Minggu, 14 Februari 2010

Tujuh Pembunuh

Bab I

Pertemuan orang aneh.

Tangan Tu Jit diletakkan di atas meja, tangan itu ditutup dengan sebuah topi caping yang sangat lebar.
Tangan itu tangan sebelah kiri.
Tak seorang pun tahu mengapa dia menutupi tangan sendiri dengan sebuah caping lebar.
Tentu saja Tu Jit bukan bertangan satu, tangan yang sebelah kanannya menggenggam sepotong bakpao yang sudah mengeras, perasaan hatinya juga sekeras bakpao itu, bukan hanya kering, bahkan dingin, keras dan liat.
Padahal dia berada di sebuah rumah makan, rumah makan Thian Hiang-lo.
Diatas meja terdapat aneka macam sayur dan hidangan, juga tersedia arak.
Tapi dia sama sekali tidak menyentuhnya, jangan lagi makan, setetes air teh pun tidak diteguknya, dia hanya mengunyah bakpao keras yang dibawanya, pelan-pelan menikmatinya.
Tu Jit memang seorang lelaki yang teliti dan sangat berhati-hati, dia enggan orang lain menemukan dirinya sudah mati keracunan dalam rumah makan itu.
Senja............. sesaat menjelang senja.
Suasana di jalan raya sangat ramai, banyak orang berlalu lalang, tiba tiba terlihat ada seekor kuda berlarian mendekat dengan kecepatan tinggi, begitu cepat larinya hingga menumbuk tiga orang, dua orang penjaja kaki lima dan seorang pendorong kereta gerobak.
Si penunggang kuda itu mempunyai gerakan tubuh yang lincah dan cekatan, sebilah golok panjang tersoren dipinggangnya, setelah melirik sekejap papan nama Thian-Hiang-lo, tiba tiba dia melejit dari atas pelana kuda, berjumpalitan beberapa kali di udara dan secepat anak panah yang terlepas dari busurnya meluncur masuk ke dalam ruang rumah makan.
Segera terjadi kegaduhan di dalam rumah makan, tapi Tu Jit tetap sama sekali tidak bergerak.
Lelaki kekar yang menggembol golok itu mencabut keluar senjatanya, diantara kilatan cahaya yang menyilaukan mata, tiba tiba dia menebas tangan kiri sendiri.
Dua biji jari tangan yang penuh berpelepotan darah segera rontok ke atas meja, jari manis dan jari kelingking.
Butiran keringat sebesar kacang kedela jatuh bercucuran membasahi wajah lelaki bergolok itu, katanya dengan suara parau:
“Apakah sudah cukup?”
Tu Jit tidak bergerak, buka suara pun tidak.
Lelaki bergolok itu menggigit bibirnya kencang kencang, sekali lagi dia mengayunkan goloknya.
Tangan kirinya segera terpapas kutung dan tergeletak di meja, ternyata dalam tebasan goloknya kali ini,dia telah mengutungi lengan kiri sendiri.
“Sudah cukup belum?” kembali tanyanya.
Akhirnya Tu Jit berpaling juga, dia melirik kepada lelaki itu sekejap lalu manggut manggut.
“Pergi!” serunya.
Paras muka lelaki bergolok itu berkerut kencang lantaran menahan rasa sakit yang bukan kepalang, setelah menghembuskan napas panjang, bisiknya:
“Terima kasih!”
Tanpa membuang waktu lagi, dengan langkah sempoyongan dia menerjang keluar dari rumah makan itu.
Ditinjau dari gerakan tubuh yang dimiliki lelaki kekar itu, semestinya dia berilmu tinggi, gerak geriknya lincah dan cekatan, tapi.... sehabis melirik ke arah topi lebar yang menutupi tangan kiri Tu Jit mengapa dia rela mengutungi lengan sendiri? Bahkan dia seperti merasa berterima kasih sekali kepada lelaki itu?
Rahasia apa yang terdapat dibalik topi lebar itu?
Tak seorang pun yang tahu.
Senja......... kini senja benar-benar telah menjelang.
Kembali tampak dua orang berlarian masuk ke dalam rumah makan dengan langkah tergesa gesa, dua orang itu mengenakan baju mewah yang amat perlente, tampangnya gagah dan penuh tenaga.
Melihat kehadiran dua orang itu, semua yang hadir dalam rumah makan serentak bangkit berdiri, mereka segera membungkuk kan badan memberi hormat, rasa hormat dan kagum terbesit di wajah setiap orang.
Dalam radius delapan li dari situ, tidak banyak orang yang tidak mengenal “Kim-pian Gin-to” (ruyung emas golok perak) Toan-Si siang-eng (dua jagoan dari keluarga Toan), terlebih yang berani tidak menaruh hormat terhadap mereka, mungkin sepuluh jari pun tak ada.
Dua bersaudara Toan sama sekali tak perduli dengan sapaan orang orang itu, mereka pun tidak menyapa Tu Jit, begitu tiba di depan meja, mereka singkap sedikit ujung topi yang menutupi tangan kiri itu, tapi setelah melihat isinya, tiba tiba paras muka mereka berubah jadi pucat pasi.
Dua orang Toan bersaudara itu saling bertukar pandangan sekejap, kemudian terdengar Toan Ing berbisik:
“Tidak salah!”
Sementara Toan Kiat dengan tangan lurus ke bawah dan badannya mengbungkuk hormat katanya pelan:“Selamat datang tuan, apakah ada perintah?”
Tu Jit tak bergerak, apalagi buka mulut.
Karena dia tak bergerak, Toan Ing dan Toan Kiat juga tak berani berkutik, mereka hanya berdiri mematung dihadapannya.
Kembali ada dua orang muncul di dalam rumah makan, mereka adalah “Siang-Bun-Kiam” (pedang pembawa kematian) Pui Gwan dan “Thiat-Jiu-Bu-Tek” (kepalan baja tanpa tandingan) Tiat Tiong-tat, seperti halnya dua bersaudara dari keluarga Toan, setelah menyingkap topi dan melirik isinya, mereka segera berdiri hormat sambil bertanya:
“Apakah ada perintah?”
Karena tak ada perintah, maka terpaksa mereka pun berdiri menanti, selama dia tidak memberi perintah, tak seorang pun diantara mereka berani berkutik.
Padahal mereka semua adalah jago jago dunia persilatan yang berilmu tinggi dan bernama besar, tapi...... mengapa mereka nampak begitu ketakutan setelah melirik ke balik topi itu? Kenapa sikap mereka berubah begitu hormat dan merendah?
Mungkinkah dibalik topi itu tersembunyi suatu kekuatan iblis yang sangat menakutkan?
Senja............. saat senja sudah lewat.
Lentera mulai disulut dalam ruangan rumah makan, suasana di tempat itu mulai terang benderang.
Cahaya lentera memancar ke empat penjuru menyinari wajah orang orang itu, wajah tiap orang basah oleh butiran keringat, keringat dingin.
Tu Jit masih belum memberikan perintahnya kepada mereka untuk melakukan sesuatu, semestinya mereka masih rileks dan santai.
Namun paras muka orang orang itu kelihatan amat tegang, amat serius, seakan akan setiap saat akan menghadapi mara bahaya yang bisa mencabut nyawa mereka.
Malam hari pun menjelang tiba, kilatan cahaya bintang mulai bertaburan di angkasa.
Dari balik kegelapan malam yang mulai mencekam halaman rumah makan, mendadak bergema suara seruling bambu yang sangat aneh, suara itu tinggi melengking, tajam dan menyeramkan, seperti ada setan iblis yang sedang menangis, sedang menjerit kesakitan.............
Paras muka Pui Gwan berubah makin pucat, mimik mukanya mulai menyusut, mulai berkerut lantaran takut, ngeri dan seram.
Tu Jit sama sekali tidak bergerak.
Karena dia tak bergeming, orang lain pun tak berani berkutik, jangan lagi kabur dari situ, menggerakkan badan pun mereka tak berani.
“Blaaammmm!” diiringi suara dentuman keras, tiba tiba atap bangunan rumah itu roboh berantakan, muncul empat buah lubang yang besar sekali di tempat itu.
Empat sosok bayangan manusia melayang turun dengan kecepatan luar biasa, empat lelaki tinggi besar yang bertubuh kekar dengan tinggi badan delapan depa, orang orang itu bertelanjang dada, celana yang mereka kenakan berwarna merah darah dengan sebuah ikat pinggang berwarna kuning emas melilit di pinggangnya, pada ikat pinggang itu tersoren tiga belas batang golok lengkung yang aneh bentuknya, gagang golok berwarna kuning emas dan memancarkan cahaya yang menyilaukan.
Jangan dilihat ke empat orang itu berperawakan tinggi besar dan berat, ternyata gerak tubuh mereka sangat enteng, ketika melayang turun ke lantai ruangan, tubuh mereka nampak begitu ringan seperti kapas yang jatuh ke tanah.
Begitu mencapai permukaan tanah, empat lelaki kekar itu segera menyebarkan diri dan berjaga di empat penjuru sudut ruangan.
Paras muka mereka nampak sangat tegang, pancaran sinar mata ngeri dan seram yang tak terlukis dengan kata memancar keluar dari balik matanya.
Sementara perhatian semua orang sedang tertuju ke tubuh empat lelaki kekar itu, tiba tiba di dalam ruang rumah makan telah bertambah lagi dengan seseorang.
Orang ini mengenakan topi bermahkota emas di kepalanya, jubah emas yang dikenakan sangat indah dan mewah, sebuah ikat pinggang emas melilit di pinggangnya, pada pinggang itu tersoren pula sebilah golok lengkung yang terbuat dari emas, wajahnya putih bersih bagai susu, bulat seperti bulan purnama.
Berbicara soal kehebatan ilmu silat, baik dua bersaudara Toan maupun Pui Gwan, mereka terhitung jago jago yang berilmu tinggi dengan ketajaman mata yang mengagumkan, tapi anehnya, ternyata tak seorang pun diantara mereka yang tahu, darimana orang itu munculkan diri, melayang turun dari atap ruangan? Atau menerobos masuk melalui daun jendela?
Namun, paling tidak ada satu hal yang mereka ketahui, mereka mengenal siapakah jagoan ini.
Dia adalah seorang konglomerat nomor wahid dari Lam-hay, Kim-Koan-Ong (raja ermahkota emas) dari bukit Hong-Kim-San (bukit emas) Ong-sun Bu-ki.
Kendatipun orang tak mengenal dia, cukup melihat dandanan serta tingkah lakunya, mereka pasti bisa menduga siapa gerangan orang tersebut.
Tu Jit tak bergeming, jangan lagi bergerak, berpaling untuk memandang sekejap pun tidak.
Ong-sun Bu-ki berjalan mendekat, membungkukkan badan dan mengintip sekejap ke ujung topi rumput itu, lalu sambil menghembuskan napas panjang, katanya:“Aaah, tidak salah lagi, ternyata memang kau!”
Raut mukanya yang semula tegang dan kaku seketika mengendor, sekulum senyuman lega tersungging dibibirnya, tiba tiba dia melepaskan ikat pinggang emasnya lalu membuka sebuah kancing diujung ikat pinggang tersebut, delapan belas butir mutiara yang bersinar lembut seketika menggelinding keluar dari balik ikat pinggang itu.
Ong-sun Bu-ki kumpulkan ke delapan belas butir mutiara itu ke atas meja, kemudian sambil membungkukkan badan dia memberi hormat, katanya dengan tersenyum:
“Apakah ini cukup?”
Tu Jit tidak bergerak, juga tak bersuara.
Sementara itu suara seruling bambu yang bergema dari balik kegelapan makin lama semakin bertambah cepat nadanya, bahkan makin lama semakin mendekat.
Senyuman yang tersungging diujung bibir Ong-sun Bu-ki kelihatan semakin dipaksakan, dia lepaskan topi mahkota emas yang dikenakan di kepalanya, diatas topi emas itu bertaburkan delapan belas batang batu kemala hijau yang amat bening.
“Apakah ini sudah cukup?” kembali tanyanya sambil meletakkan mahkota emas itu ke atas meja.
Tu Jit tidak bergerak, juga tak bersuara.
Sekali lagi Ong-sun Bu-ki lepaskan golok emas yang tersoren dipinggangnya, cahaya golok itu amat tajam dan menyilaukan mata.
“Apakah sudah cukup?” kembali ia bertanya.
Tu Jit masih tak bergeming.
“Apa lagi yang kau minta?” tak tahan Ong-sun Bu-ki bertanya dengan kening berkerut.
“Ibu jari tangan kananmu!” tiba tiba Tu Jit buka suara.
Jika ibu jari tangan kanannya kutung, maka tangan itu tak bisa dipakai lagi untuk menggenggam golok, jangan lagi main golok, menggunakan pisau terbang pun jangan harap.
Berubah hebat paras muka Ong-sun Bu-ki.
Sementara itu suara seruling bambu kedengaran makin cepat nadanya, juga semakin mendekat, ketika bergema dalam telinga, suaranya amat tajam dan menyakitkan, bagaikan ada beribu ribu batang jarum sedang menusuk gendang telinga kita.
Ong-sun Bu-ki menggigit bibirnya kuat kuat, dia angkat tangan kanannya dan menjulurkan ibu jarinya, kemudian teriaknya keras:
“Ambilkan golok!”
Lelaki kekar bertelanjang dada yang berdiri disudut ruangan seketika mencabut keluar goloknya, diantara kilatan cahaya emas yang menyilaukan mata, sebilah golok lengkung telah meluncur ke depan dan berpusing satu kali diatas lengan tangan Ong-sun Bu-ki.
Sebuah ibu jari yang berlumuran darah segera rontok ke atas meja.
Golok lengkung itu berputar satu lingkaran di udara, kemudian dengan kecepatan tinggi meluncur balik ke tempat semula.
Paras muka Ong-sun Bu-ki berubah hijau membesi, sambil menahan rasa sakit yang luar biasa, tanyanya:“Apakah sudah cukup?”
“Apa yang kau inginkan? Tanya Tu Jit tiba tiba sambil angkat muka dan meliriknya sekejap.
“Membunuh seseorang!”
“Siapa yang ingin kau bunuh?”
“Kui-ong (raja setan)!”
“Yang To?”
“Benar!”
Mendengar nama orang itu, Pui Gwan, Tiat Tiong-tat maupun dua bersaudara Toan segera merasakan hatinya bergidik, tanpa sadar paras muka mereka ikut berubah memucat.
“Kui-ong” si raja setan Yang To memang sebuah nama yang mengerikan, nama yang bisa membuat hati bergidik dan sukma serasa melayang meninggalkan raganya.
Dalam pada itu, suara seruling bambu yang bergema memecahkan keheningan telah berubah menjadi rendah, berat, seperti suara seorang janda yang sedang meratap, sedang menangis sedih karena ditinggal mati keluarganya, suara itu mendatangkan perasaan gundah dan pedih bagi siapapun yang mendengarkan.
“Padamkan semua lentera!” mendadak Ong-Sun Bu-Ki menghardik.
Empat orang lelaki kekar bertelanjang dada itu serentak turun tangan, diantara kilatan cahaya emas dan deruan angin tajam yang membelah angkasa, serentak semua lentera yang ada dalam ruangan itu menjadi padam.
Suasana dalam ruangan seketika berubah menjadi gelap gulita.
Di tengah suasana kegelapan yang mencekam, mendadak tampak puluhan buah lentera kembali bercahaya dari luar ruangan, bukan saja cahaya lentera itu muncul dari halaman luar, dari wuwungan rumah pun cahaya lentera muncul bersamaan waktunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar