Minggu, 14 Februari 2010

Yu Hiap Tong Beng

Karangan: Yi Wen,

BAB 1

Halangan Dalam Hembusan Angin dan Salju

Angin yang sangat dingin menusuk kulit seperti gunting. Gumpalan salju besar berputar bagai-kan gelombang. Cuaca tampak remang-remang, tidak bisa membedakan mana langit mana bumi.

Puncak gunung salju bagaikan puncak sebuah logam dari perak. Pegunungan yang di propinsi Ceng-hai dan See-cong Tibet yang luasnya ribuan li, terlihat potongan es berterbangan dengan cepat, embun salju ber-gelombang, angin kencang melalui tempat-tempat sunyi membawa suara siulan yang memekakkan telinga orang.

Di udara yang sangat jelek ini, tidak nampak burung atau binatang berkeliaran. Di jalan gunung yang sangat curam dan penuh salju itu terlihat satu rombongan berkuda sebanyak tiga puluh orang sedang menentang salju lebat dan angin dingin, berjalan pelan-pelan di atas tunggangan kuda menuju ke arah barat.

Terlihat di atas punggung kuda, rombongan laki-laki dan perempuan semuanya bermantel hangat yang ditutupi selimut dari bahan wool. Semua orang memakai topi untuk melindungi kepalanya masing-masing.

Karena anginnya dingin menusuk tulang, di tambah bunga salju menerpa wajah, semua orang jadi menutup rapat kepalanya dengan topi, tidak nampak wajah mereka.

Yang memimpin berjalan di depan rombongan itu memakai topi lebar berwarna perak hingga ke bahu, di atas tubuhnya ada satu mantel tebal menyelimuti. Melihat sejenak mukanya yang tidak berkumis, bisa memperkirakan dia seorang pemuda yang ganteng.

Yang lainnya dari rombongan itu, bermantel satu model hanya warnanya lain-lain, ada warna abu, ungu, kuning, dan merah. Mereka berada di belakang anak muda itu, terlihat ada yang bertubuh ramping, warna jubahnya mencolok, mereka seperti wanita. Yang lain sekitar dua puluh orang bertubuh tegap dan tinggi, biarpun tubuh mereka tidak sama besar, tetapi dapat dipastikan mereka adalah laki-laki yang perkasa.

Terakhir ada beberapa kuda yang membawa perlengkapan makanan, tenda, dan alat masak.

Satu terpaan angin kencang dengan bunga salju dan pecahan es mengenai topi mereka bersuara... sa..sa..sa.. kuda yang mereka tunggangi kadang-kadang mengeluarkan pekikan seperti yang tidak tahan ter-hadap hawa dingin.

Rombongan yang beranggota tiga puluh orang ini adalah rombongan yang menamakan dirinya ”Yu-hiap-tong-beng.” (Persatuan pendekar petualang)

Pemimpin rombongan ini adalah pemuda ganteng dengan mantel dari bulu kambing, dia adalah ketua Yu-hiap-tong-beng yang bernama Kang Yu-hwan. Selanjutnya, lima gadis dengan marga Lu, Tong, Coh, Goan, dan Han. Dan diikuti sepuluh jagoan, di antara mereka ada yang berjuluk ”Bu-kong” dan ”Thi-lohan”. Kemudian ada Tio-toanio dan empat dayang-nya, dan delapan orang lelaki tegap sebagai pembantu mengurus konsumsi dan perlengkapan.

Di propinsi Ceng-hai, See-cong (Tibet) dan Sin-kiang, wilayahnya sangat luas dengan peduduk yang sedikit, kebanyakan daerahnya bergunung-gunung, suku bangsanya yang terdiri dari suku Han, Bong, Hui, Cang, dan Biauw, mereka hidup berkelompok. Suku Han bercocok tanam atau berdagang, suku Hui dan Cang menanam gandum atau menjadi penggembala, urusan pemerintah dipegang oleh raja-raja suku. Antara kelompok-kelompok kampung, kadang-kadang berjarak puluhan li atau ratusan li, bila salah jalan, tidak melewati kampung-kampung mereka, rombong-an berkuda yang datang dari luar daerah terpaksa harus berteduh di pegunungan. Sehingga rombongan Kang Yu-hwan telah siap dengan segala perlengkapan masak dan tenda tidur.

Tiupan angin semakin kencang, salju berter-bangan lebih dahsyat lagi, langkah kaki kuda terasa sangat berat melangkah.

Terdengar suara keras dari mulut seorang gadis yang bernama Lu Cen-nio:

”Adik Hwan, apakah kita lebih baik mencari tempat untuk istirahat dulu?”

Belum lagi Kang Yu-hwan menjawab. Ter-dengar suara gadis bermantel merah, Han Siau-li:

”Di Barat ini, angin ini bukan terbesar, kita harus berjalan terus, sebelum malam tiba, selangkah pun sangat berguna.”

Sejauh mata memandang, warna langit dan bumi seperti menjadi satu di dalam guyuran salju dan es yang beterbangan di gunung seperti jatuh dari langit.

Tiba-tiba terdengar suara wanita yang ternyata berasal dari mulut Tong Giok-ceng:

”Adik Hwan, mengapa di depan bisa ada satu kelompok kecil perkemahan suku?”

Kang Yu-hwan dan semua orang memandang ke depan, terlihat dari kejauhan, di dataran yang luas seperti ada bayangan bangunan yang jumlahnya kurang lebih tiga puluh buah, karena jaraknya masih jauh, entah bangunan itu rumah batu atau rumah tenda, asap yang keluar dari bangunan itu segera hilang ditiup angin kencang.

Melihat ada rumah penduduk, semua orang jadi bersemangat, mereka ingin segera sampai disana, terlebih Thi-lohan (Lo-han besi) dan Hek-sat-sin. Mereka berdua memacu kudanya maju ke barisan depan, ingin melihat lebih jelas.

Han Siau-li merasa ragu-ragu:

”Majikan rumah makan di kota A-kan-tai, Tuan Kim, mengatakan bahwa dari kota A-kan-tai hingga ke kota Lun-ma-pu sepanjang jalan tidak berpenghuni.”

Goan Ai-leng dengan nada sama berkata:

”Betul, melihat pemandangan di depan sana begitu luas datarannya, mungkin itu adalah sungai Cu-la yang telah membeku. Bila bulan tiga tiba, salju dan es akan mencair dan air sungai melimpah, seluruh lembah dan gunung akan penuh air, jadi tidak mungkin disana ada rumah penduduk.”

”Mungkin rombongan yang sedang lewat.” kata Coh Ceng-cu.

”Rombongan pedagang kuda bergabung dalam rombongan lain agar bisa saling membantu, melihat kesana kenapa banyak tenda dan asap dari anglo.” kata Han Siau-li.

Hek-sat-sin (Malaikat hitam kejam) seperti teringat sesuatu lalu katanya:

”Seperti nenek sering mengatakan, mungkin juga seperti yang Tuan Kim katakan, mereka adalah gerombolan perampok harta yang suka membunuh, ”Hek-eng-pang” (Perkumpulan elang hitam).

Perkataan itu mengejutkan semua orang, lalu mereka saling menyahut bersamaan:

”Betul, kemungkinan gerombolan penjahat itu.”

”Bagus! Bila memang benar mereka, kebetulan, sudah beberapa bulan aku tidak menggerakan tubuh dan otot!” teriak Tok-pi-houw (Harimau bertangan tunggal)

Kui-to-mo-ya-ca (Iblis wanita bergolok setan) ber-kata dengan nada dingin dan menyindir:

”Hati-hati! Pangcu Hek-eng-pang mempunyai jurus telapak Coan-hui-ciang (Pukulan berputar balik) yang hebat, jangan sampai jurusnya membuat dirimu jungkir balik hingga sepuluh kali dan tidak bisa bangun lagi.”

Jawab Tok-pi-houw dengan nada tidak senang:

”Lelucon! Aku Tok-pi-houw juga mempunyai sedikit nama di Tionggoan, tidak akan mudah dikalah-kan olehnya. Aku katakan padamu, itu hanya ucapan Tuan Kim untuk menakut-nakuti orang. Sebagai pedagang, dia tahu apa?!”

Selesai bicara, terdengar suara yang memberi semangat dari Thi-lohan:

”Kalian tidak perlu takut. Lihat Hoat-po ku akan melumatkan dia.” (Hoat-po=senjata/benda pusaka apa saja yang sudah dikeramatkan)

Tok-pi-houw tercengang mendengarnya. Hek-sat-sin dengan nada terkejut bertanya:

”Adikku, kau punya Hoat-po apa?!”

Coh Ceng-cu berkata sambil tertawa:

”Jika kalian ingin terbuka matanya lebar-lebar, nanti setelah bertemu Hek-eng-pang, ronde pertama biar Thi-lohan yang menghadapinya.”

To-cu-han-koh dan Hek-sat-sin memberi kata sanjungan pada Thi-lohan:

”Bagus! Nanti kau punya kesempatan pertama. Adik bodoh kau!”

Hek-sat-sin dan Tok-pi-houw adalah orang yang punya tabiat cepat naik darah, tetapi terhadap adik bodohnya yang usianya paling muda, mereka menaruh hormat. Mungkin hubungan Thi-lohan dengan Coh Ceng-cu sangat dekat, tetapi kebodohan Thi-lohan menarik simpati mereka.

Sepanjang perjalanan, Thi-lohan sangat akrab dengan mereka, semua orang memanggil dia dengan julukan ”Adik Bloon”. Tapi dia tidak marah, sebelum-nya ketika dia dikatakan kurang pintar, dia malah marah besar.

Sambil bercakap-cakap, rombongan mereka sudah menghampiri lembah gunung itu, ternyata disana ada sekitar delapan tenda.

Coh Ceng-cu seperti teringat sesuatu:

”Aku pernah mendengar dari mulut Suheng, Coan-hui-ciang adalah ilmu silat yang tidak diajarkan pada murid Thian-san-pai, entah mengapa ketua Hek-eng-pang, Seng-ta Ho-cu bisa menguasai ilmu itu?”

Lu Cen-nio segera menyambung:

”Betul! Aku juga dengar dari Liu Sian-hoa.”

It-cin Tojin berkata dengan nada tidak paham:

”Aliran Thian-san dan Kun-lun adalah dua partai pedang yang termasyur di daerah barat ini, selain jurus pedangnya mempunyai ciri khas tersendiri, aturan partainya juga sangat ketat, mengapa Seng-ta Ho-cu yang bajingan ini berani sekali berbuat jahat di depan mereka, tapi mereka diam? Dan ketua bandit ini pun menguasai ilmu tunggal partai Thian-san.”

Kui-to-mo-ya-ca segera berkata dengan nada serius:

”Apa kau tidak mendengar ucapan Tuan Kim? Daerah ini adalah perbatasan propinsi Ceng-hai, Tibet dan Sin-kiang, disini beragam etnis bercampur baur, keadaannya kacau, Seng-ta Ho-cu berbuat sesuka hati-nya, siapapun tidak berani berurusan dengan gerombol an ini.”

Han Siau-li berkata lain:

”Keadaannya bukan seperti itu, permusuhan antara kedua partai Thian-san dan Kun-lun adalah pusat masalah...”

Hong-lui-koan (Tongkat angin dan halilintar) berkata juga dengan nada serius:

”Betul! Cerita ini sudah delapan tahun beredar di daratan tengah, karena perjalanan jauh, semua orang pun banyak yang tidak tahu, kenapa mereka ber-musuhan, kabar burung yang beredar, ketika sampai di daratan tengah, ternyata berlainan dengan fakta.”

Han Siau-li menerangkan:

”Menurut cerita guru dan paman guruku, sepuluh tahun lalu, anak buah kedua partai itu ber-selisih, hingga terjadi pertandingan adu ilmu pedang, ternyata anak murid partai Thian-san kalah semua.”

Lu Cen-nio terlihat sangsi katanya:

”Tidak betul. Jurus pedang Thian-san-pai ada-lah jurus paling unggul di daerah barat, juga dalam pertemuan pemilihan pemimpin dunia persilatan di daratan tengah (Tionggoan) Thian-san-pai berada dua tingkat di atas Kun-lun-pai. Kenapa jago-jago Thian-san bisa kalah semua?”

Han Siau-li berkata lagi:

”Guruku juga sangsi, saat itu mereka pun menunggu ketua kedua partai itu bertarung, kebetulan lima orang yang menamakan dirinya Kian-kun-ngo-cia (Lima sesat langit bumi) datang tepat waktunya, mereka mendamaikan kedua partai itu dengan cara halus dan tekanan. Waktu itu mereka membuat kesepakatan di atas kertas, pengaruh kekuasaan Thian-san-pai tidak boleh melewati selatan gunung Thian-san dan murid partai Kun-lun juga tidak boleh masuk ke utara Gunung Kun-lun.”

Tong Giok-ceng segera berkata:

”Daerah luas antara Thian-san dan Kun-lun kebetulan adalah pegunungan salju.”

Kang Yu-hwan dan orang-orang lain terkejut mendengar perkataan itu. Coh Ceng-cu dengan terkejut bertanya:

”Cici Giok-ceng, menurut perkataanmu ini adalah sebuah rencana jahat?”

”Aku hanya punya pikiran begitu, kenapa jarak aman bagi kedua pihak harus dipisahkan oleh tanah seluas seribu li...?”

Baru saja pembicaraan mereka selesai, ter-dengar tawa terbahak-bahak yang sangat ceria dari arah depan, sambil bicara dengan bahasa Tibet.

Semua orang melihat ke depan, sekitar tiga puluh tombak di depan sebuah tenda besar berdiri lima orang tegap dengan mantel bulu hitam, memakai topi tebal dan di pinggang mereka terselip sebuah golok panjang, mereka sambil tertawa menunggu kedatangan rombongan tamu yang baru datang.

Kui-to-mo-ya-ca melihat pada Han Siau-li dan bertanya dengan gelisah:

”Nona Han, penjahat itu mengatakan apa?”

”Mereka bilang pemalas duduk dalam rumah, kerbau kambing datang menghampiri sendiri...”

Tok-pi-houw dengan gemas berkata:

”Kurang ajar! Mereka sudah bosan hidup! Berani mengumpamakan kita sebagai kerbau tua dan kambing gemuk!”

Beberapa saat kemudian, dari dalam tenda berloncatan lagi sekitar tiga puluh orang bertubuh tegap, semua memakai baju mantel serba hitam dan masing-masing membawa golok panjang di pinggang.

Berdiri di tengah ada seorang bertubuh bagus, bermata besar dengan bulu alis tebal, hidung seperti hidung singa, berjanggut tebal hingga ke perut, tanpa senjata, tetapi berpenampilan gagah.

Rombongan Kang Yu-hwan sudah menduga orang gagah itu adalah si janggut tebal Seng-ta Ho-cu, ketua partai Hek-eng-pang.

Yang berdiri di kiri kanan Seng-ta Ho-cu juga tidak kalah penampilannya. Satu orang membawa senjata kail dari emas, satu orang lagi memegang tongkat berbentuk T.

Melihat wajah mereka mirip suku Han, tidak jauh berbeda dengan murid-murid Partai Thian-san dan Kun Lun yang menyendiri di daerah barat, juga orang Han yang merupakan jago silat dari Tionggoan.

Sambil berjalan di atas kuda rombongan menghampiri tenda dimana Seng-ta Ho-cu berdiri.

Seng-ta Ho-cu berdiri dengan lagak sombong, sebelah tangannya bertolak pinggang, sambil tertawa berkata:

”Tidak disangka aku bisa bertemu Kang-bengcu yang tersohor di tempat terpencil ini, apa kabar? Ha..ha..ha...”

Rombongan Kang Yu-hwan tidak turun dari punggung kuda karena lawan tidak memberi salam sesuai aturan dunia persilatan.

Di atas punggung kuda yang telah berhenti, Kang Yu-hwan tertawa dingin lalu berkata:

”Mendengar kata anda tadi, kau sepertinya sudah tahu bahwa hari ini kita akan melewati tempat ini?”

Seng-ta Ho-cu tertawa lagi, katanya keras:

”Yu-hiap-tong-beng sudah menggemparkan dunia persilatan, karena telah berhasil membereskan binatang buas di Pulau Tiang-to, selanjutnya meng-obrak-abrik Tok-kui-kok (Lembah setan beracun) yang dikuasai Jit-eng-soh (Tujuh orang tua jahat), meng-ampuni Liauw-ya-ih (Nenek bergigi besar) yang berusaha kabur, membakar Hek-houw-leng (Gunung macan hitam) Markas Siang-can (Sepasang kembar cacat). Sekarang membawa aksi seperti pelangi, memimpin sendiri anak buahnya yang hebat datang ke daerah Barat. Kalian orang hebat yang menggempar-kan dunia persilatan, mana bisa aku melewatkan kesempatan ini, melihat sendiri muka asli jagoan kita.

”Aku sendiri sudah lupa kejadian itu, tetapi anda malah bisa tahu begitu jelas, Boleh dibilang daerah anda yang jauh dan minim anak buahnya, bisa mengetahui kegiatan Yu-hiap-tong-beng dalam setahun ini, mungkin bukan pekerjaan mudah.”

Seng-ta Ho-cu agak tertegun dikatakan begitu, wajahnya menjadi merah, dengan nada suara agak marah dia berkata:

”Kang-bengcu, apa maksud kata-katamu tadi?”

Melihat wajah Seng-ta Ho-cu sebentar, Tong Giok-ceng berkata:

”Apa maksud kata-kata Bengcu, kau sendiri pasti tahu, seperti kejadian membasmi Liong-sik (Naga Batu) yang berumur ribuan tahun di pulau Tiang-to, di Tionggoan jarang ada orang yang tahu. Tetapi kau ceritakan pada poin pertama, kelihatannya kau sangat menaruh perhatian terhadap masalah ini...”

”Lelucon! Apa urusannya dengan aku?!” kata Seng-ta Ho-cu tertawa dingin.

”Biarpun tidak ada urusanmu, tetapi selalu ada orang yang tidak bisa lupa atas kejadian itu...”

Seng-ta Ho-cu seperti tersentuh perasaannya, jawabnya dengan kata-kata dingin:

”Orang lain memperhatikan kejadian itu, itu urusan orang lain...”

Tong Giok-ceng sambil melotot berkata marah:

”Tetapi kau seperti menyesuaikan keinginan orang lain, dengan tidak sadar menyinggung kejadian itu!”

Dengan muka merah dan mata marah Seng-ta Ho-cu berkata keras:

”Apa arti ucapanmu, aku sebagai ketua partai, siapa yang bisa mempermainkan aku?”

Hong-lui-koan melihat bahwa penilaian Tong Giok-ceng benar adanya, dia berkata dengan nada dingin:

”Jangankan kau sebagai ketua partai kecil, Thian-san-pai yang tersohor di See-cong (Tibet), juga terkendali oleh orang lain...”

Habis bicara, Seng-ta Ho-cu dengan dua orang bawahannya berteriak bersamaan:

”Omong kosong! Thian-san tersohor di See-cong, juga punya posisi penting di dunia persilatan Tionggoan, siapa yang berani lagi menghina Partai Thian-san, akan dibunuh di sini!”

Hong-lui-koan tidak marah, malah pura-pura terkejut dan berkata:

”Kenapa marah-marah? Apa kalian bertiga anak buah Partai Thian-san?”

Seng-ta Ho-cu yang merasa telah lepas kendali atas emosinya segera berkata:

”Aku hanya bersahabat baik dengan ketua Thian-san-pai dan tetuanya, jika ada orang menghina Thian-san-pai, aku punya kewajiban membela nama Thian-san-pai.”

It-cin Tojin segera berkata dengan serius:

”O-mi-to-hud... sungguh dosa. Thian-san-pai beraliran agama resmi, aturannya sangat ketat, tidak disangka bisa berkawan dengan gerombolan yang suka menghadang dan merampas barang orang di jalanan, aku sebagai murid Budha merasa malu dan tidak enak mendengar kata-kata anda.”

Orang yang berdiri di pinggir Seng-ta Ho-cu berkata marah:

”Tutup mulutmu! Kita disini mengambil uang pengamanan jalan, bukankah pekerjaan ini menolong yang miskin?!

”Jadi... kalian menyayangi rakyat? Membawa rejeki untuk daerah ini, kalian adalah pahlawan, betul tidak?” sindir Kui-to-mo-ya-ca.

Salah seorang yang memegang senjata tongkat berbentuk T, kelihatan yang paling tua, sambil meng-anggukkan kepala berkata:

”Boleh dibilang begitulah keadaannya, daerah ini terpencil, jarang ada orang yang mengurus keamanan, ketua partai kita Tuan Seng sengaja mem-bentuk Hek-eng-pang untuk menjaga keamanan di daerah ini, berpatroli sepanjang tahun, bila ada rombongan pedagang lewat, kaki mengambil upeti keamanan jalan...”

”Uang upetinya apa ada patokan?” kata Goan Ai-leng

”Tentu saja ada! Kalau kuda mereka banyak, barang bawaannya berat, mereka harus membayar lebih banyak.”

”Kalau begitu, kalian minta berapa, pedagang mesti membayar sesuai permintaan kalian?” kata Tok-pi-houw.

Orang pertama yang memegang senjata kail emas dengan mata melotot berkata marah:

”Biar minta banyak, mereka juga sanggup membayar!”

”Bangsat! Bila mereka tidak mau bayar bagai-mana?”

”Kejadian seperti itu belum pernah terjadi.” jawab orang itu dengan sombong.

Hek-sat-sin memandang Tok-pi-houw, seperti tidak sabar lagi dia berkata:

”Kau seperti mau kentut membuka celana lebih dahulu. Terlalu banyak bertanya. Kau lihat mereka, tiap orang matanya melotot, tiap orang punya pisau Tibet, siapa yang berani bilang tidak mau bayar, begitu suara terdengar, kepala mereka pasti pindah tempat.”

Orang itu menjawab lagi dengan suara dingin:

”Membunuh orang juga ada saatnya, bila mereka bandel, tidak mau bayar, ya otak mereka pasti pindah tempat!”

Hek-sat-sin segera naik darah, dengan nada marah berkata:

”Kentut nenekmu, kau berani menghadapi hweesio dan memarahi mereka, si botak keledai, begitu kau marahi yang bandel ini, hari ini juga aku akan memenggal kepalamu!”

Thi-lohan segera berteriak:

”Toako, kau sabar dulu, kan sudah janji? Ronde pertama aku yang keluar menghadapi mereka!”

Dengan tergesa-gesa Thi-lohan turun dari pung gung kudanya. Terdengar suara ’BUNG’. Kepalanya mendarat duluan ke lantai salju, membuat salju di tanah terbang kemana-mana bagaikan bunga salju karena mantel tebal menutupi kepalanya, sehingga dia baru berdiri tegap lagi setelah beberapa waktu. Sambil marah dia menarik-narik mantel dan berkata:

”Mulai hari ini, biarlah aku mati kedinginan dari pada memakai mantel ini!”

Kang Yu-hwan yang masih duduk di punggung kuda berkata dengan nada dingin:

”Adik, ayo naik lagi ke punggung kuda.”

Thi-lohan yang ingin melepaskan mantel terkejut mendengar perintah itu, sejenak dia melihat Coh Leng-cu, yang sambil tersenyum menganggukkan kepala. Thi-lohan dengan muka murung terpaksa naik ke atas kuda lagi.

Kang Yu-hwan segera memberi perintah kepada Hong-lui-koan, katanya:

”Ketua Liu, ambillah uang perak seratus tail di kuda belakang, berikan pada Seng-pangcu

Hong-lui-koan sambil menyahut ”Ya”, sebelum menarik kuda ke arah belakang, Seng-ta Ho-cu berkata dingin:

”Tunggu sebentar!”

Kang Yu-hwan mengerutkan alis dan berkata dengan sabar:

”Kenapa? Apa kurang banyak?”

Tanpa ragu-ragu, Seng-ta Ho-cu berkata:

”Kang-bengcu salah sangka, aku membawa anak buah kemari, menunggu kedatangan kalian, selain ingin melihat wajah gagah kalian, juga ingin minta petunjuk kepada Kang-bengcu, agar bisa bertambah pengetahuan.”

”Ternyata Seng-pangcu ingin aku mencoba jurus telapakmu, Coan-hui-ciang.”

”Tunggu sebentar,” suara Lu Cen-nio terdengar centil .

Seng-ta Ho-cu tercengang sejenak:

”Apakah nona ingin menghadapi aku dulu?”

”Bila aku turun tangan, kalian bertiga juga bukan tandinganku, tetapi aku mesti bicara dulu...”

Belum habis perkataannya, orang yang ber-senjata kail emas berkata keras:

”Jangan banyak omong, keluarkan senjatamu! Biar aku Sie-ku La-ma menghadapi kau dulu.....”

Belum selesai bicara, Seng-ta Ho-cu dengan isyarat tangan menghentikan kata-katanya, sambil memandang Lu Cen-nio dia berkata dingin:

”Biarpun aku tinggal di daerah terpencil, tetapi berita tentang jago silat di Tionggoan cukup banyak ku dengar, tetapi belum pernah mendengar ada seorang jago seperti nona.”

”Menurut ucapanmu, ketua Partai Thian-san, Coan-ceng Totiang adalah teman baikmu, kau pasti mendengar dari mulut Sumoinya, Liu Sian-hoa tentang Hui-hong-kok (Lembah Burung Hong Terbang) di Gunung Pek-tiang!!!”

Mendengar nama Liu Sian-hoa, Seng-ta Ho-cu dan kawan-kawannya menjadi cemas, banyak yang berbisik bisik, mungkin mereka mengenal nama Liu Sian-hoa.

..................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar