Bab 1.
Nyawa terbang sukma buyar.
Bulan tiga, hujan gerimis membasahi wilayah Kanglam.
Berdiri seorang diri ditengah guguran bunga.
Burung walet melintas ditengah hujan.
Ketika sepasang burung walet terbang melintas diatas dinding pekarangan, Siang Huhoa masih berdiri seorang diri ditengah halaman.
Butiran air hujan telah membasahi pakaiannya, namun dia seolah belum merasa, wajahnya kusam, kesepian.
Pancaran sinar matanya sayu dan kesepian, dia tidak memandang guguran bunga di sekelilingnya, pun tidak mengejar burung walet yang terbang berpasangan, sorot mata itu hanya tertuju keatas sepucuk surat, surat yang berada ditangannya.
Selembar kertas berwarna putih, dengan tulisan berwarna hitam.
Setiap huruf yang tertera nyaris meliuk tidak beraturan, seakan si penulis surat sedang tercekam rasa takut dan ngeri yang luar biasa, demikian takutnya hingga batang pit juga tidak sanggup digenggam kencang.
Mungkin semuanya adalah sebuah kenyataan. Sebab surat itu adalah sepucuk surat permohonan minta tolong.
Laron Penghisap Darah tiap hari mengintai, nyawa kami berada diujung tanduk!!!
Betapapun besarnya nyali Siang Huhoa, tidak urung bergidik juga setelah membaca sampai disitu.
“Laron penghisap darah? Apa itu Laron penghisap darah?”
Berapa saat dia termenung, paras mukanya yang semula kusam karena kesepian, kini telah berubah jadi penuh keragu-raguan, penuh rasa sangsi, setelah buru-buru menyelesaikan pembacaan surat itu, dia segera beranjak dari tempat itu.
Langkah kakinya amat ringan, seringan bunga yang berguguran.
Diujung kebun bunga sebelah depan, berdiri sebuah gardu kecil, dua orang gadis secantik bunga, selembut tangkainya, sedang duduk santai di dalam gardu.
Suara mereka indah, merdu bagaikan kicauan burung nuri, senyum mereka pun cerah, secerah bunga dimusin semi.
Bahkan nama mereka pun mengandung arti yang tidak jauh dari jenis bunga.
Siau-tho mengenakan pakaian serba merah, paras mukanya putih lembut, Siau-sin meski mengenakan pakaian yang sederhana, paras mukanya justru lebih mirip bunga tho ketimbang wajah Siau-tho.
Sebenarnya mereka berdua adalah dua ekor lebah jahat, penyamun wanita yang seringkali malang melintang disepanjang sungai Tiangkang, orang menyebutnya Heng-kang It-ok Li-ong-hong (Seonggok lebah ratu dari sungai besar), tapi sekarang, mereka lebih lembut ketimbang kupu kupu, berdiam dalam perkampungan Ban-hoa-ceng dan selalu melayani kebutuhan Siang Huhoa.
Hal ini bukan lantaran Siang Huhoa pernah selamatkan nyawa mereka, tapi justru karena Siang huhoa adalah idola mereka, Enghiong mereka, kuncu diantara kaum penyamun!
Mereka menyebut diri sebagai budak bunga dari Ban-hoa-ceng (perkampungan selaksa bunga), pelayan Siang Huhoa.
Sementara Siang Huhoa sendiri selalu menganggap mereka sebagai temannya, sahabat karibnya.
Tidak lebih tidak kurang hanya sebagai sahabat. Inilah satu-satunya persoalan yang membuat mereka tidak puas.
Biarpun begitu mereka tetap gembira, asal masih bisa berdiam dalam perkampungan selaksa bunga, mereka tetap gembira, tetap merasa puas.
Aneka bunga selalu mekar di perkampungan Ban-hoa-ceng, mekar di empat musim, begitu pula dengan senyuman diwajah Siang Huhoa, senyum yang riang selalu menghiasi bibirnya sepanjang tahun.
Mereka senang bunga, tapi lebih senang melihat wajah Siang Huhoa yang ramah, dengan senyuman yang memikat hati.
Tentu saja Siang Huhoa tidak selalu tertawa, ada kalanya dia pun tidak tertawa.
Tidak heran kalau saat itu ke dua orang gadis itu dibuat terperanjat setelah melihat Siang Huhoa berjalan mendekat tanpa senyuman dibibir.
Mereka segera sadar, suatu peristiwa yang luar biasa tentu telah terjadi!
Suara canda dan tawanya berhenti seketika, Siau-sin dan Siau-tho serentak melompat bangun dari tempat duduknya.
Siang Huhoa melangkah masuk ke dalam gardu, sambil mengacungkan surat dalam genggamannya, tiba tiba dia bertanya:
“Siapa yang mengirim surat ini kemari?”
“Seorang lelaki setengah umur berdandan kacung, dia mengaku bernama Jui Gi, datang dari Perpustakaan Ki-po-cay” jawab Siau-tho.
Baru saja Siang Huhoa akan mengajukan pertanyaan lagi, Siau-sin yang berada disisinya telah menyela duluan:
“Sebetulnya surat dari siapa itu?”
“Pemilik Perpustakaan Ki-po-cay, Jui Pakhay”
“Apakah dia temanmu?”
“Dulu yaa!” Siang Huhoa menghela napas riangan.
“Dan sekarang?” Siau-sin mendesak lebih jauh.
“Sekarang sudah tidak lagi”
Siau-sin tidak bertanya lebih lanjut, dia cukup tahu manusia macam apakah Siang Huhoa itu, bila Jui Pakhay tidak kelewat memuakkan, tidak kelewat memandang hina dirinya, tidak nanti dia tidak menganggap orang itu sebagai sahabatnya.
“Ada urusan apa dia menulis surat kepadamu?” tanya Siau-tho sesaat kemudian.
“Suruh aku pergi menolong jiwanya”
“Suruh atau minta?”
“Suruh!”
“Memangnya Jui Pakhay belum tahu kalau kau sudah tidak menganggap dia sebagai sahabatmu lagi?”
“Dia sudah tahu”
“Kalau memangnya sudah tahu, kenapa masih berkirim surat?” tanya Siau-tho keheranan.
“Sebab ketika masih menjadi sahabatku dulu, dia pernah menolongku satu kali, biarpun aku belum tentu akan mati meski tidak peroleh bantuannya, bagaimanapun aku tetap telah menerima bantuannya, sudah berhutang budi kepadanya”
Setelah berhenti sejenak untuk menukar napas, lanjutnya:
“Dia tahu dan yakin, aku bukan orang yang lupa budi, membalas air susu dengan air tuba!”
“Ooh, jadi dia minta balas jasa budi mu?”
“Setahuku, dia bukan manusia semacam ini, bisa jadi peristiwa yang dialaminya kali ini kelewat horor, kelewat menggidikkan hati, terjadi sangat mendadak sehingga membuat hati dan pikirannya kalut, oleh karena tidak yakin bisa menghadapi ancaman tersebut hingga terpaksa dia datang minta bantuanku”
“Kesulitan macam apa yang dia hadapi sebenarnya?”
Pelan-pelan Siang Huhoa mengalihkan sorot matanya keatas surat yang berada dalam genggamannya, dia bertanya:
“Apakah kalian pernah mendengar sesuatu benda yang disebut Laron penghisap darah?”
“Laron penghisap darah?” sambil miringkan kepalanya Siau-tho berpikir sejenak, ketika tidak peroleh jawaban, dia berpaling ke arah Siau-sin.
Siau-sin sendiri pun balas memandangnya dengan mata terbelalak lebar, tampaknya dia pun tak tahu.
“Apakah kalian sama sekali tidak punya gambaran?” tanya Siang Huhoa kemudian setelah melihat tingkah laku ke dua orang gadis itu.
“Sebetulnya benda apakah itu?”
“Aku sendiripun kurang begitu jelas” sahut Siang Huhoa.
Setelah berpikir sejenak, kembali dia melanjutkan:
“Bila kita telaah tulisan dalam surat itu, semestinya yang dia maksud adalah seekor Laron penghisap darah”
Tiba-tiba Siau-tho mendongakkan kepalanya memandang sebuah belandar berukir yang ada diatas gardu kecil itu.
Seekor kupu-kupu sedang hinggap diatas tiang belandar berukir itu.
Seekor kupu-kupu dengan tujuh warna warni, walaupun bukan berada dibawah cahaya sang surya, namun keindahannya amat menawan hati.
Sebetulnya bukan belandar berukir yang diamati Siau-tho, dia sedang mengawasi kupu kupu yang hinggap disitu:
“Menurut pandanganku, Laron tidak beda jauh dengan kupu-kupu.......”
“Dipandang sepintas dari bentuk tubuhnya memang agak mirip” tukas Siang Huhoa cepat, “padahal beda didalam banyak hal, kupu kupu akan hinggap didahan jika malam tiba, sementara Laron akan muncul diwaktu malam, ketika hinggap, sepasang sayap kupu-kupu berdiri tegak dibelakang punggungnya, sedang sayap Laron terpentang di kiri kanan”
Ternyata bukan saja dia memiliki pengetahuan yang luas mengenai bunga-bungaan, pengetahuannya dalam hal serangga pun amat mengagumkan.
“Paling tidak dalam satu hal ada kesamaan” kata Siau-tho.
“Hal yang mana?” tanya Siau-sin tidak tahan.
“Serangga-serangga itu tidak suka darah, terlebih menghisap darah”
“Itulah sebabnya aku merasa kejadian ini sangat aneh” Siang Huhoa menerangkan.
Siau-sin dan Siau-tho tertegun, untuk sesaat mereka hanya bisa berdiri termangu.
Kembali Siang Huhoa merentangkan suratnya seraya berkata:
“Jui Pakhay sengaja berkirim surat kepadaku karena si Laron penghisap darah itu mengintainya setiap hari, siang maupun malam, keselamatan jiwanya sudah berada diujung tanduk”
Sekali lagi Siau-sin dan Siau-tho tertegun.
“Benarkah ada kejadian seperti ini?” seru Siau-tho tanpa terasa.
“Bila kita tinjau dari isi surat ini, rasanya memang benar-benar telah terjadi peristiwa semacam ini”
“Jangan-jangan nama tersebut hanya julukan seseorang?” tiba tiba Siau-sin menyela.
“Rasanya sih bukan”
“Tapi anehnya, kenapa Laron penghisap darah itu mencari gara gara dengannya?” kembali Siau-tho bertanya.
Tiba-tiba Siang Huhoa bergidik, bulu kuduknya pada bangun berdiri, setelah bersin berulang kali dengan nada suara yang berubah sangat aneh jawabnya:
“Karena bininya adalah jelmaan Laron penghisap darah, seorang siluman Laron!”
Bukan merasa takut atau ngeri, Siau-sin dan Siau-tho malah tertawa tergelak.
“Aaah, masa kaupun percaya kalau di dunia ini terdapat setan iblis atau siluman?” ejek Siau-tho sambil tertawa.
“Aku bicara demikian lantaran isi surat berbicara begitu” kata Siang Huhoa cepat, kemudian dia sodorkan surat itu ke tangan mereka.
Serentak Siau-sin dan Siau-tho menerima sodoran surat tersebut, tapi begitu selesai membaca isi surat itu, senyuman mereka seketika hilang lenyap tidak berbekas.
“Jangan jangan otak Jui Pakhay kurang waras atau tidak beres?” gumam Siau-tho dengan wajah hijau membesi.
“Paling tidak pada tiga tahun berselang dia masih waras, kalau sekarang mah aku kurang tahu”
“Berarti sudah tiga tahun kau tidak pernah bersua dengannya?”
“Yaa, tiga tahun lamanya” Siang Huhoa membenarkan sambil menghela napas panjang, pelan-pelan dia alihkan sorotnya ke angkasa.
“Apakah tiga tahun berselang dia sudah berbini?” kembali Siau-tho bertanya.
Siang Huhoa menggeleng.
“Maksudmu kau belum pernah berjumpa dengan bininya?” Siau-tho bertanya lagi.
“Benar, sampai sekarang aku belum pernah bertemu muka” Siang Huhoa mengangguk, “tapi tidak lama kemudian kami akan segera berjumpa”
“Berarti kau sudah putuskan untuk berangkat ke sana?” Siau-tho nampak agak terperanjat.
“Benar, apa pun yang terjadi, aku tetap harus berangkat”
“Kau tidak kuatir bininya benar benar adalah siluman Laron?” Siau-tho mulai cemberut tidak puas.
“Hingga detik ini aku belum merasa perlu untuk takut”
“Oya?”
“Karena hingga saat ini, seekor Laron penghisap darah juga belum pernah kujumpai”
“Tidak ada salahnya kita ikut meramaikan suasana, toh sudah agak lama kita tidak pernah berjalan-jalan” timbrung Siau-sin sambil tertawa.
Siang Huhoa tersenyum.
“Tapi sayang, kali ini hanya aku seorang saja yang akan berangkat ke sana”
“Aah.....” Siau-sin mendesis lirih lalu terbungkam seketika.
Siau-tho ikut jadi lemas dan tidak bersemangat lagi.
Mereka tahu apa yang telah diputuskan Siang Huhoa, tidak nanti ada seorangpun yang dapat merubahnya.
“Persoalan ini adalah urusan pribadiku, aku tidak ingin kalian ikut campur di dalam masalah ini” sambung Siang Huhoa lagi sambil tertawa.
Siau-sin dan Siau-tho tetap terbungkam tanpa bersuara.
“Apakah Jui Gie si penghantar surat itu sudah berlalu?” kembali Siang Huhoa bertanya setelah hening sesaat.
“Aku menyuruh dia menunggu jawabanmu di serambi samping” jawab Siau-tho.
Ternyata orang itu masih menunggu di serambi samping. Rupanya Jui Gie kenal dengan Siang Huhoa , begitu melihat orang itu muncul di dalam serambi, dia segera bangkit berdiri.
“Ternyata memang benar kau” sapa Siang Huhoa dengan mata mendelik.
“Tidak nyana Siang-ya masih kenal dengan hamba” ujar Jui Gie sambil soja.
“Sewaktu mengabdi kepada Jui Pakhay, rasanya usiamu sudah tidak terlalu muda lagi?”
“Turun temurun hamba selalu mengabdi kepada keluarga Jui”
“Ooh....” Siang Huhoa kembali manggut-manggut, kemudian dia mengalihkan pembicaraan dan bertanya lagi, “sebenarnya apa yang telah terjadi di perkampunganmu?”
“Selama berapa hari beruntun majikan selalu di teror Laron penghisap darah, mengerikan sekali.............” jawaban Jui Gie tergagap seperti orang yang amat ketakutan.
Ternyata benar-benar ada Laron penghisap darah !!
Siang Huhoa agak tertegun, desaknya kemudian:
“Jadi kaupun sudah pernah bertemu dengan Laron penghisap darah?”
“Belum, belum pernah” Jui Gie menggeleng.
“Bagaimana dengan penghuni yang lain?”
“Setahuku, mereka pun tidak pernah melihat”
“Berarti hanya Jui Pakhay seorang yang pernah melihat makhluk itu?”
Jui gie tertawa getir:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar