Minggu, 14 Februari 2010

Pedang Bengis Sutra Merah

BAB 1

Sastrawan Pengecut

Menurut pandangan orang, hidup sebagai seorang pesilat penuh dengan aneka ragam variasi, siapa yang tahu bahwa di bawah gemerlapannya baju ada tersimpan banyak kisah kesedihan dan kesusahan.
Di sebuah jalanan, kendaraan berlalu lalang terus menerus, tapi ada juga yang tidak menggunakan kendaraan, mereka adalah pejalan-jalan kaki yang tidak mengunakan kendaraan.
Sastrawan Berbaju Putih Pui Cie adalah salah satu diantara pejalan kaki yang banyak berlalu lalang, wajahnya muram dan kelihatan seperti sedang kesepian, seakan-akan di dunia ini dia hanya hidup seorang diri saja, dia sekarang sudah di lupakan orang, dia merasa hidup ini begitu sunyi dn sepi, meskipun sekarang dia berada di jalanan yang cukup ramai.
Lie Se Kian yang seharusnya menjadi istrinya ternyata tidak berjodoh dengannya, Hie Ki Hong yang tidak terpikir sedikitpun didalam impiannya malah sekarang menjadi istrinya, semua ini terasa seperti mimpi yang sudah berlalu.
Saudara kembarnya yang entah karena apa telah membuat rumah tangga dan perkawinannya berantakan, dia merasa sakit hati seumur hidupnya, kesedihan dan kekecewaannya serasa tidak bisa ditanggung, semua terasa menjdi hampa.
Pui Cie berjalan tidak tahu arah tujuannya, didepannya sudah tidak ada lagi tempat persinggahan, malam ini dia tidak tahu akan berteduh dimana, pepatah mengatakan manusia punya rumah, burung punya sarang, tapi dia merasa tidak mempunyai tempat untuk singgah, dalam ingatannya dia merasa dia sebatang kara.
Sudah dua bulan dia dalam keadaan sangat sedih dan kecewa, sehingga akhirnya dia meninggalkan keluarga Lie, sekarang dia merasa bingung, semua kegagahan dan kepintarannya hilang tidak berbekas.
Dalam perjalanan yang dia lakukan tiba-tiba dari arah belakang terdengar suatu suara yang terasa nyaring yang menyapa, ”Maaf, bisakah twako berhenti sebentar”.
Pui Cie pura-pura tidak mendengar, dia berjalan terus, suara itu menyapa lagi, “Twako Pui, berhentilah sebentar”.
Karena yang di panggil marganya mau tidak mau dia terpaksa berhenti, tapi dia tidak menoleh kebelakang dengan nada dingin dan ketus dia membalas, ”Siapa itu”.
Satu bayangan bergerak mendatangi dari belakang, sesudah berada didepannya terlihat seorang anak muda yang masih belia dan berbaju biru berwajah tampan dan gagah, terlihat seperti memiliki ilmu silat yang tinggi tapi sangat asing, dia merasa belum pernah berjumpa dengan anak muda ini.
Anak muda yang berbaju biru ini mengepalkan kedua tangannya lalu bersoja dan berkata, ”Nama besar twako Pui sangat tersohor sekali, menyesal sekali siaute selama ini tidak ada kesempatan berkenalan, hari ini siaute bahagia sekali kebetulan bisa bertemu twako.”
Pui Cie yang hatinya dalam keadaan sedih dan kecewa, dia tidak mau banyak bergaul dengan siapapun, dengan angkuh dan dingin membalas menjawab, ”Cayhe bukan bermarga Pui“.Setelah berkata begitu dia berjalan lagi, kenyataan yang sebenarnya dia memang tidak bermarga Pui tapi bermarga Nan Kong, nama Pui Cie adalah pemberian satu tetua di dunia persilatan Ko Li Lang, dulu sewaktu memungutnya karena tidak tahu asal usulnya, hanya berdasarkan sebuah pek giok persegi yang dia pakai maka diberilah dia nama Pui Cie, demi membalas budi guru yang telah membesarkannya maka nama itu di pakainya terus, dia tidak mau lagi memakai marga aslinya
Sekarang dia karena sedang kesal maka dipakailah nama aslinya, tapi bukan ingin menghapus nama pemberian sang tetuanya.
Orang yang berbaju biru itu tidak marah dengan mencoba berjalan sejajar dia berkata, “Twako Pui janganlah menolak orang demikian rupa.”
Pui Cie bersuara cuek menjawab, “Kita kan tidak saling kenal.”
Pria berbaju biru tertawa, “Maaf. siaute salah. siaute lupa belum memperkenalkan diri. siaute marga Hu, bernama Seng Yi julukan ‘Sastrawan Pengecut (Bo Tah Su Seng), siaute sudah lama mengagumi twako, baru sekarang bisa berkenalan dengan twako. “
Julukan ‘Sastrawan Pengecut’ yang aneh ini membuat Pui Cie tergerak juga hatinya, dilihat wajahnya tidak seperti penjahat, kalau bukan karena amanat gurunya, dia jauh jauh hari sudah meninggalkan dunia persilatan. Sekarang kondisinya sedang tidak ada semangat untuk berkenalan, masih dengan wajah dingin dia berujar, “Maaf, cayhe hanya orang kecil di dunia persilatan, tidak pantas dikagumi.” Sambil berkata begitu dia menambah cepat langkahnya.
Kesabaran ‘Sastrawan Pengecut’ ini ternyata amatlah besar, dia mengejar dengan langkah cepat agar sejajar, ”Apakah Twako merasa Siaute tidak pantas untuk berkenalan?”
Pui Cie menatap lurus ke depan, berkata, “Cayhe memang tidak suka bergaul.”
‘Sastrawan Pengecut’ tertawa terbahak–bahak dan berkata, ”Twako berbeda denganku, kalau aku, aku ingin mengenal habis semua orang di dunia ini.”
Pui Cie sebal juga dilibat terus oleh pria yang cerewet ini, kebetulan didepannya ada jalan bercabang, dia melirik lawan bicaranya dan langsung berbelok ke jalan kecil gerakannya seperti melayang, pergi secepat kilat.
Setelah agak lama berlari dan merasa yakin sudah jauh meninggalkan orang tersebut, baru dia memperlambat langkahnya
Tidak disangka, dugaannya ternyata meleset, Sastrawan Pengecut itu ternyata masih tetap bisa menguntil di belakangnya dia berkata, “ Ilmu silat Twako benar hebat, tidak ada duanya di dunia ini”.
Pui Cie terkejut bukan kepalang dalam hatinya berpikir, ”Tidak di sangka dia seperti roh yang bisa terus membuntutiku, ilmu silatnya tentu luar biasa, entah mempunyai maksud apa dia terus membuntutiku”.hatinya terkejut tapi dia tetap menenangkan diri seolah-olah tidak terjadi apa-apa, dia menghentikan langkah kakinya dan membalikan badan kepada Sastrwan Pengecut yang sedang tersenyum-senyum, dengan ketus Pui Cie berkata, ”Apa keinginanmu yang sebenarnya”.
Sastrawan Pengecut bersoja seraya berkata, ”Siaute hanya ingin berkenalan dengan Twako saja”.
“Sepertinya bukan itu saja. “
“Siaute bersungguh-sungguh.”
“Cayhe sudah berkata cayhe tidak suka berkenalan dengan sembarang orang.”
“Apakah Siaute tidak pantas?”
Pui Cie marah dan dengan suara keras berkata, ”Sobat, apa maksudmu yang sebenarnya, tolong jelaskan, aku paling tidak suka dibuntuti terus!”
Sastrwan Pengecut dengan muka serius berkata, ”Kalau Twako berkata begitu Siaute jadi malu, sebenarnya Siaute ada sesuatu keperluan ingin minta tolong kapada Twako karena tidak kenal jadi sulit diutarakan, maka siaute mencari kesempatan mendekati Twako.”
Hati Pui Cie agak tertegun, sudah terlalu banyak dia mengalami masalah, dan tahu kotornya dunia persilatan dia tidak lantas percaya dengan perkataan orang tersebut, dengan seksama dia memperhatikannya lagi sambil berkata, ”Minta pertolonganku?”
Dengan muka bersungguh-sungguh Sastrwan Pengecut berkata, ”Betul,”
“Coba utarakan, aku ingin tahu.”
“Siaute minta bantuan Twako untuk menolong seseorang.”
“Menolong orang?”
“Ya.”
“Ini kata bualan.”
“Maksud Twako…..”
“Melihat kemampuan ilmu silatmu, sudah begitu luar biasa, rasanya tidak perlu bantuanku lagi!”
Sastrawan Pengecut tersenyum dan berkata, ”Karena Siaute pengecut maka dengan rendah hati siaute minta bantuan Twako.”
Tidak masuk akal, Pui Cie dengan nada dingin berkata, ”Maaf sobat aku tidak punya keahlian, carilah orang yang lebih mampu!”
Sastrawan Pengecut dengan gelisah berkata, ”Twako, tapi Siaute mengatakan yang sebenarnya, sama sekali tidak mengada-ada”
Tiba-tiba wajahnya menjadi muram, ”Siaute mau minta tolong Twako menolong ayah Siaute.”
“Apa…, ayahmu.”
“Ya.”
“Ayahmu sudah terkena musibah apa?”
“Ah, kalau diceritakan malu juga, ayah Siaute sepuluh tahun terakhir demi sebuah cita-cita yang belum tercapai, hidup tanpa merasa gembira, Siaute tidak bisa berbuat banyak kecuali meminta bantuan Twako untuk menolongnya.
“Cita-cita yang bagaimana?”
“Ayah Siaute sudah sepuluh tahun menunggui sebuah lembah, maksudnya ingin bertemu dengan orang yang berada di dalamnya, tapi dia tidak bisa masuk kedalam lembah itu, juga tidak mau meninggalkan begitu saja.”
“Siapa yang berada didalam lembah itu?”
“Tidak tahu, ayah Siaute tidak mau memberitahu.”
“Kenapa dia tidak bisa masuk kedalam lembah itu,”
“Karena ilmu silatnya terbatas.”
“Apakah kau mau menjadikan cayhe sebagai pembantu.”
“Tidak… hal ini bagi Twako hanya urusan sepele saja.”
“Melihat taraf ilmu silatmu ayahmu pasti bukan orang sembarangan, kan dirimu bisa bekerja sama dengan ayahmu…”
“Siaute sudah bilang, Siaute seorang pengecut!”
Pui Cie jadi terpancing juga rasa ingin tahunya, ini adalah urusan yang tidak pernah terbayangkan dan tidak masuk akal, apa maksud sebenarnya? Dimana bisa ada urusan seaneh ini, dimana ada orang yang sudah belajar ilmu silat bisa menjadi seorang yang pengecut, sampai gelar yang disandangnya juga Sastrawan Pengecut.
Sastrawan Pengecut berkata pula, ”Bagaimana, apa Twako sudah menyanggupinya?”
Pui Cie menggelengkan kepalanya berkata, ”Sulit di percaya.”
“Sesudah berada di tempatnya Twako akan tahu bahwa perkataan Siaute semuanya benar.”
Pui Cie berpikir dalam hati dengan cepat, kalau ini semua adalah suatu siasat aku pasti akan terjebak, kalau sekarang tidak mengikuti kemauannya, mereka akan menyediakan perangkap lainnya, semua harus dibuktikan. Sekarang musuh nomor satunya adalah paman gurunya sendiri Phei Cen berikutnya adalah Shin Kiam Pangcu, Ke Co Ing, Ma Gwe Kiau, semua harus diselidiki keberadaannya, daripada mencari-cari tidak tahu arahnya lebih baik mencoba kesempatan ini, siapa tahu, ini adalah salah satu siasat dari musuhnya.
Begitu hatinya sudah tetap dengan suara rendah dia berkata, ”Baiklah, cayhe ingin melihat-lihat dulu.”
Sastrwan Pengecut merasa gembira seraya bersoja memberi hormat, ”Terima kasih Twako, kalau berhasil Siaute tidak akan lupa jasa Twako seumur hidup.”
Sesudah merasa yakin Pui Cie berkata, ”Ayo jalan.”
Satu berpakaian putih satu biru, kedua oarang satrawan ini mulai berangkat, hubungan mereka terasa aneh, memang hubungan manusia dalam dunia persilatan tidak bisa dipelajari dan diperkirakan dengan akal sehat.
Setelah berjalan beberapa hari lamanya, suatu hari mereka memasuki daerah hutan pohon pinus, setelah bergaul beberapa hari Pui Cie merasa Sastrawan Pengecut adalah seorang yang pintar dan lurus tidak kelihatan watak curang sedikitpun, tapi dia merasa ada sedikit ngeri, sebab di dunia persilatan banyak orang yang lihai tapi tak mencurigakan sedikitpun, orang yang beginilah yang paling susah diatasi.
Memandang gunung yang berlapis-lapis Pui Cie teringat akan orang yang dikasihi gurunya yaitu ’Bo Yu Sien Ce’(Dewi Tidak Pernah Risau) yang telah membawa putra satu-satunya dari gurunya yaitu Khu Tian Can, ketika gurunya sedang bertapa di hutan pinus, tidak tahu kemana perginya mereka, seperti awan tebal entah dimana mereka berada sekarang.
Melewati bukit yang berkelok, berputar, terjal dan datar sama sekali tidak kelihatan seorang pun, sampailah mereka di sebuah gunung yang sempit dan terjal. ‘Sastrawan Pengecut’ berhenti dan menunjuk ke depan, “Twako, di lembah depan itulah ayahku berada, ayahku keras kepala, tak mau dibantu oleh siapapun, jadi aku tak boleh menampakan diri, Twako jangan berkata diminta olehku untuk membantu kesini, hanya boleh berkata ingin bertemu orang dalam lembah ini, di tengah lembah ada sebuah batu penutup, dengan ilmu silat Twako yang hebat tentu dapat mematahkan batu yang seperti rebung itu, setelah patah aku akan datang.”
Dia bersoja lagi setelah habis berkata itu. Aneh sekali, minta bantuan hanya karena satu batu rebung saja, kenapa tidak dipahat saja? Pui Cie terus berfikir kalau ini suatu siasat busuk, benar-benar tidak mudah dihindari.
‘Sastrawan Pengecut’ berkata lagi, “Twako pasti curiga karena seperti tak masuk diakal, nantilah akan Siaute ceritakan semuanya. Siaute juga hanya tahu sedikit, tak tahu apa sebenarnya, nanti kita minta penjelasan ayahku.”
Pui Cie memandang dalam-dalam ‘Sastrawan Pengecut’ seraya berkata, ”Benar-benar tak masuk diakal, tapi ada sepatah kata aku ingin bicara sebelumnya…”
“Katakanlah!”
“Kalau ternyata tdak sesuai dengan kenyataan, aku tak akan segan-segan membunuh orang!”
“Tentu, Siaute maklum hal itu.”
Terlihat air mukanya tak ada yang mencurigakan.
Dengan hati yang penuh dengan pertanyaan dan tak tenang dia melangkah menuju tempat yang ditunjuk, dia sudah memutuskan kalau keadaan tidak cocok dia tidak akan bertindak apa-apa tapi dia akan berbalik membikin perhitungan dengan si ‘Sastrawan Pengecut’. Dia merasa bodoh menerima pekerjaan yang seperti lelucon dan permainan anak-anak ini, tapi apa boleh buat, karena dia sudah datang, baik atau buruk tentu harus dicoba.
Sebuah celah sempit antara bukit telah berada di depan mata. Dari kejauhan memang terlihat sebuah batu besar seperti bambu muda baru keluar tanah menghadang di tengah-tengah celah itu. Di kiri kanan batu itu ada celah yang lebih kecil, kenapa harus membelah batu rebung itu baru bisa masuk ke dalam lembah? Sungguh tak masuk diakal, gunung batu begini tidak akan dapat menghalangi orang berilmu silat apalagi hanya batu seperti rebung ini?
Sesudah jarak bertambah dekat, terlihat di belakang batu rebung terdapat banyak batu yang aneh-aneh dan beragam berserakan disana. Pui Cie merasa tempat ini sangat strategis, antik dan alami, seperti sudah ditata oleh manusia dan batu rebung ini jadi pusat strategisnya.
Tiba di mulut lembah, Pui Cie melihat sekelilingnya, tiba-tiba dia menemukan sesuatu, di bawah batu menjorok keluar dekat sisi lembah yang terjal ada duduk seorang yang tua, rambut dan jenggotnyapun sudah memutih, panjang, menyatu, dan acak-acakan, umurnya terlihat sudah cukup tua.
Orang aneh inikah ayah ‘Sastrawan Pengecut’?
Mungkinkah dia memiliki anak semuda itu?
Orang aneh ini duduk bersila, tidak bergerak sedikitpun tidak bicara seperti seorang hweshio yang sedang bertapa.
Dengan sendirinya Pui Cie menjadi tegang, dia mendekat sambil berdehem, aneh sekali, dia tidak bereaksi sama sekali, seperti tidak tahu ada orang mendekat, kedua matanya ditutup rapat-rapat. Pui Cie diam beberapa saat disitu, dia tidak berani menyentuh batu rebung itu sampai jelas semua keadaan ditempat itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar