurang lebih ada setengah hingga satu kilogram satu ekornya.
Mengapa dia harus membunuh tikus-tikus itu?
Dia mempunyai alasannya.
Diapun mulai mencari pasir di dekat sana kemudian menaburkan pasir itu di atas tubuh tikus yang sudah mati, setelah itu baru dia menguliti kulit tikus itu satu per satu hingga bersih, membuang kepala, ekor, dan kaki tikus dengan pedangnya. Tidak lupa organ dalam tikus itupun dibuang, dan dicuci hingga bersih di sebuah sungai kecil yang ada di dekat sana. Di depan pagoda dia menyalakan api, lalu diapun memanggang daging tikus yang sudah dibersihkan lalu ditaburi dengan bumbu.
Hanya satu kalimat yang bisa menjelaskan semuanya, dia memanggang semua tikus itu untuk menjadi santapan.
Begitu ketujuh ekor tikus putih itu dipanggang hingga kecoklatan dan mengeluarkan harum yang sedap, dari dalam pagoda dia mengambil seguci arak, serta 8 cawan arak dari balik baju bagian dadanya. Kemudian cawan-cawan itu disusunnya membentuk lingkaran seperti menata di sebuah meja untuk diadakan pesta.
Setelah itu dia menatap langit dan berkata pada dirinya sendiri, “Sudah hampir pukul 12, tamu-tamu akan segera datang.”
Baru saja dia selesai bicara dari belakangnya terdengar suara serak sambil tertawa orang itu berkata, “Hei! Hei! Hei! Aku sudah tiba!”
Diiringi suaranya muncul seorang pak tua dari dalam pagoda.
Pak tua itu terlihat sudah sangat tua, dia mengenakan sebuah topi yang terlihat sangat usang, mengenakan baju berwarna abu, alisnya pendek dan jarang. Matanya sipit, wajahnya penuh dengan kerutan dan tampak sedikit bengkak, dia memegang sebuah tongkat yang bentuknya aneh. Sepertinya dia tukang minum dan hidupnya seperti tidak bersemangat.
Pemuda itu hanya melihatnya sekilas kemudian meneruskan kegiatan memanggang tikus-tikus itu, dia bertanya, “Apakah kau Lau Wen Sheng?”
Pak tua itu tertawa dan menjawab, “Benar!”
“Silakan duduk!”
Lau Wen Sheng tertawa dan duduk di depan ‘meja pesta’, dia melihat ada 8 cawan arak di sana, dia bertanya, “Apakah masih ada tamu lainnya yang akan datang?”
“Benar.”
Lau Wen Sheng tertawa, tampak giginya yang berwarna kekuningan, “Aku mengira kau hanya mengundangku…Siapa keenam orang lainnya?”
“Teman-temanmu.”
“Aku tidak mempunyai teman!”
“Mereka seprofesi denganmu, menurut orang-orang walaupun seprofesi tapi biasanya akan terjadi bentrokan, meski hal itu masih bisa dikategorikan sebagai teman.”
Wajah Lau Wen Sheng tampak sedikit berubah, “Mereka adalah….”
“Ren Lang, Xi Men Bao (Manusia serigala, Xi Men Bao), Tie Ci Wei Ma Si (Landak baja Ma Si), Fu Qin Fu Ren (Nyonya pemain kecapi), Yin Po Po (Nenek Yin), Hong Hai Er (Anak merah), dan Bu Kong Sheng (Biksu tidak kosong).”
Lau Wen Sheng tampak mengerutkan dahinya lalu dia bertanya, “Apakah benar mereka akan datang?”
“Seperti dirimu merekapun pasti akan datang.”
Lau Wen Sheng mengedipkan matanya lalu bertanya, “Mengapa kau yakin kalau aku pasti akan datang?”
Pemuda itu balik bertanya, “Lalu mengapa kau mau datang?”
“Karena aku menerima sebuah undangan, orang yang mengundangku bukan orang terkenal, tapi namanya sangat aneh, karena merasa aneh maka aku ingin tahu siapa orang itu.”
“Benar, keenam orang yang lainnya juga beralasan seperti itu, mereka pasti akan datang untuk menepati undangan itu.”
Lau Wen Sheng mulai menatap pemuda itu sungguh-sungguh lalu dia bertanya, “Xin Suan? Apakah namamu adalah Xin Suan?”
“Benar.”
“Coba jelaskan, mengapa namamu adalah Xin Suan (sedih)?”
“Hatiku selalu diliputi dengan kesedihan, karena itu aku membutuhkan ketujuh pembunuh seperti kalian untuk membantuku.”
“Hargaku membunuh orang sangat tinggi, aku takut kau tidak akan mampu membayarku dengan harga tinggi.”
“Belum tentu.”
“Tidak ada harga, hal lain tidak perlu dibicarakan lagi.”
“Belum tentu!”
“Baiklah, katakan apa yang membuatmu sedih?”
“Kita tunggu mereka datang, setelah semuanya sudah lengkap, aku baru akan mengatakannya.”
Lau Wen Sheng dengan dingin menatap tikus yang ditusuk seperti sate itu dan bertanya, “Kau memanggang tikus-tikus itu untuk menjamu kami?”
Xin Suan mengangguk, “Benar, uangku hanya cukup untuk membeli seguci arak, aku rasa daging tikus panggang ini sangat lezat, cocok bila ditemani dengan arak!”
Lau Wen Sheng tidak yakin kalau daging tikus adalah daging yang enak, malah timbul perasaan tidak enak di dalam hatinya. Karena itu dia segera berdiri dan berkata, “Kalau bukan karena kau masih muda, aku benar-benar ingin menghajarmu!”
Setelah itu dia membalikkan badan siap berlalu dari sana.
Xin Suan tersenyum, “Sudah datang satu orang lagi, apakah kau tidak mau bertemu atau mengobrol terlebih dulu dengan teman-teman seprofesimu?”
Lau Wen Sheng berhenti melangkah, dia melihat ke arah utara, tampak datang seseorang mengenakan baju berwarna merah, orang itu melangkah dengan cepat dari arah utara.
Hanya membutuhkan waktu singkat orang itu sudah berada di depan pagoda.
Ternyata yang datang adalah seorang anak tanpa alas kaki, tapi bila orang itu disebut sebagai anak rasanya tidak pantas, karena bila diteliti, sebenarnya usia orang itu sekitar 35 tahun, hanya saja tubuhnya kecil dan pendek, dia tidak mempunyai kumis. Ditambah lagi wajahnya terlihat seperti anak-anak, dan baju yang dikenakannyapun adalah baju anak-anak berwarna merah, karena semua penampilannya itu memberikan kesan kalau dia masih kecil.
Lau Wen Sheng segera mengurungkan niatnya untuk meninggalkan tempat itu, dia menyapa orang yang baru datang, “Hong Hai Er, sudah lama kita tidak bertemu!”
Hong Hai Er memberi hormat dan berkata, “Lau Wen Sheng, mengapa kaupun bisa berada di sini?”
“Aku adalah salah satu tamunya.”
Hong Hai Er menanggapi, “Oh!” kemudian dia bertanya, “Apakah kau adalah Xin Suan yang mengirim undangan itu?”
Xin Suan tampak asyik memanggang daging tikus itu, tapi dia tetap menjawab, “Benar!:
Sikapnya terlihat sangat angkuh!
Tapi Hong Hai Er tidak marah, dia malah tertawa dan berkata, “Kau yang mengirim undangan itu, apakah kau akan mengadakan perdagangan denganku?”
Xin Suan mengangguk.
“Katakan perdagangan apa itu?”
“Kalau para tamu sudah datang semua, baru akan kukatakan.”
Hong Hai Er melihat ‘meja pesta’ yang ada di bawah, dia tertawa dan bertanya, “Kau mengundang orang lain?”
Lau Wen Sheng yang menjawab, ”Dia masih mengundang Ren Lang Xi Men Bao, Fu Qin Fu Ren, Tie Ci Wei Ma Si, Yin Po Po, dan juga Bu Kong Sheng!”
Hong Hai Er berteriak, “Ya, Tuhan! Semua pembunuh diundang. Jika kau tidak mempunyai 300-500 ribu tail perak, mana mungkin kau bisa membayar kami?”
Kata Xin Suan, “Bu Kong Sheng sudah datang.”
Di depan mereka muncul seorang biksu tua dengan tongkatnya.
Bu Kong Sheng!
Bu Kong Sheng berumur kurang lebih 50 tahun, dia terlihat tampan, baik hati juga ramah. Yang tidak tahu sifat aslinya tentu akan tertipu oleh penampilannya dan akan menganggap kalau dia adalah seorang biksu yang baik hati.
Sikapnya memang seperti seorang biksu dengan posisi tinggi. Begitu tiba di depan pagoda, dia menyapa Hong Hai Er dan Lau Wen Sheng dengan sopan. Dengan satu tangan di depan dadanya dia memberi hormat, “A Mi Ta Ba! Sudah beberapa tahun ini kita tidak bertemu, bagaimana kabar kalian?”
Lau Wen Sheng tertawa dan berkata, “Aku tidak seperti Anda yang bernasib baik. Selama setahun Anda sudah mendapatkan keuntungan sekitar 500-600 ribu tail perak, apakah benar?”
Dengan rendah hati Bu Kong Sheng menjawab, “Tidak!Tidak! Aku hanya seorang biksu, aku tidak berani berbuat serakah. Aku hanya mendapatkan keuntungan sekitar 400 ribu tail perak lebih.”
Hong Hai Er menarik nafas berkata, “Tahun kemarin aku hanya mendapatkan keuntungan sekitar 200 ribu tail. Aku merasa heran, jaman sudah berubah, hati orangpun ikut berubah. Mereka lebih senang menyewa seorang biksu untuk menjadi pembunuh. Besok, atau lusa, rasanya akupun akan mencukur rambutku hingga botak dan menjadi biksu!”
Tiba-tiba terdengar derap langkah kuda ke arah mereka!
Hanya dalam waktu sebentar kuda itu sudah mendekati tempat mereka. Dari jarak beberapa puluh meter, orang itu sudah melompat dari sadelnya, dan terbang seperti seekor elang lalu mendarat di depan mereka!
Kepala dan matanya besar. Wajahnya penuh dengan cambang. Tingginya kurang lebih ada 7 kaki. Dari orang yang ada di sana tingginya lebih dari satu kepala. Dia tampak kokoh seperti sebuah pagoda!
Orang ini adalah salah satu pembunuh yang paling ditakuti orang-orang dunia persilatan—Tie Ci Wei Ma Si.
“Tuan Ma, Anda sudah datang!”
Suaranya baru terdengar, dari belakang pagoda terdengar ada yang tertawa kemudian muncul seorang nenek yang sedang berjalan ke arah mereka!
Yang baru datang itu adalah Yin Po Po (Nenek Yin).
Hong Hai Er bertepuk tangan dan berkata, “Sangat baik! Tidak disangka, tujuh orang pembunuh bisa berkumpul di sini, ini benar-benar hari yang baik!”
“Ren Lang dan Fu Qin Fe Ren belum datang,” jelas Lau Wen Sheng.
“Aku sudah datang!”
Suaranya terdengar seperti teriakan serigala, dari ratusan langkah sudah terdengar!
“Tenaga dalam Xi Men Bao semakin kuat,” kata Yin Po Po.
“Terima kasih atas pujian Kakak!”
Suaranya baru terdengar, orangnya sudah muncul dengan baju hijau seperti membawa cahaya ke depan pagoda.
Dia adalah Ren Lang, Xi Men Bao!
“Hanya tinggal Fu Qin Fu Ren yang belum datang,” kata Hong Hai Er.
Suara Tie Ci Wei Ma Si besar seperti guntur, dia berkata, “Fu Qin Fu Ren yang paling sombong tapi selalu terlambat datang!”
“Dengar! Dia juga sudah datang!” seru Bu Kong Sheng.
Terdengar suara kecapi sayup-sayup dari kejauhan, seseorang dengan sosok seperti dewi terbang mendarat di depan pagoda.
Itu adalah kecapi bersenar 7!
Jika diperhatikan suara kecapi yang dipetik terdengar sangat sedih, hanya ada kesedihan bukan kemarahan. Kesedihan tidak akan melukai orang. Seperti seorang perempuan yang merindukan kekasihnya!
Tie Ci Wei Ma Si melihat sekeliling dan berkata, “Perempuan itu mulai bersikap cengeng lagi.”
Sesudah itu dia segera duduk bersila dan memejamkan mata. Dengan penuh konsentrasi dia menolak godaan suara kecapi itu.
Lau Wen Sheng, Ren Lang, Hong Hai Er, Bu Kong Sheng dengan cepat duduk bersila dan wajah mereka terlihat sangat serius, seperti sedang menghadapi musuh besar yang akan datang.
Hanya Xin Suan dan Yin Po Po seperti tidak mendengar suara itu. Mereka seperti tidak peduli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar