Minggu, 14 Februari 2010

Kait Perpisahan

Bab I

Kait Perpisahan

“Aku tahu kait adalah sejenis senjata, berada pada urutan ke-7 dalam deretan 18 jenis senjata, bagaimana dengan kait perpisahan?”
“Kait perpisahan juga sejenis senjata, juga sebuah Kaitan”
“Kalau memang sebuah senjata kait, mengapa dinamakan kait perpisahan?”
“Sebab kaitan ini bisa menciptakan sebuah perpisahan bila berhasil mengait mana pun, bila ia berhasil mengait tanganmu, maka tanganmu akan berpisah dengan pangkal lenganmu, jika berhasil mengait kakimu maka kaki mu akan mengucapkan selamat berpisah dengan pahamu”
“Bila leherku yang terkait, berarti aku akan berpisah dengan dunia ini?”
“Benar!”
“Mengapa kau harus menggunakan senjata begitu kejam dan begitu sadis?”
“Sebab aku tak ingin dipaksa orang untuk berpisah dengan orang yang kucintai”
“Aku mengerti maksudmu”
“Kau benar benar mengerti?”
“Kau menggunakan kait perpisahan karena kau ingin selalu berkumpul?”
“Betul!”
Perpisahan..
Kesedihan yang harus diterima orang yang hampir terbetot sukmanya.
Jika tidak mencintai kuda jempolan bukanlah seorang enghiong.

0-0-0

“Tiada benda yang lebih indah dan nikmat daripada arak wangi yang berlimpah dan kuda jempolan sebanyak ribuan ekor, jika anda berminat, kami akan sambut kedatangan anda dengan gembira”
Itulah isi undangan yang disebar congkoan nomor satu dari peternakan kuda Lok Jit di wilayah Kwan Tong, Jiu Heng Kian mewakili majikannya Kim Toa tauke.
Tujuan dari undangan itu adalah untuk menyelenggarakan pesta besar yang pertama kali di selenggarakan di peternakan kuda Lok Jit untuk mencoba menunggang kuda serta menjual kuda, tempat penyelenggaraan adalah Pesanggrahan Pit Su San Ceng milik “Hoa Kay Hok Kui” (Bunga mekar banyak rejeki dan terhormat) Hoa Suya, seorang saudagar kaya raya asal kota Lok Yang. Waktu penyelenggaraan bulan tiga tanggal dan jam bulan purnama.
Undangan semacam ini hanya disebar sebanyak belasan lembar, sasaran yang pantas diundang Jiu congkoan memang tidak terlalu banyak.
Tentu saja orang yang pantas mendapat undangan adalah para tokoh dunia persilatan serta jago silat kenamaan yang berilmu tinggi. Tidak mencintai kuda jempolan bukanlah seorang enghiong. Yang hadir hampir semuanya adalah para enghiong, kawanan enghiong yang pernah menunggang kuda jempolan hasil ternak Peternakan kuda Lok Jit.
.............. Dimana ada matahari terbenam, disitu pasti ada kuda jempolan hasil ternak Peternakan Lok Jit yang sedang berlarian. (Lok Jit = matahari terbenam)
Kata motto yang digunakan majikan peternakan kuda ini Kim Toa tauke memang merupakan kata kata yang nyata.
Bulan tiga, kota Lok Yang, musim semi.
Rembulan pada malam tanggal tujuh belas masih kelihatan bulat, malam telah semakin larut, angin yang berhembus sepoi membawa bau harum bunga yang semerbak.
Suara ringkikan kuda jempolan yang sedang berlarian di bukit sebelah belakang, lamat lamat masih kedengaran, tapi suara manusia telah hening, tak kedengaran lagi orang berbicara.
Sinar rembulan memancar masuk melalui luar jendela, meninggalkan sebuah bayangan hitam yang panjang di lantai ketika menyoroti tubuh Jiu Heng Kian yang tinggi kekar.
Orang itu mempunyai mata yang besar dengan alis mata yang sangat tebal, jidatnya tinggi, hidungnya mancung seperti hidung elang dan wajahnya penuh bercambang, dibawah sorot sinar rembulan, Dia nampak begitu seram dan mengerikan.
Dia adalah seorang lelaki sejati, seorang hohan kelas satu di luar perbatasan, tapi saat ini dia nampak sangat gelisah dan tak tenang.
Baru pertama kali ini dia memikul tanggung jawab berat, dia berjanji akan mensukseskan tugas dan tanggung jawab ini sebaik baiknya.
Sejak tanggal lima belas, selama tiga hari ini meski hasil yang diperoleh terhitung sangat memuaskan, bahkan sekelompok kuda yang berada di kandang terbesar dalam peternakan kuda itu sudah dibeli dengan harga tinggi oleh Ong Cong piautau dari perusahaan ekspedisi Tionggoan piaukiok, namun dua pembeli utama yang selalu dinantikan selama ini, hingga kini belum nampak juga batang hidungnya.
Semestinya, tidak seharusnya dia mengharapkan kedatangan ke dua orang itu.
Ho Sou Tayhiap (pendekar utara sungai) Ban Kun Bu yang nama besarnya sudah lama menggetarkan sungai telaga sudah tak pernah meninggalkan perkampungannya sejak dia cuci tangan mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan dua tahun berselang.
Ti Cing Ling, bangsawan kelas satu yang kaya raya dan selama ini memandang nama sertta harta bagai kotoran kerbau juga tak pernah terlihat lagi batang hidungnya selama berapa tahun terakhir, selama ini orang tersebut selalu berkelana dalam dunia persilatan, bisa jadi dia belum pernah menerima surat undangan itu.
Dia berharap mereka akan datang, sebab kuda terbaik diantara sekumpulan kuda pilihan yang dia bawa jauh jauh dari luar perbatasan hanya pantas ditunggangi mereka yang benar benar tahu soal kualitas barang.
Hanya orang yang tahu soal kwalitas barang berani menawar dengan harga tinggi barang yang dibelinya.
Dia tak rela bila kuda sebagus itu dibayar bukan pada harga yang sepantasnya, terlebih tak ingin membawa balik rombongan kuda itu ke luar perbatasan.
Sekarang sudah tengah malam hari ke dua sudah hampir lewat, ketika dia mulai merasa kecewa itulah tiba tiba dari luar perkampungan kedengaran suara manusia, Ho Sou Tayhiap yang sudah tiga tahun lamanya tak pernah meninggalkan tempat tinggalnya, kini sudah muncul di perkampungan Botan Sanceng.

0-0-0

Ban Kun Bu mulai terjun ke dalam dunia persilatan pada usia 14 tahun, pada umur 16 tahun dia mulai membunuh manusia, umur 19 tahun dengan mengandalkan sebilah golok besar berhasil memenggal batok kepala Hong Hau, seorang gembong perampok terkenal dari bukit Tay Heng San, pada usia 23 tahun dia telah bertukar senjata dari sebuah golok besar menjadi sebilah golok emas bersisik ikan dan nama besarnya menggetarkan sungai telaga, belum genap 30 tahun dia sudah dihormati dan disegani segenap anggota Bu Lim sebagai pendekar Ho Sou Tayhiap.
Dia dilahirkan dalam naungan shio “tikus”, tahun ini belum genap 46 tahun, usia yang jauh lebih muda dari apa yang dibayangkan kebanyakan orang selama ini.
Kali ini dia tidak membawa serta golok andalannya.
Karena dia sudah muak dengan segala urusan dunia persilatan, ketika cuci tangan menyegel goloknya dihadapan para enghiong hohan dari seluruh dunia persilatan, Golok emas bersisik ikan yang menyertainya selama banyak tahun telah dibungkusnya dengan kain kuning dan diletakkan diatas rak kayu cendana persis dihadapan arca Kwan Kong yang disembahnya.
Sekalipun begitu, kedatangannya kali ini disertai tiga bilah golok yang lain.
Ke tiga bilah golok itu adalah kakak seperguruannya “Ban-Seng To” (Golok Selaksa Kemenangan) Kho Tong, murid kesayangannya “Kuay To” (si Golok Kilat) Pui Seng serta teman sehidup sematinya “Ji Gi To” (Golok Kebanggaan) Ko Hong.
Seorang jagoan semacam dia, bila pergi tanpa membawa golok sama ibaratnya dia pergi tanpa mengenakan pakaian, tak mungkin dia mau sembarangan keluar dari rumah tinggalnya.
Tapi dia yakin dan percaya, ke tiga orang itu adalah tiga bilah golok yang pantas diandalkan.
Entah siapapun orangnya, bila disisi mereka sudah didampingi tiga bilah golok macam ini, maka dia bisa menghadapi setiap ketegangan dengan perasaan tenang.
Bulan tiga di kota Lok Yang, aneka bunga mekar dengan suburnya disetiap sudut taman.
Bukit kecil di belakang pesanggrahan Botan Sanceng telah dipenuhi oleh bunga Botan yang sedang mekar, sementara dibawah bukit, didalam lingkaran arena yang dibatasi dengan kayu, dipenuhi berpuluh kuda jempolan.
Kuda tak mengerti bagaimana menikmati keindahan bunga Botan, sebaliknya bunga Botan juga tak mengerti bagaimana menikmati kebagusan seekor kuda, tapi kedua duanya pantas dinikmati oleh manusia yang sedang menikmatinya.
Bunga Botan yang indah dan cantik persis seperti seorang gadis cantik dari keluarga kenamaan; sementara kuda yang kekar dan licah persis seperti seorang enghiong hohan dari dunia persilatan.
Saat ini suasana dibawah bukit sangat ramai, ada yang sedang menikmati kecantikan bunga Botan, ada pula yang sedang mengagumi kegagahan dan kelincahan kuda kuda jempolan, tapi diantara sekian banyak orang yang sedang menikmati suasana, hanya satu orang yang benar benar menikmati.
Ban Kun-bu seperti sama sekali tidak tertarik dengan suasana disekeliling tempat itu, dia setengah memejamkan matanya sambil bersandar diatas sebuah kursi empuk yang terbuat dari anyaman rotan.
Dia merasa sangat kelelahan.
Yaa, siapa pun pasti akan merasa kelelahan jika dalam semalaman harus tiga kali bertukar kuda dan menempuh perjalanan sejauh sembilan ratus tiga puluh tiga li.
Kakak seperguruannya, Murid kesayangannya dan teman sehidup sematinya masih berdiri disampingnya tanpa bergeser setengah langkah pun, kuda demi kuda telah dibeli orang dengan harga tinggi dari arena penampungan ditengah lapangan, tapi dia hanya pejamkan matanya terus menerus, seakan akan tak ada hal yang menarik minatnya selama ini.
Hingga pada akhirnya ketika ada seekor kuda yang sangat istimewa dituntun keluar dari arena penampungan, dia baru membuka matanya mengawasi kuda yang sedang dituntun keluar oleh Jiu congkoan itu, seekor kuda berwarna hitam pekat dengan warna putih persis pada ujung hidungnya.
Suara pujian dan pekikan kagum segera bergema memenuhi angkasa, siapa pun yang ada disitu dapat melihat kalau kuda tersebut adalah seekor kuda jempolan yang sangat luar biasa.
Dengan wajah berseri penuh kebanggaan Jiu Heng-kian menepuk nepuk kepala kudanya, kemudian berkata:“Kuda ini bernama Sin-Ciam (Panah Sakti), Ban Tayhiap, kau adalah seseorang yang sangat ahli dalam hal kuda, tentunya kau tahu bukan kalau kuda ini adalah kuda mestika yang luar biasa hebatnya”
Ban Kun-bu gelengkan kepalanya berulang kali dengan malas, sahutnya:“Aku bukan seorang ahli, kuda itu pun bukan kuda yang bagus, cukup mendengar namanya saja aku sudah tahu kalau kuda itu tidak bagus”
“Kenapa?” tanya Jiu Heng-kian keheranan.
“Panah itu tak bisa mencapai jarak yang jauh, lagipula cepat duluan lambat dibelakang, kekuatan akhirnya pasti tidak bagus”
Kemudian setelah berhenti sejenak, Ban Kun-bu mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, ujarnya lagi:“Sewaktu masih muda dulu, aku punya seorang sahabat, tingkah lakunya tak beda jauh dengan Jiu congkoan sekarang, suatu kali dia mengundangku makan seekor ayam, tapi ayam yang tak berpaha”
Walaupun dia sedang bercerita tentang seorang sahabatnya sewaktu masih muda serta seekor ayam yang tak berpaha, namum orang lain tidak mengerti apa maksud dari ceritanya itu.
Jiu Heng Kian juga tidak mengerti, tak tahan tanyanya:“Kenapa ayamnya tidak berpaha?”
“Karena sepasang pahanya sudah keburu dipotong oleh tuan rumah untuk dimakan sendiri” jawab Ban Kun Bu dengan suara hambar, “keadaan seperti ini tak ada bedanya dengan Jiu congkoan sekarang, kuda yang terbagus selalu disembunyikan untuk dipakai sendiri”
“Ban Tayhiap” bantah Jiu Heng Kian, “dengan ketajaman mata anda, mana berani aku berbuat hal semacam itu dihadapan Tayhiap?”
Tiba tiba mencorong sinar tajam dari balik mata Ban Kun Bu, katanya:“Kalau tidak, kenapa Jiu congkoan sembunyikan kuda tersebut disana?”
Sinar matanya dialihkan ke arena penampungan kuda yang terletak dipaling belakang, dalam arena itu terdapat belasan ekor kuda kurus sisa kuda kuda yang sudah dipilih orang, diantara kuda kurus itu terlihat seekor kuda berwarna kuning yang tubuhnya kurus kering bagai seekor busur panah yang melengkung, kuda itu diikat sendirian disudut arena, gerak geriknya sangat loyo seperti tak bersemangat, lagipula selalu menjaga jarak dengan kumpulan kuda lainnya, seakan akan kuda itu enggan berkumpul dengan rekannya.
“Maksud Ban Tayhiap kuda kurus itu?” tanya Jiu Heng Kian sambil mengerutkan dahinya.
“Betul, kuda itu yang kumaksud!”
Jiu Heng Kian tertawa getir.
“Ban tayhiap, kuda itu adalah kuda setan arak, masa kau tertarik dengan kuda semacam itu?”
“Setan arak? Jadi kuda itu baru bersemangat bila sudah diberi sedikit arak?”
“Tepat sekali!” Jiu Heng Kian menghela napas panjang, “bila didalam ransum kuda tidak dicampuri dengan arak, biar lapar seharian pun dia tak mau makan”
“Apa nama kuda itu?”
“Arak Tua!”
Tiba tiba Ban Kun Bu bangkit berdiri dan menghampiri kuda itu dengan langkah lebar, kemudian setelah mengamati sejenak binatang itu dengan sorot mata tajam, mendadak dia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
“Arak Tua, bagus! Bagus sekali” serunya sambil tertawa, “nah kalau arak tua pasti punya tenaga lagipula makin ke belakang semakin bertambah kuat, aku berani bertaruh kalau si panah sakti harus beradu dengannya lari sejauh lima ratus li, mungkin pada dua ratus li pertama si panah sakti akan memimpin duluan, tapi setelah lewat jarak itu, dia pasti dapat melampaui si panah sakti pada dua ratus li terakhir”
Kemudian seraya memandang wajah Jiu Heng Kian, tambahnya:“Kau berani bertaruh dengan aku?”
Jiu Heng-kian termenung berapa saat, tiba tiba dia tertawa keras, sambil tertawa dia acungkan ibu jarinya tanda memuji.
“Ketajaman mata Ban Tayhiap sungguh mengagumkan” pujinya, “ternyata semua urusan tak bisa mengelabuhi pandangan mata Ban Tayhiap”
Kembali terdengar suara pujian bergema dari balik kerumunan orang banyak, bukan saja mereka mengagumi ketajaman mata Ban Kun Bu, bahkan pandangan mereka terhadap kuda kurus yang sama sekali tak mencolok itupun mulai berubah, bahkan ada orang yang berebut membuka penawaran lebih dulu, walaupun tahu bahwa mereka tak akan bisa menangkan persaingan itu dengan Ho Sou Tayhiap, namun mereka berpendapat sekalipun harus kalah, mereka ingin kalah secara terhormat.
Penawaran tertinggi yang diajukan adalah “sembilan ribu lima ratus tahil” satu angka penawaran yang amat besar.
Ban Kun Bu sama sekali tidak menanggapi teriakan teriakan orang lain, pelan pelan dia acungkan tiga jari tangannya sambil membuat satu gerakan tangan tertentu.
Jiu congkoan dengan suara lantang segera mengumumkan:“Ban tayhiap mengajukan penawaran sebesar tiga laksa tahil, apakah ada orang yang berani mengajukan penawaran lebih tinggi?”
Ternyata tidak ada. Setiap orang mengunci mulutnya rapat rapat, tak seorangpun berani bersuara lagi.
Baru saja Ban Kun Bu dengan wajah berseri siap menghampiri arena penampungan untuk menuntun kuda kurus itu, mendadak terdengar seseorang berseru dengan suara nyaring:“Aku berani menawar tiga laksa tiga tahil”
Paras muka Ban Kun Bu segera berubah hebat, sambil menarik wajahnya dia bergumam:“Sejak awal sudah kuduga, bocah ingusan ini pasti akan datang mengacau!”
Sementara itu Jiu Heng Kian dengan wajah berseri telah berseru:“Sungguh tak disangka Ti Siau Hou muncul juga tepat pada waktunya!”
Kerumunan orang banyak segera menyebar ke kiri kanan membuka jalan, siapa pun ingin melihat macam apakah wajah Bangsawan nomor wahid, pemuda paling romantis dalam dunia persilatan saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar