Karangan : Yu Dong Long
Rating :
««««
BAB 1
Naga bersembunyi di dalam kota
Warung arak kecil itu terletah di sudut jalan, berada di seberang sungai.
Cat dinding warung arak itu tampak sudah mengelupas, di depan pintunya tidak ada plang nama, sehingga tidak menarik perhatian orang. Tapi di utara di kota Hiang-yang bila ada yang mengatakan atau menyebut ‘Warung arak marga Siau’ hampir semua orang tahu dan mengenalnya, apa lagi anak-anak muda yang bekerja di pelabuhan. Setiap hari mereka pasti akan berputar di depan warung arak itu, mereka sendiri juga tidak tahu datang ke sana untuk minum arak atau untuk melihat Lo-pan-nio (Nyonya majikan) nya yang cantik dan masih muda.
Tentu saja Lo-pan-nio itu bermarga Siau, usianya paling-paling baru 25-26 tahun. Katanya beberapa tahun yang lalu dia sudah menjanda, maka orang-orang memanggilnya Siau Kua-hu (Janda Siau), lama-kelamaan menjadi Siau Kua-hu (janda kecil), seperti apa identitasnya tidak ada seorang pun yang pernah bertanya, karena seorang perempuan masih begitu muda sudah menjanda adalah hal yang menyedihkan. Perempuan lucu dan baik seperti dia tidak ada yang tega membuat-nya mengenang masa lalu yang menyedihkan.
……………………………….
Saat ini janda kecil itu sedang duduk di meja warung.
Warung penuh dengan tamu, setiap tamu yang datang sepertinya adalah orang yang lumayan berduit, setiap meja penuh dengan sayur dan arak, yang membuat orang merasa aneh adalah tamu-tamu itu tidak bicara juga tidak minum arak, mereka seperti terkena sihir, mereka hanya bengong melihat ke arah pintu warung.
Lama-kelamaan janda kecil itu merasa kesal. Diam-diam dia memanggil pelayannya:
”Ji-houw, tanya kepada mereka apakah mereka ingin menambah sesuatu?”
Ji-houw melihat sebentar lalu menjawab:
”Lo-pan-nio, apakah tidak salah? Apakah kau tidak melihat sayur dan arak di atas meja belum disentuh dari tadi?”
Siau Kua-hu merasa marah:
”Makan atau tidak makan adalah urusan mereka, tempat di warung ini terbatas, kita tidak mungkin menunggu mereka terus, kalau tamu tidak senang dengan sayur dan arak di sini, segera usir mereka!”
“Apakah mereka harus membayar?”
”Apa? Tidak membayar, nanti kita makan apa? Tetap meminta uang dan mereka tetap harus diusir, kurang sepeser pun tidak bisa!”
Ji-houw menggaruk-garuk rambutnya setelah itu baru melangkah, tiba-tiba dia berhenti.
Ternyata tamu-tamu yang dari tadi diam sekarang mengangkat cangkir dan piring mereka mulai makan, malah ada seseorang karena tergesa-gesa minum sampai batuk!
Ji-houw melihat ke arah Siau Kua-hu, berharap bisa memberi petunjuk selanjutnya.
Tapi Siau Kua-hu mengira orang-orang itu telah mendengar pembicaraan antara dia dan Ji-houw maka mereka buru-buru makan, ketika dia sedang merasa puas sampai mulut tidak ditutup, tiba-tiba pintu warung ada yang mendorong, 3 orang pria berbaju hitam seperti burung gagak berdesakan masuk.
Yang paling awal masuk berwajah hitam, tubuh pendek, di kepalanya ada bekas luka bacokan, warnanya merah sedikit putih, dari jauh dia seperti orang mabuk. 2 orang yang ada di belakangnya bermata tikus dan berkepala musang, sekali melihat sudah tahu kalau mereka bukan orang baik-baik.
Begitu melihat mereka masuk, Siau Kua-hu segera menunjuk orang pertama yang masuk dan berkata:
”Sam-gan-Tan Kie (Si mata tiga), kalian datang ke sini mau apa?”
Sam-gan-Tan Kie hanya seorang kepala preman di kota itu, maka begitu mendengar kata-kata Siau Kua-hu mereka seperti bola kempes. Yang sedang minum arak meletakkan kembali cangkirnya, yang sedang makan sayur dengan malas meletakkan kembali sumpit mereka, wajah para tamu terlihat tidak senang.
Tan Kie tertawa licik:
”Lo-pan-nio salah paham, hari ini kami bukan datang untuk makan gratis!”
Ji-houw langsung bertanya:
”Apakah kalian datang untuk membayar hutang yang kemarin?”
Tan Kie tidak melayaninya, dengan sikap sangat misterius dia berkata:
”Hari ini aku datang untuk berbisnis!”
“Di antara kita tidak ada hubungan bisnis!”
”Bukan denganmu melainkan dengan mereka!”
Ucapannya baru habis, tiba-tiba di belakang ada yang meludah, hal ini membuat semua orang di warung itu terkejut.
Tan Kie mengerutkan alis, tanyanya dingin:
”Teman mana yang sudah memakan lalat?”
Di sudut ada yang menjawab:
”Aku tidak tahu lalat atau kutu yang masuk mulutku, begitu melihat orang jadi ingin muntah!”
Yang bicara adalah seorang pria bercambang, berbaju panjang berwarna merah hati, di depan baju bagian dadanya ada sulaman uang sebesar kepalan tangan orang.
Setelah melihat orang itu Tan Kie segera tertawa:
”Aku kira siapa, ternyata Soh-beng-kin-cie, (Minta nyawa dengan uang) Pheng Kong, Maaf! Maaf!”
Soh-beng-kin-cian meludah lagi:
”Tidak perlu bersikap seperti sahabat, kau tidak pantas menjadi sahabatku!”
Tan Kie tidak marah, dia tertawa terus:
”Betul! Betul! Membicarakan identitas, ilmu silatku memang tidak pantas… tapi aku juga punya sedikit kepandaian, mungkin bisa membantu Pheng-hiap (Pendekar Pheng)!”
“Oh ya? Kau punya kepandaian apa?” Pheng Kong sedikit terkejut.
Tanpa menunggu jawaban Tan Kie, Siau Kua-hu sudah membuka mulut:
”Jangan dengarkan dia, orang ini selain menipu, makan tidak bayar, tidak ada yang bisa dia lakukan!”
Begitu kata-kata ini terucap keluar, semua orang jadi tertawa. Orang yang ikut di belakangnya pun hampir tertawa.
Dengan terpaksa Tan Kie ikut tertawa, sampai suara tawa mereda baru pelan-pelan berkata:
”Aku lahir dan tumbuh besar di sini, aku memang bukan orang baik-baik, tapi aku sangat mengenal orang-orang di kota ini, bila Pheng-hiap datang ke Siang-yang untuk mencari orang, aku… aku bisa membantumu!”
Pheng Kong segera tertarik, dia segera melihat seorang Yo Lo-pek sedang memegang pipa rokok.
Tamu-tamu yang ada di rumah makan hampir semua melihat pak tua dari desa ini.
Pak tua itu terus mengisap pipa rokoknya lalu pelan-pelan berkata:
”Tan Kie, kau bernasib mujur, mulai sekarang kau tidak perlu makan tanpa membayar lagi.”
“Apa maksud Anda?...” tanya Tan Kie.
“Jika di balik dada seseorang tersimpan banyak uang, menurutmu apakah dia akan melakukan hal yang membuat orang membencinya?” kata pak tua itu.
“Tentu tidak! Tentu saja tidak!” jawab Tan Kie.
“Sekarang secara kebetulan kita sedang mencari seseorang, asal kau mau memberi sedikit informasi kepada kami, bisnis kita jadi!” kata pak tua itu.
Suara Tan Kie jadi gemetar karena tegang, katanya:
”Silakan katakan siapa yang kalian cari?”
“Orang yang kami cari bermarga Yap, umur… umurnya hampir sama denganmu, dia sangat senang minum arak terbaik, juga suka memeluk gadis ter-cantik…” jawab pak tua kampung itu.
Dia terus merokok, mengeluarkan asap dari pipa, seperti tidak sengaja melihat Siau Kua-hu.
Tan Kie tertawa kecut:
”Aku kenal banyak orang bermarga Yap, mungkin kalau disatukan ada 10 kereta dan hobinya sama seperti yang Anda katakan tadi, semua laki-laki memang seperti itu, suka arak, suka perempuan. Kalau aku punya uang, aku juga…”
Kemudian dia menoleh ke arah Siau Kua-hu.
Siau Kua-hu menggebrak meja kedainya dan membentak:
”Lihat apa? Apakah kau pantas?”
“Betul, betul, aku tidak pantas, aku memang tidak pantas!” jawab Tan Kie.
Di sekeliling terdengar tawa lagi.
Tan Kie mendekat:
”Apakah Anda bisa menjelaskan lebih detil, apa bedanya orang itu dengan yang lain?”
“Ada!” kata pak tua itu tanpa berpikir lagi.
“Apa?”
“Orang itu sangat terampil, apa pun bisa dikerjakan, boleh dikatakan tangannya serba guna, boleh dikatakan sepasang tangannya adalah tangan yang selama ratusan tahun ini paling terampil. Orang semacam ini kau kenal ada kereta?” tanya pak tua itu.
Tiba-tiba Tan Kie berteriak aneh:
”Hei, apakah orang yang kalian cari adalah tukang kunci Siau-yap?”
Pak tua itu mengetuk-ngetuk pipa rokoknya ke atas meja jawabnya:
”Benar, kami curiga orang itu adalah dia!”
“Kalau benar dia, itu sangat mudah, dia mem-buka kios di dekat kelenteng, mari aku akan antar kalian kepadanya!”
Pak tua itu menggelengkan kepala:
”Sudah 2 hari dia tidak berdagang!”
“Tempat tinggalnya tidak begitu jauh dari sini, bagaimana kalau kita mencarinya ke sana!” ajak Tan Kie.
“Tidak perlu, karena dia belum pulang!”
“Kalau begitu dia pasti sedang minum arak mungkin sedang mabuk!”
“Sudah kami cari di warung-warung, di mana dia sering minum arak tapi tidak ada bayangannya!”
Tan Kie berpikir sebentar, dia menoleh lagi, pandangannya melewati wajah Siau Kua-hu yang dingin dan melihat ke atas loteng.
“Kau tidak perlu melihat ke atas lagi, kami sudah memeriksa di atas, tidak ada orang itu!” kata pak tua itu.
“Apakah kalian pernah bertanya-tanya?”
“Bertanya kepada siapa?”
Mulut Tan Kie dimiringkan, diam-diam berkata:
”Perempuan itu katanya dia sangat akrab dengan Siau-yap, mungkin dia tahu di mana Siau-yap!”
“Apakah dia mau memberitahu padamu?”
Tan Kie tertawa, suaranya terdengar lebih rendah, katanya:
”Yang pasti dia tidak akan memberitahu secara gratis, tapi perempuan seperti dia asal diberi harga tinggi sekalipun Siau-yap adalah suaminya, dia pasti akan menjual informasinya!”
“Oh ya! Kalau begitu berapa harga Siau-yap?”
“Aku rasa 10 tail sudah cukup!”
Pak tua itu mengangguk, dia menyelipkan pipa rokok di pinggangnya kemudian berjalan mendekati Siau Kua-hu, tanpa bicara dia meletakkan uang emas di atas meja kedai.
Tan Kie yang ada di belakang, pertama-tama yang terkejut, dia tidak menyangka pak tua itu begitu royal.
Siau Kua-hu pun melotot, air liurnya hampir menetes. Ekspresinya seperti sudah beberapa generasi tidak melihat emas.
Sekarang pak tua itu baru tertawa, katanya:
”Jumlahnya memang tidak banyak, tapi ada orang yang bekerja puluhan tahun pun belum tentu bisa mengumpulkan uang sebanyak ini, sekarang asal kau mau memberitahu di mana tukang kunci Siau-yap, 10 tail emas ini akan menjadi milikmu!”
Mendengar kata-kata ini, Siau Kua-hu membalik-kan wajah tidak melihat emas itu lagi.
Tan Kie yang berdiri di sisi terus mencemaskan, sebab Tan Kie khawatir pak tua itu akan menarik kembali emas itu.
Tapi pak tua itu tidak menarik kembali emas itu dia malah mengeluarkan lagi uang emas sejumlah itu, dengan ramah dia berkata:
”Apakah ini cukup?”
Wajah cantik Siau Kua-hu menjadi merah, dia berusaha menahan diri, akhirnya dia tidak tahan dan mengambil salah satu uang emas itu untuk ditimbang-timbang diam-diam juga digigit.
Pak tua itu tertawa dan berkata:
”Tenanglah! Emas ini emas murni, pas 20 tail, sedikit pun tidak kurang.”
Tan Kie membantu menasehati:
”Lo-pan-nio, jangan salah, itu adalah emas!”
Tiba-tiba Siau Kua-hu seperti baru tersadar, dengan cepat mengembalikan emas itu ke tempat semula, terus menggelengkan kepala.
Waktu itu dari bawah meja kedai terjulur keluar sebuah tangan, dengan cepat tangan itu menyapu ke atas meja, dua uang emas itu segera hilang.
Perubahan tiba-tiba ini tidak hanya membuat pak tua itu terkejut hingga mundur beberapa langkah, semua tamu yang ada di warung itu meloncat hingga bangun, ada yang menjaga di pintu, ada yang menutup jendela, membuka baju depan mereka dan mengeluar-kan berbagai macam kantong senjata rahasia. Semua seperti sedang menghadapi musuh besar.
Hanya Tan Kie dan 2 orang yang dibawanya yang masih terus melihat ke bawah meja kedai, seperti-nya mereka masih ingin melihat 2 uang emas itu lagi.
………………………………
Dua keping uang emas itu sekarang berada di tangan seseorang dan uang itu berguling-guling di jari dan telapaknya.
Usia orang itu sekitar 30 tahun, tubuhnya tinggi, ganteng, wajah penuh cambang, terlihat orangnya bersifat terbuka dan tidak mau dikekang.
Dengan malas dia bersandar ke sudut meja kedai, tanpa semangat melihat warung itu kemudian diam-diam melihat pak tua itu, sepertinya dia sedang menunggu pak tua itu menjelaskan kedatangannya.
Pak tua itu menelan air liurnya dan berkata:
”Mohon tanya… apakah Tuan adalah ‘Mo-jiu’ Yap Tayhiap?” (Tangan setan).
”Apakah aku mirip dengannya?” orang itu balik bertanya.
“Yap Tayhiap seperti naga yang ada di langit, jarang ada yang bisa melihat wajah aslinya, maka terpaksa aku harus bertanya pada Tuan, apakah Mo-jiu—Yap Thian, Yap Tayhiap?”
Orang itu tertawa:
”Aku belum pernah membela keadilan, sebutan pendekar besar sepertinya tidak pantas untukku, marga ku Yap, namaku Thian, dulu memang ada yang memanggilku Mo-jiu, tapi itu sudah lama sekali…”
Kata-katanya belum selesai, tiba-tiba semua pintu dan jendela sudah ditutup dan warung menjadi gelap, bersamaan waktu itu terdengar SOUW, SOUW di sekeliling tempat itu, ternyata semua senjata rahasia yang sangat lihai sudah dilemparkan, sasarannya tentu Mo-jiu—Yap Thian.
Tidak lama kemudian suara itu berhenti, pintu dan jendela dibuka kembali, warung kembali terang.
Yap Thian masih seperti tadi, dengan sikap malas bersandar ke meja kedai. Dua uang emas tetap berada di tangannya, sepertinya tadi dia tidak bergerak, tapi di atas atas meja kedai sudah tersusun beraneka ragam senjata rahasia. Ada 24 pisau terbang, 12 buah Piauw, 12 panah yang dilempar, dan jarum tawon kuning, 10 buah Piauw kuning terbuat dari emas.
Semua senjata rahasia dibagi menurut jenis dan macam, tersusun rapi tidak ada yang kurang. Jumlah-nya tidak pas, adalah Piauw yang terbuat dari emas miliki Pheng Kong. Dari 12 Piauw itu hanya 10 yang tersusun di atas meja, dua lagi dengan ukuran besar sudah menghilang.
Semua tamu di warung itu terkejut dan ber-teriak, Siau Kua-hu yang bersembunyi di kolong meja kedai menjulurkan kepala melihat, dia ikut terpaku karena terkejut.
Tan Kie dan dua orang yang dibawanya dari awal sudah bersembunyi di kolong meja, sekarang pun mereka belum berani keluar.
Pak tua itu terpaku lama, baru menghembuskan nafas:
”Tangan seperti setan, benar-benar luar biasa, kagum, aku kagum!”
Yap Thian melemparkan 2 uang emas itu ke pelukan Siau Kua-hu, dia siap naik ke atas loteng.
”Yap Tayhiap, tunggu!” kata pak tua itu.
“Ada apa? Apakah kau anggap permainanku tadi tidak pantas untuk mendapatkan 20 tail uang emas?”
“Oh tidak, aku malah merasa itu sangat pantas!” kata pak tua.
“Kalau pantas mengapa menyuruhku tinggal di sini?”
“Dulu kami tidak mengenal wajah Yap Tayhiap, untuk membedakan apakah asli atau palsu terpaksa kami menggunakan cara ini, memang bisa dikatakan kami kurang sopan, tapi kalau tidak begitu, kami tidak akan bisa menyaksikan kehebatan ilmu silat Yap Tayhiap, untuk perbuatan kami yang kurang sopan, harap Yap Tayhiap sudi memaafkan kami!”
“Di dunia ini yang bisa menyambut senjata rahasia bukan hanya aku saja, dari mana kalian bisa membedakan asli atau palsu?”
“Benar, memang seperti itu, tapi dalam waktu bersamaan bisa menyambut 8 jenis senjata rahasia, tidak banyak orang yang bisa, mungkin ada tapi tidak akan terang-terangan seperti dirimu dan….”
Tiba-tiba pak tua itu tertawa.
Yap Thian merasa sedikit tidak tenang:
”Dan apa?”
“Di antara banyak jenis senjata rahasia kau bisa membedakan yang mana yang berkualitas bagus dan tidak, kau juga menyimpan Kin-cie-piauw dari emas berukuran paling besar, di dunia ini hanya Yap Tayhiap yang sanggup!” kata pak tua.
“Aku telah menjadi sasaran tembak kalian, maka aku ingin menerima sedikit uang terkejut, apakah itu tidak pantas?”
“Pantas, pantas!” kata pak tua itu.
Tapi Yap Thian juga merasa malu, dia berkata:
”Sebenarnya aku hanya ingin bercanda dengan kalian, senjata rahasia ini adalah senjata untuk mencari makan, apakah keberatan aku membawanya?”
Kemudian dari balik dadanya dia mengeluar-kan 2 Piauw terbuat dari emas, dengan sikap tidak rela dia meletakkannya di atas meja kedai, dia menarik nafas dan berkata:
”Sekarang kau sudah tahu siapa aku, kalau begitu siapa kalian? Selama dua hari ini kalian mencari-ku untuk apa?”
“Margaku Yo, Yap Tayhiap bisa memanggilku Yo Lo-pek!”
“Yo Lo-pek! Menyebutmu Lo-pek rasanya tidak sopan!”
“Yap Tayhiap tidak perlu sungkan, aku hanya seorang pelayan, kali ini aku mencari Yap Tayhiap karena diperintahkan oleh majikanku, teman-teman yang ikut diundang majikanku mereka datang ingin membantu, siapa mereka aku yakin setelah Yap Tayhiap melihat senjata rahasia mereka, akan tahu lebih jelas dariku!”
Yap Thian tidak melihat orang-orang itu, dia hanya melihat 2 uang emas yang berada di tangan Siau Kua-hu, setengah percaya dia berkata:
”Menurutmu… kau hanya seorang pelayan.”
“Benar!”
”Pelayannya saja begitu royal, majikannya pasti tidak pelit!”
“Itu sudah pasti, majikanku sudah menyiapkan banyak emas, dia sedang bersiap-siap berbisnis dengan Yap Tayhiap.”
Yap Thian terpaku.
Siau Kua-hu benar-benar senang:
”Dengan emas begitu banyak kau akan ber-bisnis?”
“Benar, semua orang tahu ini adalah bisnis yang sangat menguntungkan!” kata Yo Lo-pek.
Yap Thian mengelus-elus hidungnya:
”Baik! Baik!”
Tiba-tiba Tan Kie merangkak berdiri:
”Selamat, Siau-yap kali ini pasti beruntung!”
Pheng Kong membentak:
”Jangan tidak sopan, nama Siau-yap tidak pantas kau sebut!”
“Ya, ya, aku salah sebut, lain kali tidak akan terulang lagi!”
Pak tua itu melempar sebuah uang perak ke bawah dan berkata:
”Kau boleh pergi!”
Tan Kie memungut uang itu dan melihatnya, dengan kecewa dia berkata:
”Mengapa bukan uang emas?”
“Kau ingin emas, asal kau bisa menyambutnya berapa pun yang kau butuhkan akan kuberikan!” kata Pheng Kong.
Tan Kie tidak berani cerewet lagi, dia membawa 2 anak buahnya pergi.
Pak tua itu pelan-pelan mendekati Yap Thian, katanya dengan pelan:
”Kalau Yap Tayhiap menganggap kita bisa berbisnis, bagaimana kalau mengobrol dengan majikan-ku?”
“Siapa majikanmu? Ada bisnis apa?”
“Mengenai ini… aku tidak bisa banyak bicara, begitu bertemu dengan majikanku, Yap Tayhiap akan segera tahu!”
“Namanya pun kau tidak mau memberitahu, bagaimana aku bisa bertemu dengannya?”
“Asal Yap Tayhiap setuju, dini hari jam 3 nanti, majikanku akan menunggumu di selatan kota, di rumah keluarga Li!”
“Di selatan kota di kediaman keluarga Li? Bukankah itu rumah yang tidak ditinggali dan sudah tua?” tanya Yap Thian.
“Benar, saat itu majikanku akan memasang lampu dan rumah akan dibersihkan untuk menunggu kedatangan Tuan Yap!”
“Tanpa nama juga tidak tahu maksudnya, tapi mengajakku bertemu jam 3 dini hari di tempat yang tidak berpenghuni, he he he!....”
Dia melihat Siau Kua-hu yang masih berdiri di dekat meja kedai, sambil tertawa kecut dia berkata:
”Menurutmu perjanjian seperti ini apakah kau bolah pergi?”
Siau Kua-hu mencengkeram erat uang emas itu, dengan terburu-buru dia berkata:
”Mengapa tidak boleh pergi?”
“Apakah kau belum merasa puas menjadi janda, kau tidak takut aku disembelih?” Yap Thian berkata dengan aneh.
Wajah cantik Siau Kua-hu menjadi merah:
”Jangan sembarangan bicara! Apakah kau masih mabuk arak? Apakah kau tidak melihat orang lain meminta, memberi uang, juga menyindirmu, apakah dia mirip orang yang akan membunuhmu?”
Yo Lo-pek tertawa:
”Apa yang dikatakan Lo-pan-nio benar, kalau kami berniat tidak baik kepada Yap Tayhiap, untuk apa kami membawa banyak senjata rahasia untuk dicoba-kan oleh Yap Tayhiap, kami bisa mencari beberapa pembunuh, itu lebih mengirit waktu?”
“Betul! Betul! Apa lagi menurut Lo-pek ini, mereka sudah menyiapkan banyak uang untuk ber-bisnis denganmu, bisnis seperti ini masa kau tolak?” kata Siau Kua-hu.
“Kalau aku menjadi dirimu, aku pasti akan pergi!” tiba-tiba Ji-houw berkata.
Yap Thian mulai berpikir, lama baru menarik nafas panjang katanya:
”Sepertinya mau tidak mau aku harus pergi, baiklah, memandang 20 tail emas ini, aku setuju malam ini akan ke sana, tapi kita janji dulu, aku mau bertemu bukan berarti aku akan membantu kalian, kalian harus jelas mengenai hal ini.”
Dengan senang pak tua itu berkata:
”Itu sudah pasti, aku mewakii majikanku berterima kasih dulu, tapi malam ini pada pertemuan di rumah keluarga Li, harap Yap Tayhiap menepati janji.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar