Judul asli : Yingzhua wang
Pengarang : Zheng Zhengyin
Penerbit : Keng Po, 1957
Penerjemah : Oey Kim Tiang (O.K.T., 1904-1995)
Jilid : 15 jilid tamat (@ 80 halaman).
Pada permulaan pemerintahan Kaisar Tong Tie dari kerajaan Tjeng, disebut kalau propinsi Siamsay sedang terancam oleh pemberontakan kaum Rambut Panjang yang majukan dua puluh laksa jiwa serdadunya di tiga jurusan. Tetapi Jenderal To Liong Oh telah hajar pemberontak di kota Keng Tjie Kwan hingga kawanan itu jadi terpencar dan mengacau di sana-sini. Membaca beberapa halaman permulaan dari cerita ini, kebanyakan akan menduga kalau ini bukanlah boehiap siauwswat (novel cersil) tetapi hanya sekedar yangie siauwswat (novel sejarah) yang berkisar seputar pertentangan antara kaum pemberontak dan kerajaan plus dengan segala intriknya, perkara korupsi di kerajaan, atau kisah cinta antara tokoh utamanya yang (biasanya) juga adalah kepala dari kaum pemberontak yang ingin merebut, atau sedikitnya membersihkan kerajaan dari para politikus bejat atawa koruptor.
Tapi tidak demikian dengan Eng Djiauw Ong ini……………!
Cerita dibuka dengan mengisahkan Hoa In Hong yang sedang bertugas untuk mengantar surat rahasia yang dikirim oleh gurunya, Ong To Liong, yang bergelar Eng Djiauw Ong (Ong si Kuku Garuda atau dapat juga diartikan Raja Cakar Garuda) yang ialah juga tjiangboendjin Hoay Yang Pay. Surat rahasia tersebut ditujukan kepada Yo Boen Han yang merupakan kawan kekal dari In Hong punya soehoe. Yoe Boen Han adalah hartawan di Kota Hoa-im, mantan pembesar negara yang terkenal sebagai orang jujur dan bersih. Ong si Kuku Garuda ini sepuluh tahun silam pernah mendapatkan pertolongan dari Yoe Boen Han sehingga akhirnya mereka kemudian mengikat diri sebagai kawan kekal.
In Hong, akibat teledor di dalam perjalanan harus kehilangan surat penting itu. Secara tidak sengaja surat itu ditemukan oleh seorang penduduk kota Tong Kwan. Selesai membaca dan dikira kalau isi surat itu ada sangkut-pautnya dengan kaum pemberontak, maka lantas surat itu kemudian dibawa dan diserahkan kepada pembesar militer setempat. Di dalamnya surat itu Eng Djiauw Ong ada memberitahukan agar Yoe Boe Han sekeluarga selekasnya pergi dari kota Hoa-im dikarenakan adanya rencana dari kaum pemberontak untuk menyerbu dan merampas salah satu kota di dekatnya Yoe Boe Han tinggal. Keluarga Yoe dianjurkan pindah ke kediamannya Eng Djiauw Ong untuk sementara waktu.
Surat ini jelas mencurigakan lantaran datang dari kota Lim-hoay, yang mana kota itu merupakan sarang dari bandit pemberontak terkenal bernama Thio Hok Leng. Jelas dalam surat itu terdapat informasi kalau gerombolan bandit itu berencana menyerbu Kwan-tiong. Maka dari mana si Eng Djiauw Ong bisa tahu rencana rahasia dari kaum pemberontak kalau dia sendiri bukan bagian dari pemberontak? Tak heran kemudian apabila In Hong dan Yoe Boe Han sekeluarga ditangkap oleh para tentara negeri dan dicurigai sebagai orang yang ada hubungannya dengan kawanan bandit Thio Hok Leng dari Lim-hoay, berdasarkan penafsiran isi surat yang tercecer itu.
Eng Djiauw Ong yang mengetahui anak muridnya tertangkap tidak tinggal diam, apalagi dia merasa bersalah lantaran gara-gara suratnya maka keluarga Yoe Boe Han harus ditangkap dan disiksa. Ikut ditangkap dalam rombongan keluarga Yoe ini adalah putrinya yang bernama Yoe Hong Bwee, yang ternyata anak murid dari Tjoe In Am-tjoe dari See Gak Pay.
Di dalam usahanya membebaskan Keluarga Yoe dan muridnya dari tawanan, Eng Djiauw Ong bertemu dengan Tjoe In Am-tjoe sehingga akhirnya mereka bekerja sama dalam usaha pembebasan anak muridnya.
Ketika Eng Djiauw Ong berusaha menggunakan jalan diplomasi dalam membebaskan keluarga Yoe dan muridnya dari tawanan, tak terduga In Hong dan Hong Bwee sudah terlebih dahulu ada yang membebaskan. Akan tetapi alih-alihnya In Hong dan Hong Bwee hanya berpindah tangan penculik. Ibaratnya seperti keluar mulut harimau masuk mulut buaya.
Sadar bahwa muridnya dalam bahaya, tanpa membuang waktu Eng Djiauw Ong dan Tjoe In lantas uber para penculik murid mereka, hingga pada suatu bentrokan, para penculik In Hong dan Hong Bwee meninggalkan karcis nama dengan pesan agar Eng Djiauw Ong dan Tjoe In menjemput kedua murid kesayangannya di sebuah tempat bernama Tjap-djie Lian-hoan-ouw, yang belakangan kemudian diketahui sebagai markas besarnya gerombolan Hong Bwee Pang. Inilah jelas sekali kalau orang orang Hong Bwee Pang sedang cari setori terhadap mereka berdua! Dan intrik inilah yang berkembang menjadi inti cerita yang sangat sederhana... perseteruan Hoay Yang Pay & See Gak Pay contra Hong Bwee Pang.
Hong Bwee Pang saat itu merupakan perkumpulan atau pang yang sedang membangun kekuatan besar-besaran. Walaupun ketuanya dianggap orang gagah, tetapi banyak rekrutan anak buahnya yang dari kalangan penjahat, yang melakukan usaha-usaha yang diharamkan pemerintah, seperti mengusahakan garam.
Setelah peristiwa penculikan itu, cerita kemudian hanya melulu mengenai usaha seru dari Eng Djiauw Ong dan Tjoe In Am-tjoe dalam menggalang kekuatan untuk menyerbu Hong Bwee Pang. Berbagai cara dan usaha sabotase serta penggangguan dilancarkan oleh kawanan Hong Bwee Pang untuk menghancurkan rombongan Eng Djiauw Ong dalam sepanjang perjalanannya mencapai Tjap-djie Lian-hoan-ouw. Dalam perjalanannya menuju sarang Hong Bwee Pang ini, Eng Djiauw Ong mendapat bantuan dari anak murid Hoay Yang Pay, See Gak Pay, serta golongan tua dari perguruan serta para sahabat kang-ouw yang memang tidak bersimpati pada gerakan Hong Bwee Pang.
Di dalam markas Hong Bwee Pang sendiri, sadar kalau sedang mendapat ancaman serbuan dari seantero rimba hijau yang dipimpin oleh Eng Djiauw Ong, mereka semakin merapatkan barisan, akan tetapi selain dari luar selalu ada ancaman dari dalam, mereka juga dihadapkan dalam situasi untuk memadamkan kobaran api dari dalam, yaitu adanya kawan mereka sendiri yang melakukan pembangkangan dan mencoba melakukan pemberontakan. Cerita berjalan terus sampai kemudian akhirnya tiba battle royale, yang mengharuskan jago-jago dari kedua kelompok ini bertempur satu lawan satu dengan aturan rimba hijau untuk menuntaskan dendam lama: memutuskan menang kalah, benar atau salah melalui pie-boe.
ooooooooooOOoooooooooo
Para pembaca cersil yang mengharapkan cerita silat dengan jurus-jurus fantastis, para enghiong tampan dengan siotjia paras cantik, pasti akan kecewa dengan cerita ini. Tidak ada kisah asmara dan segala peristiwa kebetulan yang membuat pahlawannya menjadi sakti mandraguna dalam cerita ini. Masing-masing tokoh yang tergabung dengan rombongannya Eng Djiauw Ong mempunyai kisah petualangannya sendiri sendiri untuk kemudian cerita mereka itu kemudian terangkai menjadi satu kesatuan dalam garis besar cerita dengan pengakhiran yang menegangkan. Selepas jilid 6, cerita mengalir dengan tempo naik dikarenakan semakin rombongan Eng Djiauw Ong mendekati markas Hong Bwee Pang, makin banyak jebakan yang dipasang serta intrik-intrik yang diceritakan secara rinci dan hidup. Belum lagi kemunculan banyak tokoh aneh golongan tua baik di pihak musuh maupun di pihak Eng Djiauw Ong yang turun gunung untuk membantu masing masing kelompok dalam mencapai tujuannya, dengan gerakan-gerakan jurus silat yang diceritakan sedemikian detil, sampai pembaca sendiri terkadang menjadi bingung karena deskripsi yang demikian lengkap.
ooooooooooOOoooooooooo
Jadi, apakah Eng Djiauw Ong ini layak masuk dalam peringkat atas polling? Tidak jadi masalah ya atau tidak. Masing-masing pengarang cersil memiliki kekhasannya sendiri-sendiri, demikian juga dengan selera setiap pembaca yang boleh berbeda. Jika tjersil-fans hard-core (demikian ujarannya), menyukai Eng Djiauw Ong, maka dia tentu juga tidak menolak untuk disuguhi Hay Tong Kok atau Hiat Tjiat Kee Djiauw Gay dari pengarang yang sama. Satu Tauwtoo ada menempelkan 4 bintang untuk cerita ini alias sama dengan “highly recommended” untuk Eng Djiauw Ong, dengan menambah embel-embel label sebagai berikut: “Eng Djiauw Ong, ****, highly-recommended, sangat direkomendasikan untuk mereka yang telah berhasil membuka jalan darah tok dan djim, membaca buku ini untuk mereka dapat memberikan sensasi kenyamanan di seluruh aliran jalan darah dan sangat baik untuk kesehatan”.
Blog ini dipersembahkan bagi para penggemar cersil sebagai panduan awal apabila ingin membeli cersil. Apabila masih membutuhkan informasi bisa menghubungi saya via email
Minggu, 14 Februari 2010
Sebilah Pedang Mustika
Judul asli : Huanjian Qiqing Lu
Pengarang : Liang Yusheng (Nio Ie Seng, 1922- )
Penerbit : PT Wastu Lanas Grafika ― Surabaya
Penerjemah : Oey Kim Tiang (O.K.T., 1904-1995)
Cetak terbatas : 2004 ― 800 eksemplar
Jilid : 1 (satu) buku
Djin wie tjay soe, niauw wie sit bong
Manusia mati karna harta, burung mati karna makan.
ooo000ooo
Bagi para peminat dan pembaca cersil (cerita silat) , mereka akan menyebut kisah trilogi Pendekar Rajawali identik dengan nama Kim Yong (Jin Yong/Chin Yung), juga tidak akan asing apabila disebutkan nama Ong Touw Louw (Wang Dulu), yang menghanyutkan dengan cerita pentalogi kisah petualangan pendekar Lie Bouw Pek, maka ketika disebutkan nama Nio Ie Sheng (Liang YuSheng), para pecandu cerita silat akan serentak menunjuk saga Thian San , sebagai masterpiece dari pengarang cersil yang satu ini, Saga serial Thian-San disebut-sebut oleh para pecandu cersil sebagai serial terpanjang dalam kisah cerita silat (terjemahan) yang pernah ada.
Hoan Kiam Kie Tjeng (HKKT) yang akan kita bahas ini , adalah satu dari rangkaian cerita dan sekaligus merupakan kisah pembuka dari saga Thian-San karangan Liang YuSheng, di tanah air oleh Oey Kim Tiang―atau lebih dikenal dengan O.K.T.― kisah HKKT diterjemahkan dengan judul Sebilah Pedang Mustika, pernah diterbitkan oleh PT. Mekar Djaya pada tahun 1959 terdiri dari tiga jilid. Rasanya tidak perlu lagi diceritakan reputasi OKT dalam “menceritakan kembali” berbagai cerita silat yang diterjemahkannya. Sastrawan dan ahli bahasa Ajip Rosidi menulis, siapapun pengarangnya, apapun ceritanya, apabila digarap oleh OKT, maka akan menjadi cerita khas dengan gaya OKT. Tapi dalam tulisan ini penulis tidak bermaksud membahas mengenai kehebatan OKT dalam menerjemahkan, tapi lebih kepada membahas isi cerita sebagai pengantar bagi mereka para peminat cerita silat yang belum pernah membaca atau pernah membaca tapi lupa akan isi dari cerita HKKT ini.
Untuk kegembiraannya kalangan pembaca cerita silat tanah air, novel silat terkenal ini telah diterbitkan ulang seperti apa adanya ketika pertama kali diterbitkan 46 tahun yang lalu, hanya sedikit perbedaan untuk ejaan, untuk terbitan tahun 2004/2005, penulisan dan ejaan telah disesuaikan dengan ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan, kecuali untuk penulisan nama-nama dan istilah-istilah yang khas cerita silat, dalam novel ini istilah-istilah tersebut masih tetap dipertahankan dengan penulisan ejaan yang digunakan pada cetakan pertama 46 tahun yang lalu.
Mengingat sekarang buku atau novel silat terjemahan macam ini sudah termasuk barang langka dan susah ditemukan di toko buku biasa, maka tak heran kalau penerbitan kembali HKKT di tahun 2004/2005 ini disambut dengan rasa gembira, walaupun masih ditujukan untuk kalangan terbatas penggemar cerita silat, tapi sudah cukup sebagai obat rindu dan nostalgia bagi mereka para penggemar cerita silat di Indonesia.
ooo000ooo
HKKT untuk pertama kalinya ditulis oleh Liang Yusheng sebagai cerita silat bersambung di sebuah koran terbitan Hongkong bernama Xianggang Shangbao (Hiangkang Siangpoo), medio November tahun 1959, sebenarnya Liang YuSheng ketika menulis HKKT ini, juga sedang menulis cerita silat bersambung lainnya di koran yang berbeda masih terbitan Hongkong, berjudul Peng Cong Hiap Eng (PCHE), dan muncul duluan di koran itu sebelum HKKT. Hal yang menjadi unik dalam proses penulisannya , adalah bahwa HKKT ditulis oleh Liang YuSheng sebagai prequel dari PCHE yang terbit duluan tapi ditulis secara hampir bersamaan !, artinya ketika PCHE masih belum tamat, Liang YuSheng sudah mulai menulis sebuah cerita lagi, yaitu HKKT ini, yang bercerita mengenai kejadian sebelumnya dari PCHE. Dari proses penulisannya saja , HKKT sudah menjadi cukup unik, lantaran tentunya dibutuhkan ketelitian tinggi dan daya ingat yang kuat bagi Liang YuSheng untuk menulis dua cerita secara bersamaan dimana yang satu merupakan prequel dari cerita yang satunya lagi, tentu saja hal tersebut adalah suatu keharusan agar tidak terjadi ketidaksesuaian sejarah , periodesasi, nama tokoh, dan lain lainnya antara prequel dan sequel, sehingga pembaca tidak akan bingung selagi membacanya.
oo000ooo
Dalam HKKT ini, cerita mengambil latar belakang setelah pertempuran di Sungai Tiangkang yang legendaris, di mana pasukan Thio Soe Seng akhirnya dapat dipukul dan dikalahkan oleh pasukan dari Tjoe Goan Tjiang. Thio Soe Seng yang kalah perang akhirnya gugur dan mengakhiri hidupnya di Sungai Tiangkang. Adapun setelah peristiwa itu Tjoe Goan Tjiang semakin kuat dan luas pengaruhnya hingga berhasil menggulingkan pemerintahan saat itu untuk kemudian mendirikan dinasti baru yang dikenal dengan dinasti atau kekaisaran Beng, dan menjadi kaisar pertama dari dinasti Beng yang didirikannya itu.
Latar kejadian pertempuran Sungai Tiang Kang dan perseteruan antara Thio Soe Seng dengan Tjoe Goan Tjiang inilah yang menjadi benang merah dari HKKT, peristiwa itu bahkan masih terus menjadi benang merah bagi cerita Peng Cong Hiap Eng, yang merupakan sequel dari HKKT.
Selain Thio Soe Seng yang kena dikalahkan dan gugur di Sungai Tiang Kang, ikut gugur juga beberapa pengawal setianya, di antaranya Peng Hweeshio yang pernah diangkat guru oleh Thio Soe Seng dan Tjoe Goan Tjiang berdua sewaktu mudanya. Walaupun demikian, di antara yang gugur tentu ada yang selamat, ialah putra mahkota dari Thio Soe Seng, yang berhasil diselamatkan oleh salah satu pengawalnya bernama Tjio Thian Tok dan dibawa lari keluar perbatasan, sampai seterusnya menuntut penghidupan di negeri Watzu sambil berencana menyusun kekuatan untuk kembali ke Tionggoan. Selain Tjio Thian Tok, yang berhasil lolos dari pertempuran Sungai Tiang Kang , masih ada seorang lagi bernama, In Boe Yang, lelakon In Boe Yang inilah yang kemudian menjadi pemegang kunci cerita dari keseluruhan cerita HKKT.
Meskipun berhasil lolos dari pertempuran maut sungai Tiangkang, Boe Yang harus rela kehilangan istri setia yang gugur dalam pertempuran tersebut. Istrinya, Tan Soat Bwee, adalah juga putri tunggal dari Tan Teng Hong, pendekar kesohor pada jaman itu yang setingkat dengan Peng Hweesio. Di jaman itu, Peng Hweesio, Tan Teng Hong dan Bouw Tok It (ketua Boe Tong Pay) mereka bertiga sudah terkenal sebagai tiga orang tokoh cabang atas dunia persilatan.
Mengiringi nasib baik Boe Yang yang berhasil lolos dari pertempuran maut sungai Tiangkang, banyak orang menduga bahwa Boe Yang adalah seorang penghianat, mereka percaya kalau dia berhasil lolos dari Sungai Tiang Kang lantaran secara licik telah menjual junjungannya, Thio Soe Seng ke tangan musuh untuk imbalan keselamatan jiwanya, maka tak heran apabila setelah lolos dari peristiwa Sungai Tiang Kang itu, ia lantas lari ke Boe Tong Pay, otaknya yang cerdas menuntun dirinya untuk mencari perlindungan dari Bouw Tok It yang berilmu tinggi. Dengan keahliannya membawa diri, Boe Yang berhasil mendapatkan kepercayaan Bouw Tok It, untuk kemudian menetap di Bu Tong, tidak cukup sampau disitu , Boe Yang malah kemudian berhasil memikat dan menikahi Bouw Poo Tjoe, puteri satu-satunya dari Bouw Tok It. Otomatis dengan pernikahan itu, jadilah ia menantu dari ketua Bu Tong Pay yang paling dihormati kalangan dunia persilatan saat itu.
In Boe Yang ini memangnya seorang yang temaha (sekaker, serakah), mengetahui kalau ayah mertuanya mempunyai kitab ilmu pedang nomor satu di dunia, otak liciknya mulai bekerja, dengan memperalat kedudukan istrinya, berbareng mereka berhasil mencuri kitab pusaka itu dan lari ke Gunung Holan untuk menyembunyikan diri. Dalam cerita selanjutnya, Bouw Poo Tjoe kemudian melahirkan seorang putri sebagai buah perkawinannya dengan In Boe Yang, tapi kemudian seumur hidup tak habis-habis ia menyesali kebodohannya telah berbuat durhaka pada ayahnya.
ooo000ooo
Tak terasa beberapa puluh tahun telah lewat, suatu hari muncul seorang pemuda cakap bernama Tan Hian Kie yang kelihatan sedang mendaki Gunung Holan, ia diceritakan sedang mencari kediaman Keluarga In. Tidak jelas asal-usul pemuda ini, tapi jelas datang kesitu untuk membunuh In Boe Yang. Dalam pendakiannya di Gunung Holan ini, tanpa diharapkannya, Tan Hian Kie musti kebentrok dengan seorang pemuda lainnya yang bernama Siangkoan Thian Ya, bentrok yang bermula dari salah paham sepele soal asmara dan melibatkan pihak ketiga, seorang gadis cantik bernama Siauw Oen Lan.
Thian Ya terang-terangan mencintai Oen Lan, sedang Oen Lan sendiri kena dipikat hatinya oleh Hian Kie, sehingga terjadilah cinta segi tiga, sedangkan Hian Kie sendiri sebenarnya tidak menaruh cinta kepada Oen Lan, urusan sepele tapi menjadi rumit karena Thian Ya yang tinggi hati tidak mau menerima kenyataan kalau Hian Kie malah menampik cinta Oen Lan, padahal gadis itu sebelumnyai dengan tegas telah mendepak cintanya,....sampai kemudian terjadilah bentrokan ! , usai bentrokan, Hian Kie cedera, tak kuasa meneruskan perjalanan mendaki, ia kemudian kesasar, pingsan dan jatuh ke sebuah lembah di Gunung itu
.
Siuman, Hian Kie menyadari kalau dia sudah berada di kediaman keluarga In, malah tanpa diharapkan selama pingsan ia telah dirawat secara telaten oleh In So So, putri dari orang yang sedang diincarnya untuk dibunuh !, dalam masa pemulihan, perlahan lahan kedua insan ini berhubungan makin intim, sampai akhirnya dapat ditebak, Hian Kie dan So So kemudian saling jatuh cinta walaupun sadar bahwa di balik percintaan mereka itu terdapat dendam turunan dari leluhur mereka masing-masing.
Selanjutnya cerita mengalir deras, walaupun hanya terjadi di lokasi seputaran Gunung Holan saja.
Ternyata banyak rahasia disimpan oleh lelakon kita , In Boe Yang ini. Ia mempunyai sebuah gambar lukisan panorama Souwtjioe, yang ternyata merupakan peta harta karun peninggalan Thio Soe Seng. Selain itu, kitab ilmu pedang curian dari ayah mertuanya ternyata memiliki sejarah panjang terutama yang berhubungan dengan ahli waris seharusnya, dengan semakin berjalannya cerita, terungkap kalau kitab ilmu pedang itu berhubungan erat sekali dengan dirinya Hian Kie. Lika-liku dan perjalanan panjang kitab ilmu pedang tersebut hingga sampai akhirnya jatuh ke tangan Bouw Tok It, diceritakan dengan gaya flash back oleh salah satu saksi hidup yang juga kebetulan adalah salah satu tokoh kunci pemegang rahasia dari segala kejadian yang terjadi di HKKT ini.
- Siapa sebetulnya Tan Hian Kie? Ada hubungan apa antara dia dengan Thio Soe Seng?, Siapa pula Siangkoan Thian Ya dan Siauw Oen Lan ?
- Bagaimana akhir kisah cinta antara Hian Kie dan So So?, dan rahasia apa saja yang dipendam oleh In Boe Yang? Apakah benar Boe Yang seorang penghianat?, ada kejadian apa dibalik pertempuran Sungai Tiang Kang?
- Rahasia apa sebenarnya yang tersimpan di balik lukisan pemandangan yang dimiliki Boe Yang?
Cerita kemudian diakhiri klimaks. Seluruh rahasia di balik pertempuran Sungai Tiang Kang, misteri dari kitab dan pedang pusaka, serta asal-usul Hian Kie, Siangkoan Thian Ya, Siauw Oen Lan dan lain-lainnya diungkapkan secara perlahan-lahan, sampai kemudian akhirnya pembaca menjadi jelas .
Semua tokoh yang muncul di HKKT mempunyai keterkaitan satu sama lain, setiap tokoh tidak begitu saja dimunculkan hanya untuk meramaikan suasana tanpa peran, tapi setiap tokoh mempunyai peran dengan membawa sejarah dan rahasia dirinya masing masing sekaligus menjadi kunci akan rahasia dari tokoh cerita lainnya, terus menerus tokoh baru bermunculan dengan rahasianya masing masing sambil membawa kunci rahasia orang lain...., bahkan sampai cerita sudah hampir mencapai klimaks dan mendekati tamat-pun, Liang YuSheng masih saja menampilkan satu tokoh kunci lainnya di pamungkas cerita, yang berperan sebagai pengantar untuk menutup cerita.
Sebagian pembaca mungkin akan merasa miris, kesal atau malah menangis, minimal menitikan air mata sambil menghela napas panjang ketika membaca akhir cerita HKKT ini, mereka yang menyukai “happy ending” akan terpaksa terus membaca sampai lembar akhir sembari menyimpan harapan agar plot cerita berbelok seperti apa yang diharapkan, tapi diluar itu tidak sedikit juga para pembaca cersil yang justru memuji cara Liang Yusheng mengakhiri cerita ini.
ooo000ooo
Walaupun masih terdapat beberapa kesalahan kecil dalam proses editing-nya, penerbitan HKKT ini dapat dibilang sebagai pembuka jalan bagi kembalinya genre cerita silat terjemahan di tanah air, baik dalam bentuk penerbitan ulang maupun penerbitan karya terjemahan baru, sebelumnya dari Bandung, seorang peminat cerita silat yang sudah terkenal di kalangan masyarakat cersil Indonesia sudah pula menerbitkan satu cersil baru walau masih ditujukan untuk kalangan terbatas peminat cerita silat tanah air.
Sementara itu, kabar bahwa Masyarakat Tjersil Indonesia bekerjasama dengan pihak penerbit yang sama telah menerbitkan cetak ulang Peng Cong Hiap Eng ( Dua Musuh Turunan... – masih hasil terjemahan dari OKT ) yang merupakan lanjutan dari HKKT ini, adalah kabar yang sudah ditunggu tunggu dan menggembirakan hatinya para peminat cerita silat di tanah air. Para pembaca baru tidak akan perlu mendelu (jengkel) hatinya menunggu terlalu lama untuk mengikuti terus lanjutan cerita saga Thian San yang terkenal ini, sedang bagi mereka para pembaca cerita silat yang sudah membaca kedua judul ini , minimal akan terpuaskan rindu nostalgianya.
Pengarang : Liang Yusheng (Nio Ie Seng, 1922- )
Penerbit : PT Wastu Lanas Grafika ― Surabaya
Penerjemah : Oey Kim Tiang (O.K.T., 1904-1995)
Cetak terbatas : 2004 ― 800 eksemplar
Jilid : 1 (satu) buku
Djin wie tjay soe, niauw wie sit bong
Manusia mati karna harta, burung mati karna makan.
ooo000ooo
Bagi para peminat dan pembaca cersil (cerita silat) , mereka akan menyebut kisah trilogi Pendekar Rajawali identik dengan nama Kim Yong (Jin Yong/Chin Yung), juga tidak akan asing apabila disebutkan nama Ong Touw Louw (Wang Dulu), yang menghanyutkan dengan cerita pentalogi kisah petualangan pendekar Lie Bouw Pek, maka ketika disebutkan nama Nio Ie Sheng (Liang YuSheng), para pecandu cerita silat akan serentak menunjuk saga Thian San , sebagai masterpiece dari pengarang cersil yang satu ini, Saga serial Thian-San disebut-sebut oleh para pecandu cersil sebagai serial terpanjang dalam kisah cerita silat (terjemahan) yang pernah ada.
Hoan Kiam Kie Tjeng (HKKT) yang akan kita bahas ini , adalah satu dari rangkaian cerita dan sekaligus merupakan kisah pembuka dari saga Thian-San karangan Liang YuSheng, di tanah air oleh Oey Kim Tiang―atau lebih dikenal dengan O.K.T.― kisah HKKT diterjemahkan dengan judul Sebilah Pedang Mustika, pernah diterbitkan oleh PT. Mekar Djaya pada tahun 1959 terdiri dari tiga jilid. Rasanya tidak perlu lagi diceritakan reputasi OKT dalam “menceritakan kembali” berbagai cerita silat yang diterjemahkannya. Sastrawan dan ahli bahasa Ajip Rosidi menulis, siapapun pengarangnya, apapun ceritanya, apabila digarap oleh OKT, maka akan menjadi cerita khas dengan gaya OKT. Tapi dalam tulisan ini penulis tidak bermaksud membahas mengenai kehebatan OKT dalam menerjemahkan, tapi lebih kepada membahas isi cerita sebagai pengantar bagi mereka para peminat cerita silat yang belum pernah membaca atau pernah membaca tapi lupa akan isi dari cerita HKKT ini.
Untuk kegembiraannya kalangan pembaca cerita silat tanah air, novel silat terkenal ini telah diterbitkan ulang seperti apa adanya ketika pertama kali diterbitkan 46 tahun yang lalu, hanya sedikit perbedaan untuk ejaan, untuk terbitan tahun 2004/2005, penulisan dan ejaan telah disesuaikan dengan ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan, kecuali untuk penulisan nama-nama dan istilah-istilah yang khas cerita silat, dalam novel ini istilah-istilah tersebut masih tetap dipertahankan dengan penulisan ejaan yang digunakan pada cetakan pertama 46 tahun yang lalu.
Mengingat sekarang buku atau novel silat terjemahan macam ini sudah termasuk barang langka dan susah ditemukan di toko buku biasa, maka tak heran kalau penerbitan kembali HKKT di tahun 2004/2005 ini disambut dengan rasa gembira, walaupun masih ditujukan untuk kalangan terbatas penggemar cerita silat, tapi sudah cukup sebagai obat rindu dan nostalgia bagi mereka para penggemar cerita silat di Indonesia.
ooo000ooo
HKKT untuk pertama kalinya ditulis oleh Liang Yusheng sebagai cerita silat bersambung di sebuah koran terbitan Hongkong bernama Xianggang Shangbao (Hiangkang Siangpoo), medio November tahun 1959, sebenarnya Liang YuSheng ketika menulis HKKT ini, juga sedang menulis cerita silat bersambung lainnya di koran yang berbeda masih terbitan Hongkong, berjudul Peng Cong Hiap Eng (PCHE), dan muncul duluan di koran itu sebelum HKKT. Hal yang menjadi unik dalam proses penulisannya , adalah bahwa HKKT ditulis oleh Liang YuSheng sebagai prequel dari PCHE yang terbit duluan tapi ditulis secara hampir bersamaan !, artinya ketika PCHE masih belum tamat, Liang YuSheng sudah mulai menulis sebuah cerita lagi, yaitu HKKT ini, yang bercerita mengenai kejadian sebelumnya dari PCHE. Dari proses penulisannya saja , HKKT sudah menjadi cukup unik, lantaran tentunya dibutuhkan ketelitian tinggi dan daya ingat yang kuat bagi Liang YuSheng untuk menulis dua cerita secara bersamaan dimana yang satu merupakan prequel dari cerita yang satunya lagi, tentu saja hal tersebut adalah suatu keharusan agar tidak terjadi ketidaksesuaian sejarah , periodesasi, nama tokoh, dan lain lainnya antara prequel dan sequel, sehingga pembaca tidak akan bingung selagi membacanya.
oo000ooo
Dalam HKKT ini, cerita mengambil latar belakang setelah pertempuran di Sungai Tiangkang yang legendaris, di mana pasukan Thio Soe Seng akhirnya dapat dipukul dan dikalahkan oleh pasukan dari Tjoe Goan Tjiang. Thio Soe Seng yang kalah perang akhirnya gugur dan mengakhiri hidupnya di Sungai Tiangkang. Adapun setelah peristiwa itu Tjoe Goan Tjiang semakin kuat dan luas pengaruhnya hingga berhasil menggulingkan pemerintahan saat itu untuk kemudian mendirikan dinasti baru yang dikenal dengan dinasti atau kekaisaran Beng, dan menjadi kaisar pertama dari dinasti Beng yang didirikannya itu.
Latar kejadian pertempuran Sungai Tiang Kang dan perseteruan antara Thio Soe Seng dengan Tjoe Goan Tjiang inilah yang menjadi benang merah dari HKKT, peristiwa itu bahkan masih terus menjadi benang merah bagi cerita Peng Cong Hiap Eng, yang merupakan sequel dari HKKT.
Selain Thio Soe Seng yang kena dikalahkan dan gugur di Sungai Tiang Kang, ikut gugur juga beberapa pengawal setianya, di antaranya Peng Hweeshio yang pernah diangkat guru oleh Thio Soe Seng dan Tjoe Goan Tjiang berdua sewaktu mudanya. Walaupun demikian, di antara yang gugur tentu ada yang selamat, ialah putra mahkota dari Thio Soe Seng, yang berhasil diselamatkan oleh salah satu pengawalnya bernama Tjio Thian Tok dan dibawa lari keluar perbatasan, sampai seterusnya menuntut penghidupan di negeri Watzu sambil berencana menyusun kekuatan untuk kembali ke Tionggoan. Selain Tjio Thian Tok, yang berhasil lolos dari pertempuran Sungai Tiang Kang , masih ada seorang lagi bernama, In Boe Yang, lelakon In Boe Yang inilah yang kemudian menjadi pemegang kunci cerita dari keseluruhan cerita HKKT.
Meskipun berhasil lolos dari pertempuran maut sungai Tiangkang, Boe Yang harus rela kehilangan istri setia yang gugur dalam pertempuran tersebut. Istrinya, Tan Soat Bwee, adalah juga putri tunggal dari Tan Teng Hong, pendekar kesohor pada jaman itu yang setingkat dengan Peng Hweesio. Di jaman itu, Peng Hweesio, Tan Teng Hong dan Bouw Tok It (ketua Boe Tong Pay) mereka bertiga sudah terkenal sebagai tiga orang tokoh cabang atas dunia persilatan.
Mengiringi nasib baik Boe Yang yang berhasil lolos dari pertempuran maut sungai Tiangkang, banyak orang menduga bahwa Boe Yang adalah seorang penghianat, mereka percaya kalau dia berhasil lolos dari Sungai Tiang Kang lantaran secara licik telah menjual junjungannya, Thio Soe Seng ke tangan musuh untuk imbalan keselamatan jiwanya, maka tak heran apabila setelah lolos dari peristiwa Sungai Tiang Kang itu, ia lantas lari ke Boe Tong Pay, otaknya yang cerdas menuntun dirinya untuk mencari perlindungan dari Bouw Tok It yang berilmu tinggi. Dengan keahliannya membawa diri, Boe Yang berhasil mendapatkan kepercayaan Bouw Tok It, untuk kemudian menetap di Bu Tong, tidak cukup sampau disitu , Boe Yang malah kemudian berhasil memikat dan menikahi Bouw Poo Tjoe, puteri satu-satunya dari Bouw Tok It. Otomatis dengan pernikahan itu, jadilah ia menantu dari ketua Bu Tong Pay yang paling dihormati kalangan dunia persilatan saat itu.
In Boe Yang ini memangnya seorang yang temaha (sekaker, serakah), mengetahui kalau ayah mertuanya mempunyai kitab ilmu pedang nomor satu di dunia, otak liciknya mulai bekerja, dengan memperalat kedudukan istrinya, berbareng mereka berhasil mencuri kitab pusaka itu dan lari ke Gunung Holan untuk menyembunyikan diri. Dalam cerita selanjutnya, Bouw Poo Tjoe kemudian melahirkan seorang putri sebagai buah perkawinannya dengan In Boe Yang, tapi kemudian seumur hidup tak habis-habis ia menyesali kebodohannya telah berbuat durhaka pada ayahnya.
ooo000ooo
Tak terasa beberapa puluh tahun telah lewat, suatu hari muncul seorang pemuda cakap bernama Tan Hian Kie yang kelihatan sedang mendaki Gunung Holan, ia diceritakan sedang mencari kediaman Keluarga In. Tidak jelas asal-usul pemuda ini, tapi jelas datang kesitu untuk membunuh In Boe Yang. Dalam pendakiannya di Gunung Holan ini, tanpa diharapkannya, Tan Hian Kie musti kebentrok dengan seorang pemuda lainnya yang bernama Siangkoan Thian Ya, bentrok yang bermula dari salah paham sepele soal asmara dan melibatkan pihak ketiga, seorang gadis cantik bernama Siauw Oen Lan.
Thian Ya terang-terangan mencintai Oen Lan, sedang Oen Lan sendiri kena dipikat hatinya oleh Hian Kie, sehingga terjadilah cinta segi tiga, sedangkan Hian Kie sendiri sebenarnya tidak menaruh cinta kepada Oen Lan, urusan sepele tapi menjadi rumit karena Thian Ya yang tinggi hati tidak mau menerima kenyataan kalau Hian Kie malah menampik cinta Oen Lan, padahal gadis itu sebelumnyai dengan tegas telah mendepak cintanya,....sampai kemudian terjadilah bentrokan ! , usai bentrokan, Hian Kie cedera, tak kuasa meneruskan perjalanan mendaki, ia kemudian kesasar, pingsan dan jatuh ke sebuah lembah di Gunung itu
.
Siuman, Hian Kie menyadari kalau dia sudah berada di kediaman keluarga In, malah tanpa diharapkan selama pingsan ia telah dirawat secara telaten oleh In So So, putri dari orang yang sedang diincarnya untuk dibunuh !, dalam masa pemulihan, perlahan lahan kedua insan ini berhubungan makin intim, sampai akhirnya dapat ditebak, Hian Kie dan So So kemudian saling jatuh cinta walaupun sadar bahwa di balik percintaan mereka itu terdapat dendam turunan dari leluhur mereka masing-masing.
Selanjutnya cerita mengalir deras, walaupun hanya terjadi di lokasi seputaran Gunung Holan saja.
Ternyata banyak rahasia disimpan oleh lelakon kita , In Boe Yang ini. Ia mempunyai sebuah gambar lukisan panorama Souwtjioe, yang ternyata merupakan peta harta karun peninggalan Thio Soe Seng. Selain itu, kitab ilmu pedang curian dari ayah mertuanya ternyata memiliki sejarah panjang terutama yang berhubungan dengan ahli waris seharusnya, dengan semakin berjalannya cerita, terungkap kalau kitab ilmu pedang itu berhubungan erat sekali dengan dirinya Hian Kie. Lika-liku dan perjalanan panjang kitab ilmu pedang tersebut hingga sampai akhirnya jatuh ke tangan Bouw Tok It, diceritakan dengan gaya flash back oleh salah satu saksi hidup yang juga kebetulan adalah salah satu tokoh kunci pemegang rahasia dari segala kejadian yang terjadi di HKKT ini.
- Siapa sebetulnya Tan Hian Kie? Ada hubungan apa antara dia dengan Thio Soe Seng?, Siapa pula Siangkoan Thian Ya dan Siauw Oen Lan ?
- Bagaimana akhir kisah cinta antara Hian Kie dan So So?, dan rahasia apa saja yang dipendam oleh In Boe Yang? Apakah benar Boe Yang seorang penghianat?, ada kejadian apa dibalik pertempuran Sungai Tiang Kang?
- Rahasia apa sebenarnya yang tersimpan di balik lukisan pemandangan yang dimiliki Boe Yang?
Cerita kemudian diakhiri klimaks. Seluruh rahasia di balik pertempuran Sungai Tiang Kang, misteri dari kitab dan pedang pusaka, serta asal-usul Hian Kie, Siangkoan Thian Ya, Siauw Oen Lan dan lain-lainnya diungkapkan secara perlahan-lahan, sampai kemudian akhirnya pembaca menjadi jelas .
Semua tokoh yang muncul di HKKT mempunyai keterkaitan satu sama lain, setiap tokoh tidak begitu saja dimunculkan hanya untuk meramaikan suasana tanpa peran, tapi setiap tokoh mempunyai peran dengan membawa sejarah dan rahasia dirinya masing masing sekaligus menjadi kunci akan rahasia dari tokoh cerita lainnya, terus menerus tokoh baru bermunculan dengan rahasianya masing masing sambil membawa kunci rahasia orang lain...., bahkan sampai cerita sudah hampir mencapai klimaks dan mendekati tamat-pun, Liang YuSheng masih saja menampilkan satu tokoh kunci lainnya di pamungkas cerita, yang berperan sebagai pengantar untuk menutup cerita.
Sebagian pembaca mungkin akan merasa miris, kesal atau malah menangis, minimal menitikan air mata sambil menghela napas panjang ketika membaca akhir cerita HKKT ini, mereka yang menyukai “happy ending” akan terpaksa terus membaca sampai lembar akhir sembari menyimpan harapan agar plot cerita berbelok seperti apa yang diharapkan, tapi diluar itu tidak sedikit juga para pembaca cersil yang justru memuji cara Liang Yusheng mengakhiri cerita ini.
ooo000ooo
Walaupun masih terdapat beberapa kesalahan kecil dalam proses editing-nya, penerbitan HKKT ini dapat dibilang sebagai pembuka jalan bagi kembalinya genre cerita silat terjemahan di tanah air, baik dalam bentuk penerbitan ulang maupun penerbitan karya terjemahan baru, sebelumnya dari Bandung, seorang peminat cerita silat yang sudah terkenal di kalangan masyarakat cersil Indonesia sudah pula menerbitkan satu cersil baru walau masih ditujukan untuk kalangan terbatas peminat cerita silat tanah air.
Sementara itu, kabar bahwa Masyarakat Tjersil Indonesia bekerjasama dengan pihak penerbit yang sama telah menerbitkan cetak ulang Peng Cong Hiap Eng ( Dua Musuh Turunan... – masih hasil terjemahan dari OKT ) yang merupakan lanjutan dari HKKT ini, adalah kabar yang sudah ditunggu tunggu dan menggembirakan hatinya para peminat cerita silat di tanah air. Para pembaca baru tidak akan perlu mendelu (jengkel) hatinya menunggu terlalu lama untuk mengikuti terus lanjutan cerita saga Thian San yang terkenal ini, sedang bagi mereka para pembaca cerita silat yang sudah membaca kedua judul ini , minimal akan terpuaskan rindu nostalgianya.
Raja Naga Tujuh Bintang
Judul asli : Qi Xing Long Wang
Pengarang : Gu Long
Terbitan : 1978 (1st), reprint 1998
Penerjemah : Ynt
Cetak terbatas : See Yan Tjin Djin, Bandung, 2004
Jilid : 2 buku
Tokoh :
Sun Ji Cheng - Hartawan dari Kota Ji Nan
Yuan Bao - Pengemis kecil yang misterius.
Zheng Nan Yuan - Pemilik Rumah Makan Da San Yuan
Tian Ji Zi - Tuan muda dari Partai Panji Bunga, putra Tian Yong Hua yang dikenal cerdas
Tian Yong Hua – Ketua Partai Panji Bunga
Xiao Jun - Kepala bagian penegakan hukum Partai Pengemis
Li Jiang Jun Pencuri kondang yang memiliki julukan San Xiao Jing Hun atau Tertawa Tiga Kali Mengagetkan Arwah
Guo Di Mie & Gao Tian Jue Pasangan suami-istri yang mendirikan organisasi rahasia Tian Jue Die Mie yang didedikasikan untuk menangkap pencuri dan penjahat.
Boss Besar Tang - Pemilik rumah judi Ru Yi Du Fang
Langit menurunkan bintang keberuntungan,
Mengubah besi menjadi emas
(Raja Naga Tujuh Bintang, hal. 182)
Tanggal 15 bulan 4, tujuh belas tahun yang lalu, telah terjadi suatu peristiwa besar yang menggegerkan seantero dunia persilatan. Pada hari itu, Li Jiang Jun, seorang pencuri terkenal yang selama petualangannya bahkan telah berhasil menggerayangi istana, dikeroyok oleh pasangan pendekar dari organisasi rahasia Tian Jue Die Mie, yaitu suami istri Guo Di Mie dan Gao Tian Jue. Tidak banyak diketahui oleh dunia luar, sebenarnya Li Jiang Jun dalam peristiwa 17 tahun yang lalu tersebut kena dikepung oleh delapan orang tetua dunia persilatan, yang kekuatannya adalah bahkan setara dengan 800 orang. Sudah barang tentu kemungkinan bagi Li Jiang Jun untuk meloloskan diri dari kepungan tersebut adalah sangat kecil, atau boleh dikatakan tidak ada. Akan tetapi, anehnya peristiwa tujuh belas tahun yang lalu tersebut berakhir begitu saja dan tidak jelas kabar beritanya. Bahkan para pelaku yang terlibat sepertinya bungkam jika diungkit-ungkit mengenai hal itu. Di luar mereka, tak seorang pun yang tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, hanya saja kemudian setelah peristiwa tersebut di dunia persilatan tidak ada lagi terdapat seorang yang bernama Li Jiang Jun, alias si maling Tertawa Tiga Kali Mengagetkan Arwah, dia bagai lenyap ditelan bumi. Lenyapnya Li Jiang Jun dari dunia persilatan tersebut menjadi bahan pertanyaannya kaum persilatan saat itu baik dari golongan hitam maupun putih, karena mereka semua mafhum bahwa sebagai seorangnya yang berprofesi maling dengan reputasi tak pernah gagal, Li Jiang Jun diduga masih menyimpan dan menyembunyikan harta hasil rampokannya selama bertahun tahun yang sungguh tidak ternilai pada saat itu. Dengan menghilangnya Li Jiang Jun maka rahasia harta tersebut juga ikut menghilang dari dunia persilatan.
Rahasia peristiwa pada tujuh belas tahun yang lalu tersebut bahkan sedikit demi sedikit sudah mulai terlupakan dan bahkan sudah hanya menjadi dongeng saja bagi para insan dunia persilatan kala itu, sampai akhirnya tiba saat tujuh belas tahun kemudian setelah peristiwa tersebut.............................
Cerita Qi Xing Long Wang ini diawali tepat tujuh belas tahun kemudian setelah peristiwa pengeroyokan atas dirinya Li Jiang Jun. Kota Ji Nan yang selama ini tenang tanpa adanya kejadian yang berarti, tiba tiba saja mendadak digemparkan oleh ditemukannya mayat dari Sun Ji Cheng, seorang hartawan kaya-raya di kota tersebut, ikut ditemukan bersebelahan dengan mayat Sun Ji Cheng adalah Liu Jiu Niang yang menjabat sebagai kepala rumah tangganya, juga ikut tewas, Qiu Bu Dao, kepala pemgawalnya, di ruang rahasia di rumah pribadi dari hartawan tersebut..
Peristiwa tewasnya ke tiga orang tersebut kemudian berlanjut dengan beberapa kejadian beruntun yang serba mengejutkan di kota Ji Nan. Lima jagoan terpilih bawahan Qiu Bu Dao tidak lama kemudian terbunuh secara misterius pula, kejadian tersebut semakin berbuntut panjang dengan turut campur tangannya beberapa partai persilatan yang melibatkan diri dalam penyelidikan peristiwa tersebut, diantaranya ; Partai Panji Bunga, Partai Cakar Elang dan Partai Pengemis. Masing masing partai tersebut mengirimkan beberapa anggota terbaiknya ke kota Ji Nan demi untuk menyelidiki kasus tersebut dengan membawa motif dan agendanya sendiri sendiri.
Tak lama setelah kejadian pembunuhan di kota Ji Nan tersebut, tiba tiba di dunia persilatan muncul seorang pedagang kaya yang misterius dan ber-ilmu tinggi yang bernama Wu Tao, serta juga munculnya seorang pengemis cilik misterius bernama Yuan Bao yang ke mana-mana membawa mainan berbentuk bintang. Siapakah mereka ini? Siapa sebenarnya yang membunuh Sun Ji Cheng sekaligus dengan pengawalnya bertiga dalam waktu yang bersamaan dan mengapa mereka di bunuh? Apakah kaitan beberapa tokoh misterius ini, partai-partai besar dan kematian demi kematian yang terjadi serta hubungannya dengan kejadian tujuh belas tahun yang lalu itu?
Cerita yang diawali dengan peristiwa pembunuhan ini kemudian dengan cepat bergulir menjadi bola benang kusut dengan berbagai peristiwa dan pemunculan tokoh tokoh baru yang misterius yang seakan akan tidak ada hubungannya sama sekali dengan peristiwa di awal cerita, bola benang cerita kemudian menggelinding semakin kusut untuk kemudian sedikit demi sedikit bola benang kusut tersebut terurai dan mencapai klimaksnya penjelasan di akhir cerita.
Cerita silat (cersil) Raja Naga Tujuh Bintang adalah salah satu cersil terjemahan yang paling baru, hasil usaha See Yan Tjin Djin, yang merupakan juga anggota senior dari milis tjersil. Gaya pembukaan cerita di atas memang sudah menjadi ciri khasnya Gu Long. Pengarang yang nama aslinya Xiong Yaohua ini terkenal dengan gaya bertuturnya yang khas, berupa kisah cinta yang dibalut dengan thriller jurus-jurus tingkat tinggi, jalinan suspense intrik-intrik rimba persilatan yang berliku-liku, durasi cerita yang cepat (durasi cerita di cerita Raja Naga Tujuh Bintang ini hanya berlangsung enam hari lima malam saja), serta diselingi kejutan di sana-sini.
Di dalam cersil yang termasuk dalam karya penciptaan pada periode ketiga kehidupan riwayat penulisan Gu Long ini, ia sepertinya sudah mendapatkan jati dirinya sebagaimana pernah dituturkannya dalam salah satu bukunya yang lain, Tokoh Besar. Gu Long merasa tidak perlu menguraikan secara terinci lagi gerakan kaki dan tangan dalam melancarkan jurus-jurus silat. Pertarungan silat dalam ceritanya Gu Long selalu berlangsung singkat, sebat dan tidak bertele-tele. Jalan cerita lebih penting daripada pertarungannya. Walaupun hampir selalu diceritakan dengan singkat tapi para pembaca selalu mampu dibawanya tenggelam ke dalam khayalan untuk mereka reka sendiri adegan silat , adu cepat pedang dan pertarungan adu meringankan tubuh para jagoan dalam karya karyanya.
Benang merah dari cersil terjemahan Ynt ini pada dasarnya adalah sebuah kisah cinta segitiga antara tiga orang saudara seperguruan. Yang dinamakan cinta segitiga hampir tidak pernah membawa pahala dan kebahagian bagi mereka yang terlibat di dalamnya, malah yang terjadi adalah cinta yang membawa akibat-akibat tragis pada mereka yang terlibat yang bahkan terbawa ke dalam kehidupan selanjutnya, keturunannya maupun orang-orang yang berhubungan dengan mereka.
Dalam cerita ini Gu Long mencoba sekali lagi menjelaskan bahwa dalam kehidupan ini kadang kala dendam akibat asmara dan cinta, pengaruh akibatnya ternyata jauh lebih kejam dan jauh lebih bengis dibandingkan dengan dendam kematian orang tua sekalipun.
Dan siapakah yang salah dan siapa yang benar? Gu Long tidak menjawabnya. Fakta-fakta yang melatar belakangi cerita ini sengaja dibeberkan secara sepotong demi sepotong demi untuk mengurai keseluruhan cerita. Tema balas dendam dan perebutan harta juga tidak ketinggalan. Setting di tempat perjudian dan rumah bunga berjiwa pun tidak lupa, khas nya Gu Long. Ada kapal yang memiliki seribu kaki; juga teknik untuk mematikan 196 buah lampion dalam waktu yang bersamaan. Di tangan para sutradara film yang berpengalaman, cerita ini menjanjikan sebagai sebuah cerita yang sangat sinematik dan potensial untuk konsumsi hiburan.
Sang siau hiap khek yang dikisahkan serba pandai dalam cerita ini dijatuhkan begitu saja di dalam cerita, tanpa ada penjelasan mengenai riwayat dan asal-usulnya. Hal ini membuat pembaca menduga-duga bahwa cerita ini sebenarnya ada prequel atau malah sequelnya. Kemunculan tokoh baru yang misterius di saat cerita bahkan sudah mendekati tamat , semakin menguatkan dugaan tersebut, atau minimal bahwa cerita ini mempunyai kaitan dan sangkut pautnya dengan karya Gu Long yang lain.
Terkadang dibutuhkan juga cerita yang ringan, cukup singkat dan menghibur. Tidak ada musuh sejati, tidak ada orang yang “hitam sampai ke tulang-tulangnya” (ini berbeda dengan cersil-cersil yang menyuguhkan battle royale: pertarungan sang jagoan melawan penjahat tengik sebagai endingnya). Jagoan yang tampaknya serba pintar bak Chu Liu Xiang atau Lu Xiao Feng pun terkadang tampak konyol dan mengalami kekalahan atau tertipu oleh musuh karena salah tebak dan kalah lihay, yang dimaksudkan untuk mengingatkan bahwa mereka adalah juga manusia biasa, bukan dewa ( Chu Liu Xiang dan Lu Xiao Feng adalah dua tokoh kenamaan di cersil karya Gu Long yang lainnya ).
Terlepas dari tata cara penulisan dan editingnya, buku ini adalah salah satu yang masuk kategori di atas. Kata pembukanya ditulis oleh Jin Yong, pengarang cersil kondang, yang juga adalah salah satu sahabat Gu Long.
Cersil adalah serupa nya makanan, ada yang harus kita makan secara perlahan dan di kunyah sedikit demi sedikit demi untuk menikmati kelezatannya, ada juga yang bisa kita langsung telan tanpa mengunyah, ada juga yang kita makan sedikit demi sedikit sampai berhari hari belum habis, tak lupa ada juga makanan yang busuk tidak layak di makan, tapi ada juga yang saking lezatnya kita tidak akan bisa berhenti mangunyah sampai ludas.
Pengarang : Gu Long
Terbitan : 1978 (1st), reprint 1998
Penerjemah : Ynt
Cetak terbatas : See Yan Tjin Djin, Bandung, 2004
Jilid : 2 buku
Tokoh :
Sun Ji Cheng - Hartawan dari Kota Ji Nan
Yuan Bao - Pengemis kecil yang misterius.
Zheng Nan Yuan - Pemilik Rumah Makan Da San Yuan
Tian Ji Zi - Tuan muda dari Partai Panji Bunga, putra Tian Yong Hua yang dikenal cerdas
Tian Yong Hua – Ketua Partai Panji Bunga
Xiao Jun - Kepala bagian penegakan hukum Partai Pengemis
Li Jiang Jun Pencuri kondang yang memiliki julukan San Xiao Jing Hun atau Tertawa Tiga Kali Mengagetkan Arwah
Guo Di Mie & Gao Tian Jue Pasangan suami-istri yang mendirikan organisasi rahasia Tian Jue Die Mie yang didedikasikan untuk menangkap pencuri dan penjahat.
Boss Besar Tang - Pemilik rumah judi Ru Yi Du Fang
Langit menurunkan bintang keberuntungan,
Mengubah besi menjadi emas
(Raja Naga Tujuh Bintang, hal. 182)
Tanggal 15 bulan 4, tujuh belas tahun yang lalu, telah terjadi suatu peristiwa besar yang menggegerkan seantero dunia persilatan. Pada hari itu, Li Jiang Jun, seorang pencuri terkenal yang selama petualangannya bahkan telah berhasil menggerayangi istana, dikeroyok oleh pasangan pendekar dari organisasi rahasia Tian Jue Die Mie, yaitu suami istri Guo Di Mie dan Gao Tian Jue. Tidak banyak diketahui oleh dunia luar, sebenarnya Li Jiang Jun dalam peristiwa 17 tahun yang lalu tersebut kena dikepung oleh delapan orang tetua dunia persilatan, yang kekuatannya adalah bahkan setara dengan 800 orang. Sudah barang tentu kemungkinan bagi Li Jiang Jun untuk meloloskan diri dari kepungan tersebut adalah sangat kecil, atau boleh dikatakan tidak ada. Akan tetapi, anehnya peristiwa tujuh belas tahun yang lalu tersebut berakhir begitu saja dan tidak jelas kabar beritanya. Bahkan para pelaku yang terlibat sepertinya bungkam jika diungkit-ungkit mengenai hal itu. Di luar mereka, tak seorang pun yang tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, hanya saja kemudian setelah peristiwa tersebut di dunia persilatan tidak ada lagi terdapat seorang yang bernama Li Jiang Jun, alias si maling Tertawa Tiga Kali Mengagetkan Arwah, dia bagai lenyap ditelan bumi. Lenyapnya Li Jiang Jun dari dunia persilatan tersebut menjadi bahan pertanyaannya kaum persilatan saat itu baik dari golongan hitam maupun putih, karena mereka semua mafhum bahwa sebagai seorangnya yang berprofesi maling dengan reputasi tak pernah gagal, Li Jiang Jun diduga masih menyimpan dan menyembunyikan harta hasil rampokannya selama bertahun tahun yang sungguh tidak ternilai pada saat itu. Dengan menghilangnya Li Jiang Jun maka rahasia harta tersebut juga ikut menghilang dari dunia persilatan.
Rahasia peristiwa pada tujuh belas tahun yang lalu tersebut bahkan sedikit demi sedikit sudah mulai terlupakan dan bahkan sudah hanya menjadi dongeng saja bagi para insan dunia persilatan kala itu, sampai akhirnya tiba saat tujuh belas tahun kemudian setelah peristiwa tersebut.............................
Cerita Qi Xing Long Wang ini diawali tepat tujuh belas tahun kemudian setelah peristiwa pengeroyokan atas dirinya Li Jiang Jun. Kota Ji Nan yang selama ini tenang tanpa adanya kejadian yang berarti, tiba tiba saja mendadak digemparkan oleh ditemukannya mayat dari Sun Ji Cheng, seorang hartawan kaya-raya di kota tersebut, ikut ditemukan bersebelahan dengan mayat Sun Ji Cheng adalah Liu Jiu Niang yang menjabat sebagai kepala rumah tangganya, juga ikut tewas, Qiu Bu Dao, kepala pemgawalnya, di ruang rahasia di rumah pribadi dari hartawan tersebut..
Peristiwa tewasnya ke tiga orang tersebut kemudian berlanjut dengan beberapa kejadian beruntun yang serba mengejutkan di kota Ji Nan. Lima jagoan terpilih bawahan Qiu Bu Dao tidak lama kemudian terbunuh secara misterius pula, kejadian tersebut semakin berbuntut panjang dengan turut campur tangannya beberapa partai persilatan yang melibatkan diri dalam penyelidikan peristiwa tersebut, diantaranya ; Partai Panji Bunga, Partai Cakar Elang dan Partai Pengemis. Masing masing partai tersebut mengirimkan beberapa anggota terbaiknya ke kota Ji Nan demi untuk menyelidiki kasus tersebut dengan membawa motif dan agendanya sendiri sendiri.
Tak lama setelah kejadian pembunuhan di kota Ji Nan tersebut, tiba tiba di dunia persilatan muncul seorang pedagang kaya yang misterius dan ber-ilmu tinggi yang bernama Wu Tao, serta juga munculnya seorang pengemis cilik misterius bernama Yuan Bao yang ke mana-mana membawa mainan berbentuk bintang. Siapakah mereka ini? Siapa sebenarnya yang membunuh Sun Ji Cheng sekaligus dengan pengawalnya bertiga dalam waktu yang bersamaan dan mengapa mereka di bunuh? Apakah kaitan beberapa tokoh misterius ini, partai-partai besar dan kematian demi kematian yang terjadi serta hubungannya dengan kejadian tujuh belas tahun yang lalu itu?
Cerita yang diawali dengan peristiwa pembunuhan ini kemudian dengan cepat bergulir menjadi bola benang kusut dengan berbagai peristiwa dan pemunculan tokoh tokoh baru yang misterius yang seakan akan tidak ada hubungannya sama sekali dengan peristiwa di awal cerita, bola benang cerita kemudian menggelinding semakin kusut untuk kemudian sedikit demi sedikit bola benang kusut tersebut terurai dan mencapai klimaksnya penjelasan di akhir cerita.
Cerita silat (cersil) Raja Naga Tujuh Bintang adalah salah satu cersil terjemahan yang paling baru, hasil usaha See Yan Tjin Djin, yang merupakan juga anggota senior dari milis tjersil. Gaya pembukaan cerita di atas memang sudah menjadi ciri khasnya Gu Long. Pengarang yang nama aslinya Xiong Yaohua ini terkenal dengan gaya bertuturnya yang khas, berupa kisah cinta yang dibalut dengan thriller jurus-jurus tingkat tinggi, jalinan suspense intrik-intrik rimba persilatan yang berliku-liku, durasi cerita yang cepat (durasi cerita di cerita Raja Naga Tujuh Bintang ini hanya berlangsung enam hari lima malam saja), serta diselingi kejutan di sana-sini.
Di dalam cersil yang termasuk dalam karya penciptaan pada periode ketiga kehidupan riwayat penulisan Gu Long ini, ia sepertinya sudah mendapatkan jati dirinya sebagaimana pernah dituturkannya dalam salah satu bukunya yang lain, Tokoh Besar. Gu Long merasa tidak perlu menguraikan secara terinci lagi gerakan kaki dan tangan dalam melancarkan jurus-jurus silat. Pertarungan silat dalam ceritanya Gu Long selalu berlangsung singkat, sebat dan tidak bertele-tele. Jalan cerita lebih penting daripada pertarungannya. Walaupun hampir selalu diceritakan dengan singkat tapi para pembaca selalu mampu dibawanya tenggelam ke dalam khayalan untuk mereka reka sendiri adegan silat , adu cepat pedang dan pertarungan adu meringankan tubuh para jagoan dalam karya karyanya.
Benang merah dari cersil terjemahan Ynt ini pada dasarnya adalah sebuah kisah cinta segitiga antara tiga orang saudara seperguruan. Yang dinamakan cinta segitiga hampir tidak pernah membawa pahala dan kebahagian bagi mereka yang terlibat di dalamnya, malah yang terjadi adalah cinta yang membawa akibat-akibat tragis pada mereka yang terlibat yang bahkan terbawa ke dalam kehidupan selanjutnya, keturunannya maupun orang-orang yang berhubungan dengan mereka.
Dalam cerita ini Gu Long mencoba sekali lagi menjelaskan bahwa dalam kehidupan ini kadang kala dendam akibat asmara dan cinta, pengaruh akibatnya ternyata jauh lebih kejam dan jauh lebih bengis dibandingkan dengan dendam kematian orang tua sekalipun.
Dan siapakah yang salah dan siapa yang benar? Gu Long tidak menjawabnya. Fakta-fakta yang melatar belakangi cerita ini sengaja dibeberkan secara sepotong demi sepotong demi untuk mengurai keseluruhan cerita. Tema balas dendam dan perebutan harta juga tidak ketinggalan. Setting di tempat perjudian dan rumah bunga berjiwa pun tidak lupa, khas nya Gu Long. Ada kapal yang memiliki seribu kaki; juga teknik untuk mematikan 196 buah lampion dalam waktu yang bersamaan. Di tangan para sutradara film yang berpengalaman, cerita ini menjanjikan sebagai sebuah cerita yang sangat sinematik dan potensial untuk konsumsi hiburan.
Sang siau hiap khek yang dikisahkan serba pandai dalam cerita ini dijatuhkan begitu saja di dalam cerita, tanpa ada penjelasan mengenai riwayat dan asal-usulnya. Hal ini membuat pembaca menduga-duga bahwa cerita ini sebenarnya ada prequel atau malah sequelnya. Kemunculan tokoh baru yang misterius di saat cerita bahkan sudah mendekati tamat , semakin menguatkan dugaan tersebut, atau minimal bahwa cerita ini mempunyai kaitan dan sangkut pautnya dengan karya Gu Long yang lain.
Terkadang dibutuhkan juga cerita yang ringan, cukup singkat dan menghibur. Tidak ada musuh sejati, tidak ada orang yang “hitam sampai ke tulang-tulangnya” (ini berbeda dengan cersil-cersil yang menyuguhkan battle royale: pertarungan sang jagoan melawan penjahat tengik sebagai endingnya). Jagoan yang tampaknya serba pintar bak Chu Liu Xiang atau Lu Xiao Feng pun terkadang tampak konyol dan mengalami kekalahan atau tertipu oleh musuh karena salah tebak dan kalah lihay, yang dimaksudkan untuk mengingatkan bahwa mereka adalah juga manusia biasa, bukan dewa ( Chu Liu Xiang dan Lu Xiao Feng adalah dua tokoh kenamaan di cersil karya Gu Long yang lainnya ).
Terlepas dari tata cara penulisan dan editingnya, buku ini adalah salah satu yang masuk kategori di atas. Kata pembukanya ditulis oleh Jin Yong, pengarang cersil kondang, yang juga adalah salah satu sahabat Gu Long.
Cersil adalah serupa nya makanan, ada yang harus kita makan secara perlahan dan di kunyah sedikit demi sedikit demi untuk menikmati kelezatannya, ada juga yang bisa kita langsung telan tanpa mengunyah, ada juga yang kita makan sedikit demi sedikit sampai berhari hari belum habis, tak lupa ada juga makanan yang busuk tidak layak di makan, tapi ada juga yang saking lezatnya kita tidak akan bisa berhenti mangunyah sampai ludas.
Pendekar Mata Keranjang
BAB 1
Tiga pembunuh
Jalan di pegunungan ini biasanya jarang ada orang yang lewat, apalagi saat dimusim dingin yang udaranya begitu dingin menusuk tulang, jarang sekali orang lewat di jalan itu. Bahkan dalam satu hari bisa tidak tampak seorang pun yang lewat di sana.
Karena jalan di pegunungan ini sangat panjang, mungkin panjangnya ada 60 kilometer lebih, ditambah di sepanjang jalan itu tidak ada desa atau pun toko. Tempat itu benar-benar terpencil.
Tapi jalan itu adalah satu-satunya jalan menuju Ling Hai Jun. Pemandangan di sana sangat indah, apalagi dekat puncak gunungnya. Melihat dari tempat tinggi tampak pemandangan gunung berwarna kehijauan di kejauhan. Batu gunung beraneka ragam bentuk dan jenisnya. Membuat pemandangan di sana sangat indah dan menyenangkan. Jalan pegunungan ini, di sebelah kanannya ada sebuah jurang yang dalam. Di sisi tebing terjal terdapat batu-batuan berbentuk aneh. Ada yang berbentuk seperti bintang raksasa dari jaman purba seperti sedang melihat jalan pegunungan itu dengan wajah seram.
Sebenarnya di tebing terjal itu ada dua orang yang sedang bersembunyi di balik dua bongkah batu besar. Mereka dengan wajah seram mengawasi ke arah jalan pegunungan itu.
Wajah kedua orang itu ditutup dengan kain berwarna hitam dan mereka juga mengenakan baju berwarna hitam. Yang tidak sama hanya bentuk tubuh mereka. Yang satu tinggi sedangkan yang satu lagi sangat pendek.
Mengapa mereka bersembunyi di balik dinding tebing yang terjal ini?
Mereka pasti sedang menunggu seseorang!
Untuk apa mereka menunggu orang?
Jawabannya bisa ditemukan dari batu tempat mereka bersembunyi..
Kedua batu besar itu bentuknya bulat seperti bakpao, masing-masing batu itu beratnya kurang lebih 500 kilogram. Di bawah batu ada sebuah kayu dengan diameter sebesar mangkuk dan menancap di dalam tanah. Jika Kayu itu diangkat ke atas maka kedua batu besar itu akan menggelinding ke bawah.
Sekarang hari sudah siang dan waktu telah menunjukkan pukul 12. Tapi langit tampak mendung, tidak ada sinar matahari, udara sangat dingin hingga menusuk tulang.
”Kurang ajar, mengapa mereka belum datang juga?” kata yang pendek tampak sudah tidak sabar.
”Jangan terburu-buru, mereka pasti akan lewat sini,” kata yang tinggi menjawab dengan percaya diri, sepasang matanya tampak berkilau, terus menatap jalan pegunungan itu.
Dari atas tebing yang terjal melihat jalan pegunungan yang berliku-liku, tampak seperti alis seorang perempuan, panjangnya ada 6 meter lebih.
Orang yang pendek mengangkat bahu dan mengeluarkan tawa yang tidak enak didengar, ”Putrinya sangat cantik...”
Orang yang tinggi dengan serius berkata, ”Jangan berpikiran yang tidak-tidak!”
Kata yang pendek, ”Maksudku adalah kalau ada gadis begitu cantik harus mati sungguh sangat disayangkan!”
Orang yang tinggi berkata, ”Itu bukan urusan kita!”
Tiba-tiba orang yang pendek dengan nada senang berbisik, ”Dengar! Mereka sudah datang!”
”Benar, itu suara kereta kuda!”
Suara kereta semakin mendekat.
Tidak lama kemudian di jalan pegunungan sebelah kiri muncul sebuah kereta kuda.
Kereta itu sangat mewah, pasti kereta kuda milik pribadi. Kusirnya seorang laki-laki gemuk, dia terus mengayunkan pecutnya.
”Siap!”
Dengan kedua tangan mereka mengangkat kayu yang sudah disiapkan di bawah batu besar itu.
Tiga pembunuh
Jalan di pegunungan ini biasanya jarang ada orang yang lewat, apalagi saat dimusim dingin yang udaranya begitu dingin menusuk tulang, jarang sekali orang lewat di jalan itu. Bahkan dalam satu hari bisa tidak tampak seorang pun yang lewat di sana.
Karena jalan di pegunungan ini sangat panjang, mungkin panjangnya ada 60 kilometer lebih, ditambah di sepanjang jalan itu tidak ada desa atau pun toko. Tempat itu benar-benar terpencil.
Tapi jalan itu adalah satu-satunya jalan menuju Ling Hai Jun. Pemandangan di sana sangat indah, apalagi dekat puncak gunungnya. Melihat dari tempat tinggi tampak pemandangan gunung berwarna kehijauan di kejauhan. Batu gunung beraneka ragam bentuk dan jenisnya. Membuat pemandangan di sana sangat indah dan menyenangkan. Jalan pegunungan ini, di sebelah kanannya ada sebuah jurang yang dalam. Di sisi tebing terjal terdapat batu-batuan berbentuk aneh. Ada yang berbentuk seperti bintang raksasa dari jaman purba seperti sedang melihat jalan pegunungan itu dengan wajah seram.
Sebenarnya di tebing terjal itu ada dua orang yang sedang bersembunyi di balik dua bongkah batu besar. Mereka dengan wajah seram mengawasi ke arah jalan pegunungan itu.
Wajah kedua orang itu ditutup dengan kain berwarna hitam dan mereka juga mengenakan baju berwarna hitam. Yang tidak sama hanya bentuk tubuh mereka. Yang satu tinggi sedangkan yang satu lagi sangat pendek.
Mengapa mereka bersembunyi di balik dinding tebing yang terjal ini?
Mereka pasti sedang menunggu seseorang!
Untuk apa mereka menunggu orang?
Jawabannya bisa ditemukan dari batu tempat mereka bersembunyi..
Kedua batu besar itu bentuknya bulat seperti bakpao, masing-masing batu itu beratnya kurang lebih 500 kilogram. Di bawah batu ada sebuah kayu dengan diameter sebesar mangkuk dan menancap di dalam tanah. Jika Kayu itu diangkat ke atas maka kedua batu besar itu akan menggelinding ke bawah.
Sekarang hari sudah siang dan waktu telah menunjukkan pukul 12. Tapi langit tampak mendung, tidak ada sinar matahari, udara sangat dingin hingga menusuk tulang.
”Kurang ajar, mengapa mereka belum datang juga?” kata yang pendek tampak sudah tidak sabar.
”Jangan terburu-buru, mereka pasti akan lewat sini,” kata yang tinggi menjawab dengan percaya diri, sepasang matanya tampak berkilau, terus menatap jalan pegunungan itu.
Dari atas tebing yang terjal melihat jalan pegunungan yang berliku-liku, tampak seperti alis seorang perempuan, panjangnya ada 6 meter lebih.
Orang yang pendek mengangkat bahu dan mengeluarkan tawa yang tidak enak didengar, ”Putrinya sangat cantik...”
Orang yang tinggi dengan serius berkata, ”Jangan berpikiran yang tidak-tidak!”
Kata yang pendek, ”Maksudku adalah kalau ada gadis begitu cantik harus mati sungguh sangat disayangkan!”
Orang yang tinggi berkata, ”Itu bukan urusan kita!”
Tiba-tiba orang yang pendek dengan nada senang berbisik, ”Dengar! Mereka sudah datang!”
”Benar, itu suara kereta kuda!”
Suara kereta semakin mendekat.
Tidak lama kemudian di jalan pegunungan sebelah kiri muncul sebuah kereta kuda.
Kereta itu sangat mewah, pasti kereta kuda milik pribadi. Kusirnya seorang laki-laki gemuk, dia terus mengayunkan pecutnya.
”Siap!”
Dengan kedua tangan mereka mengangkat kayu yang sudah disiapkan di bawah batu besar itu.
Kisah Si Naga Terbang
BAB 1
Kasih seorang ibu
Di utara provinsi E, kota penting kantor gubernur Xiang Yang, lokasinya di sebelah kanan daratan sungai Han Sui, berseberangan dengan kota Fan, bukan saja suatu daerah penting yang diperebutkan oleh tentara sepanjang jaman, juga pengiriman barang-barang utara E, barat Yi, selatan Yi, kebanyakan semua melaluinya, para pedagang bersimpang siur di sini, menjadikan keadaan kota sangat ramai.
Gunung Long Zhong di barat daya, menurut cerita tempat belajar para calon pejabat sebelum ujian negara, bekasnya masih tampak, banyak sekali pelancongnya yang pesiar di gunung ini.
Di luar pintu selatan kantor gubernur Xiang Yang, berdiri sebuah rumah besar, didepan pintu merah yang besar, ada tangga giok putih tujuh undakan, di dua sisi pintu ada dua buah patung batu singa warna hijau giok, sebuah papan yang digantung melintang bertuliskan emas. Tertulis “Zhong Yi Xia Hu” (Rumah Pendekar Setia) empat huruf. Di bawahnya tertanda raja Ming Xian Zong tahun kedua belas.
Ini adalah papan yang dianugerahkan raja, di jaman itu, merupakan suatu kebanggaan yang tidak ada duanya.
Pejabat sipil atau militer kantor gubernur Xiang Yang, jika melalui tempat ini, pejabat sipil akan turun dari tandu, pejabat militer turun dari kuda, pertanda menghormati papan emas anugerah raja.
Hari ini, matahari tinggi menyorot, angin sepoi berhembus, didepan dua daun pintu merah yang tertutup di Zhong Yi Xia Hu, tiba-tiba terbuka lebar, seorang laki-laki yang berusia sekitar empat puluhan, berbaju panjang warna hijau laut, bertopi persegi bahan dari sutra hitam, sepatunya sepatu santai bertuliskan Fu, wajahnya merah berjenggot panjang, dengan langkah perlahan keluar, turun dari tujuh undakan tangga giok putih.
Langkah orang berwajah merah itu di belakangnya diikuti oleh empat pemuda berbaju ringkas hitam. Usia empat pemuda itu kurang lebih sama, kira-kira dua puluh satu-dua tahunan, berdampingan di belakang orang berjenggot panjang yang turun dari tangga giok.
Di saat orang berjenggot panjang turun dari tangga, pintu di pinggir juga terbuka, seorang orang setengah baya, menuntun dua ekor kuda, dengan langkah cepat menghampiri didepan tangga.
Orang baju hijau itu berhenti melangkah, dia berbalik melihat sekali pada empat pemuda di belakangnya, katanya, “Pohon besar menantang angin, nama besar menimbulkan iri, setengah tahun ini, kita terus-menerus didatangi orang-orang persilatan yang mengacau, itu bukti kata-katanya benar, guru kalian sekarang pergi menemui seorang teman lama, paling lama satu bulan, paling cepat setengah bulan pasti kembali, kalian semuanya telah mendapat ajaran ilmu silatku, seharusnya aku melepaskan kalian terjun ke dunia persilatan mencari pengalaman, ......”
Empat orang pemuda secara bersamaan memberi homat, berkata, “Kami sekalian tidak bermaksud mencari nama di dunia persilatan, kami hanya ingin mendampingi guru sepanjang tahun, memperdalam ilmu golok.”
Orang berbaju panjang itu tersenyum, “Baik-baiklah menjaga rumah, jika ada orang persilatan datang berkunjung, suruh mereka datang lagi sebulan kemudian.”
Empat orang pemuda dengan hormat menjawab, “Murid sekalian menurut perintah.”
Orang berbaju panjang melirik pada orang yang membawa kuda, katanya, “Zhou Fu, mari kita berangkat.” dia menaiki kuda, menarik tali kekang kuda, dan kuda pun dengan cepat berlari pergi.
Zhou Fu membalikkan kepala memandang pada keempat pemuda itu sambil tertawa, kemudian membalikkan tubuhnya menaiki kuda, pergi menyusul majikannya.
Empat pemuda dengan delapan sorot mata, menatap punggung dua penunggang kuda itu, sampai orang dan kudanya tidak terlihat lagi, baru beriringan kembali ke dalam rumah.
Tidak lama setelah mereka masuk ke dalam rumah, di seberang rumah pendekar Zhong Yi dalam jarak lima zhang, di sebuah gubuk, pintu kayu gubuk itu bergerak, dengan cepat keluar seorang yang bajunya baju kampung dan rambut di kepalanya acak-acakan.
Orang berambut acak-acakan itu, gerakannya sangat waspada, setelah melihat ke sekelilingnya, baru menundukkan kepala melangkah ke depan.
Tangan kirinya menjepit sebuah gergaji, tangan kanan memegang meteran kulit, sekali pandang saja bisa dilihat dia adalah seorang tukang kayu.
Ketika dia berjalan sampai didepan rumah pendekar Zhong Yi, dia sengaja melambatkan langkahnya, meteran kulit di tangannya tidak berhenti diputar, mulutnya bergumam pelan, “Dua tiga dapat enam, tiga tujuh dua zhang satu......”
Suaranya sangat perlahan, walau orang di dekatnya juga sulit dapat mendengar dengan jelas.
Orang berambut acak-acakan begitu melewati rumah pendekar Zhong Yi, tiba-tiba mempercepat langkahnya, kemudian berbelok kearah barat.
Mendadak, sebuah tawa dingin terdengar, bersamaan itu telinganya mendengar suara yang ditekan, “Sahabat, kau berani sekali! Di dalam rumah pendekar Zhong Yi, tidak sedikit jagoan, hanya mengandalkan kepandaian membuat lubang di tembok, kau berani mengusik kumis macan?”
Orang berambut acak-acakan hatinya bergetar mendengar perkataan itu, orang ini bukan saja mengetahui tingkah lakunya, juga sekali membuka mulut bisa tahu perbuatannya, jelas dia bukan orang sembarangan.
Tapi dia sudah lama terjun di dunia persilatan, walau hatinya bergetar, langkahnya tetap tidak berhenti, dengan tetap melangkah besar dia berjalan ke depan, terhadap suara di belakangnya, seperti tidak mendengarnya.
Terdengar suara kebutan baju, satu bayangan orang, lewat dari sisi tubuhnya, menghalangi arah jalannya.
Orang setengah baya yang rambutnya acak-acakan walau seorang angkatan tua, tapi sekarang dia merasa marah, terpaksa mengangkat kepala memandang pada orang yang menghadang.
Begitu mengangkat kepala segera dia merasa satu kilatan dingin menyerang wajahnya, dia terkejut dan mundur ke belakang.
Tapi orang yang menghalangi maksudnya bergerak lebih cepat, tangan kanannya mengulur, seperti bayangan saja, sebuah ujung belati yang berkilau sudah menempel di punggung.
Orang berambut acak-acakan di dalam hatinya dia tahu dia telah ketemu dengan seorang jago hebat, sekali lawannya bergerak belatinya sudah menempel di tubuh, dia tidak mampu menghindar, sorot matanya dipalingkan memperhatikan orang itu. Tampak di depannya berdiri seorang setengah baya dengan wajah pucat, berbaju hitam, kedua pipinya kurus, jika diperhatikan malah tampak seperti sastrawan, jika bukan mengalami sendiri, bagaimanapun juga tidak seperti orang yang berilmu tinggi, yang gerakannya seperti kilat.
Senjata di tangan orang berbaju hitam ternyata bukan sebuah senjata pedang panjang yang tajam, tapi sebuah belati yang panjangnya kurang dari satu che.
Orang setengah baya yang rambutnya acak-acakan memberanikan diri, dengan berbatuk perlahan, dia berkata, “Sahabat, aku dengan Tuan tidak pernah bertemu, tidak ada permusuhan dan tidak ada dendam......”
Orang berbaju hitam itu tertawa tawar, katanya, “Belatiku belum diteruskan membunuhmu......” kata-katanya terhenti sejenak, katanya, “Dengarkan perkataanku, aku ingin kau menjawab dengan jujur, satu kata bohong saja, aku akan membunuhmu.” perkataannya tenang, tapi sepasang sorot matanya yang dingin, membuat orang percaya kata-katanya pasti akan dilaksanakan.
Dengan pengalaman di dunia persilatan yang segudang orang setengah baya yang berambut acak-acakan itu, langsung merasakan keadaan hidup matinya hanya sebatas rambut, dengan tertawa pahit, dia berkata, “Orang rendahan sepertiku, mana bisa tidak menurut, Tuan mau bertanya apa?”
Orang berbaju hitam melihat ke sekeliling sekali, setelah melihat tidak ada orang yang datang, baru dia bertanya, “Apakah kau dari gang tikus tanah, tidak salah dugaanku bukan?”
Orang setengah baya rambut acak-acakan berkata, “Tidak salah, aku memang anggota gang Tikus Tanah.”
Orang berbaju hitam itu berkata, “Mm! Kecuali gang Tikus Tanah, orang persilatan golongan hitam kelas tiga, rasanya tidak ada orang yang berani mengusik rumah Pendekar Zhong Yi......”
Orang setengah baya berambut acak-acakan melanjutkan perkataannya, “Apakah Pendekar Zhong Yi, Chen Dao Long, adalah temanmu......?”
Orang berbaju hitam dengan dingin menjawab, “Aku yang bertanya padamu, lebih baik kau jawab saja, orang yang berani mencuri di rumah pendekar Zhong Yi, pasti orang yang paling hebat di perkumpulanmu, siapa namamu?”
Orang setengah baya yang berada di bawah ancaman, terpaksa menjawab apa yang ditanyakan,
“Aku Shi Guang Jing.”
Orang baju hitam berkata, “Saudara Shi, apakah yang di dunia persilatan dijuluki Satu Milipun Tidak Salah?”
“Benar itulah aku.”
Orang baju hitam tiba-tiba menarik belatinya, sambil tertawa berkata, “Maaf, maaf, ternyata Anda adalah orang nomor dua di geng Tikus Tanah, aku minta maaf.”
Shi Guang Jing berkata, “Baik, baik, sahabat, siapa namamu?”
Orang berbaju hitam menggelengkan kepala berkata, “Saudara Shi lupa lagi, akulah yang berhak bertanya pada saudara?”
Shi Guang Jing merasakan orang ini sifatnya aneh, sulit ditebak, begitu berhadapan tampak ramah, tiba-tiba bisa berubah menjadi sangat kejam, seperti ingin membunuh, sesaat dia menjadi bengong, tidak tahu harus berkata apa.
“Saudara Shi, mari kita cari tempat untuk bicara, aku ada sedikit urusan untuk dirundingkan dengan saudara Shi.” Sambil berkata, dia mengangkat kaki kanannya, mengait satu batu sebesar telur angsa, menaruhnya di telapak tangan kiri, telapak tangan kanannya dengan pelan menekan kebawah, dua telapak diputar dan digosok, segera batu di tangannya hancur menjadi pasir abu, meluruk jatuh ke tanah.
Menyaksikan tenaga telapak tangan orang baju hitam itu, hati Shi Guan Jing sangat terkejut, cara menghancurkan batu menjadi abu seperti ini, menandakan ilmu silatnya sudah mencapai pada tingkat tinggi. Asal dia menyerang, segera dia dapat mengambil nyawanya.
Saat itu dia berbatuk pelan berkata, “Apa pesan saudara? Aku akan menurutinya.”
Orang berbaju hitam itu tertawa, berkata, “Orang pintar bisa melihat keadaan, saudara Shi memang orang pintar.” Sekali bergerak tangannya menangkap pergelangan tangan kiri Shi Guang Jing, dengan langkah besar maju ke depan.
Saat ini, tubuh Shi Guang Jing sudah dikuasai oleh orang berbaju hitam itu, dia hanya bisa menurut saja.
Orang berbaju hitam itu menuntun Shi Guang Jing, tidak melalui jalan raya melainkan melewati sebuah kebun gandum, setelah sampai pada pemakaman besar yang ada pohon cemara tua. Dia melepaskan tangan kirinya katanya, “Tempat ini sangat sepi, hanya sedikit berantakan.”
Shi Guang Jing matanya berputar melihat ke sekeliling tempat itu, tampak pohon-pohon cemara tua menutup cahaya matahari, makam-makam berderetan, ini sebuah tempat yang menyeramkan. Dia menganggukkan kepala menjawab, “Benar, memang tempat ini tidak terurus.”
Orang berbaju hitam mengangkat kepala berkata, “Saudara Shi, menurut yang aku tahu, geng Tikus Tanah kalian, adalah tempat berkumpulnya para pencuri dari jaman dulu sampai sekarang, tidak saja mencuri orang hidup, juga mencuri orang mati, sampai menjadi satu aliran tersendiri di dunia persilatan, saudara Shi yang duduk di kursi kedua tertinggi di geng Tikus Tanah, rasanya pasti tidak takut pada setan.”
Shi Guang Jing batuk sedikit, berkata, “Setan? Aku tidak takut, tapi aku malah takut pada manusia.”
Orang berbaju hitam itu tertawa, katanya, “Saudara Shi berkata benar, manusia memang lebih menakutkan dari pada setan, paling sedikit manusia bisa membuat orang lain menjadi setan.”
Shi Guang Jing walau pengalamannya luas, tapi juga tidak bisa menerka apa maksud tujuan orang berbaju hitam ini, tapi dia tahu dalam hati, ilmu silatnya terlalu jauh dibanding dengan lawannya, sekali dia menyerang, sudah bisa mematikan dirinya, sebelum tahu maksud tujuan lawan, terpaksa sebisanya dia tidak berkata.
Orang berbaju hitam itu mengulurkan tangan, menepuk bahu Shi Guang Jing, melanjutkan perkataannya, “Saudara Shi, kali ini gang mu, siap mencuri di rumah pendekar Zhong Yi, sampai kau sendiri yang turun tangan, rasanya, barang yang akan dicuri, pasti sangat berharga.”
Shi Guang Jing yang bahunya ditepuk dua kali oleh orang berbaju hitam, sudah sangat takut sekali, seluruh tubuhnya terasa dingin, terpaksa dengan jujur menjawab, “Benar, aku ingin mencuri Gulungan Besi, dan Golok Pusaka nya pendekar Zhong Yi yang dianugerahkan raja.”
“Ah!” orang berbaju hitam berkata, “Golok Pusaka anugrah raja itu, adalah senjata ternama di dunia persilatan, disebut Liu He, menurut kabar golok itu ditempa dengan bahan enam macam logam, jika ada bahaya begitu keluar dari sarungnya, mengeluarkan sinar yang tajam, ketajamannya golok ini bisa memotong besi seperti tanah, memotong giok dan logam, di dunia persilatan golok ini banyak membunuh orang, belakangan diambil oleh jago istana, disimpan di Istana Terlarang, golok ini sudah puluhan tahun tidak muncul di dunia persilatan, tidak diduga ketika Chen Dao Long menolong baginda raja, baginda raja menganugerahkan Golok Liu He padanya, membuat golok yang dipandang oleh dunia persilatan sebagai biang bencana ini, muncul lagi di dunia persilatan......” dia sepertinya sadar bicaranya terlalu banyak, tiba-tiba dia berhenti berkata, dua sorot mata dingin menatap pada wajah Shi Guang Jing.
Sorot mata yang seperti senjata tajam itu, berkilau mengeluarkan hawa pembunuhan, membuat punggung Shi Guang Jing terasa dingin, dengan batuk sekali, dia menenangkan diri, katanya, “Tuan sungguh luar biasa, bisa mengetahui seluk-beluk golok pusaka Liu He, aku salut padamu.”
Orang berbaju hitam tertawa, berkata, “Tidak juga? Tapi orang-orang gang kalian, rasanya tidak ada orang pun yang pantas memakai golok pusaka itu, entah buat apa mencurinya?”
Hawa membunuh di matanya sedikit memudar, Shi Guang Jing sedikit tenang, dengan memberanikan diri, berkata, “Gang kami menerima pesanan orang mencuri golok pusaka, dan grasi Gulungan Besi yang dianugerahkan raja pada Chen Dao Long.”
Orang berbaju hitam tertawa dingin, berkata, “Rasanya bukan! Orang-orang gang Tikus Tanah, rasanya tidak akan memegang kesetiaan dan kebenaran, kata-kata dapat pesanan orang, tidakkah dirasakan terlalu hormat?”
Shi Guang Jing tertawa kaku, berkata, “Tuan sangat teliti, aku kurang tepat menggunakan kata-kata, begini, ada orang mau membayar dengan banyak sekali uang, agar kami mencurikan Golok Pusaka dan Gulungan Besi.”
“Siapa?”
Shi Guang Jing tertegun, berkata, “Siapa orang itu, mereka tidak mau mengatakannya, tapi......”
Kasih seorang ibu
Di utara provinsi E, kota penting kantor gubernur Xiang Yang, lokasinya di sebelah kanan daratan sungai Han Sui, berseberangan dengan kota Fan, bukan saja suatu daerah penting yang diperebutkan oleh tentara sepanjang jaman, juga pengiriman barang-barang utara E, barat Yi, selatan Yi, kebanyakan semua melaluinya, para pedagang bersimpang siur di sini, menjadikan keadaan kota sangat ramai.
Gunung Long Zhong di barat daya, menurut cerita tempat belajar para calon pejabat sebelum ujian negara, bekasnya masih tampak, banyak sekali pelancongnya yang pesiar di gunung ini.
Di luar pintu selatan kantor gubernur Xiang Yang, berdiri sebuah rumah besar, didepan pintu merah yang besar, ada tangga giok putih tujuh undakan, di dua sisi pintu ada dua buah patung batu singa warna hijau giok, sebuah papan yang digantung melintang bertuliskan emas. Tertulis “Zhong Yi Xia Hu” (Rumah Pendekar Setia) empat huruf. Di bawahnya tertanda raja Ming Xian Zong tahun kedua belas.
Ini adalah papan yang dianugerahkan raja, di jaman itu, merupakan suatu kebanggaan yang tidak ada duanya.
Pejabat sipil atau militer kantor gubernur Xiang Yang, jika melalui tempat ini, pejabat sipil akan turun dari tandu, pejabat militer turun dari kuda, pertanda menghormati papan emas anugerah raja.
Hari ini, matahari tinggi menyorot, angin sepoi berhembus, didepan dua daun pintu merah yang tertutup di Zhong Yi Xia Hu, tiba-tiba terbuka lebar, seorang laki-laki yang berusia sekitar empat puluhan, berbaju panjang warna hijau laut, bertopi persegi bahan dari sutra hitam, sepatunya sepatu santai bertuliskan Fu, wajahnya merah berjenggot panjang, dengan langkah perlahan keluar, turun dari tujuh undakan tangga giok putih.
Langkah orang berwajah merah itu di belakangnya diikuti oleh empat pemuda berbaju ringkas hitam. Usia empat pemuda itu kurang lebih sama, kira-kira dua puluh satu-dua tahunan, berdampingan di belakang orang berjenggot panjang yang turun dari tangga giok.
Di saat orang berjenggot panjang turun dari tangga, pintu di pinggir juga terbuka, seorang orang setengah baya, menuntun dua ekor kuda, dengan langkah cepat menghampiri didepan tangga.
Orang baju hijau itu berhenti melangkah, dia berbalik melihat sekali pada empat pemuda di belakangnya, katanya, “Pohon besar menantang angin, nama besar menimbulkan iri, setengah tahun ini, kita terus-menerus didatangi orang-orang persilatan yang mengacau, itu bukti kata-katanya benar, guru kalian sekarang pergi menemui seorang teman lama, paling lama satu bulan, paling cepat setengah bulan pasti kembali, kalian semuanya telah mendapat ajaran ilmu silatku, seharusnya aku melepaskan kalian terjun ke dunia persilatan mencari pengalaman, ......”
Empat orang pemuda secara bersamaan memberi homat, berkata, “Kami sekalian tidak bermaksud mencari nama di dunia persilatan, kami hanya ingin mendampingi guru sepanjang tahun, memperdalam ilmu golok.”
Orang berbaju panjang itu tersenyum, “Baik-baiklah menjaga rumah, jika ada orang persilatan datang berkunjung, suruh mereka datang lagi sebulan kemudian.”
Empat orang pemuda dengan hormat menjawab, “Murid sekalian menurut perintah.”
Orang berbaju panjang melirik pada orang yang membawa kuda, katanya, “Zhou Fu, mari kita berangkat.” dia menaiki kuda, menarik tali kekang kuda, dan kuda pun dengan cepat berlari pergi.
Zhou Fu membalikkan kepala memandang pada keempat pemuda itu sambil tertawa, kemudian membalikkan tubuhnya menaiki kuda, pergi menyusul majikannya.
Empat pemuda dengan delapan sorot mata, menatap punggung dua penunggang kuda itu, sampai orang dan kudanya tidak terlihat lagi, baru beriringan kembali ke dalam rumah.
Tidak lama setelah mereka masuk ke dalam rumah, di seberang rumah pendekar Zhong Yi dalam jarak lima zhang, di sebuah gubuk, pintu kayu gubuk itu bergerak, dengan cepat keluar seorang yang bajunya baju kampung dan rambut di kepalanya acak-acakan.
Orang berambut acak-acakan itu, gerakannya sangat waspada, setelah melihat ke sekelilingnya, baru menundukkan kepala melangkah ke depan.
Tangan kirinya menjepit sebuah gergaji, tangan kanan memegang meteran kulit, sekali pandang saja bisa dilihat dia adalah seorang tukang kayu.
Ketika dia berjalan sampai didepan rumah pendekar Zhong Yi, dia sengaja melambatkan langkahnya, meteran kulit di tangannya tidak berhenti diputar, mulutnya bergumam pelan, “Dua tiga dapat enam, tiga tujuh dua zhang satu......”
Suaranya sangat perlahan, walau orang di dekatnya juga sulit dapat mendengar dengan jelas.
Orang berambut acak-acakan begitu melewati rumah pendekar Zhong Yi, tiba-tiba mempercepat langkahnya, kemudian berbelok kearah barat.
Mendadak, sebuah tawa dingin terdengar, bersamaan itu telinganya mendengar suara yang ditekan, “Sahabat, kau berani sekali! Di dalam rumah pendekar Zhong Yi, tidak sedikit jagoan, hanya mengandalkan kepandaian membuat lubang di tembok, kau berani mengusik kumis macan?”
Orang berambut acak-acakan hatinya bergetar mendengar perkataan itu, orang ini bukan saja mengetahui tingkah lakunya, juga sekali membuka mulut bisa tahu perbuatannya, jelas dia bukan orang sembarangan.
Tapi dia sudah lama terjun di dunia persilatan, walau hatinya bergetar, langkahnya tetap tidak berhenti, dengan tetap melangkah besar dia berjalan ke depan, terhadap suara di belakangnya, seperti tidak mendengarnya.
Terdengar suara kebutan baju, satu bayangan orang, lewat dari sisi tubuhnya, menghalangi arah jalannya.
Orang setengah baya yang rambutnya acak-acakan walau seorang angkatan tua, tapi sekarang dia merasa marah, terpaksa mengangkat kepala memandang pada orang yang menghadang.
Begitu mengangkat kepala segera dia merasa satu kilatan dingin menyerang wajahnya, dia terkejut dan mundur ke belakang.
Tapi orang yang menghalangi maksudnya bergerak lebih cepat, tangan kanannya mengulur, seperti bayangan saja, sebuah ujung belati yang berkilau sudah menempel di punggung.
Orang berambut acak-acakan di dalam hatinya dia tahu dia telah ketemu dengan seorang jago hebat, sekali lawannya bergerak belatinya sudah menempel di tubuh, dia tidak mampu menghindar, sorot matanya dipalingkan memperhatikan orang itu. Tampak di depannya berdiri seorang setengah baya dengan wajah pucat, berbaju hitam, kedua pipinya kurus, jika diperhatikan malah tampak seperti sastrawan, jika bukan mengalami sendiri, bagaimanapun juga tidak seperti orang yang berilmu tinggi, yang gerakannya seperti kilat.
Senjata di tangan orang berbaju hitam ternyata bukan sebuah senjata pedang panjang yang tajam, tapi sebuah belati yang panjangnya kurang dari satu che.
Orang setengah baya yang rambutnya acak-acakan memberanikan diri, dengan berbatuk perlahan, dia berkata, “Sahabat, aku dengan Tuan tidak pernah bertemu, tidak ada permusuhan dan tidak ada dendam......”
Orang berbaju hitam itu tertawa tawar, katanya, “Belatiku belum diteruskan membunuhmu......” kata-katanya terhenti sejenak, katanya, “Dengarkan perkataanku, aku ingin kau menjawab dengan jujur, satu kata bohong saja, aku akan membunuhmu.” perkataannya tenang, tapi sepasang sorot matanya yang dingin, membuat orang percaya kata-katanya pasti akan dilaksanakan.
Dengan pengalaman di dunia persilatan yang segudang orang setengah baya yang berambut acak-acakan itu, langsung merasakan keadaan hidup matinya hanya sebatas rambut, dengan tertawa pahit, dia berkata, “Orang rendahan sepertiku, mana bisa tidak menurut, Tuan mau bertanya apa?”
Orang berbaju hitam melihat ke sekeliling sekali, setelah melihat tidak ada orang yang datang, baru dia bertanya, “Apakah kau dari gang tikus tanah, tidak salah dugaanku bukan?”
Orang setengah baya rambut acak-acakan berkata, “Tidak salah, aku memang anggota gang Tikus Tanah.”
Orang berbaju hitam itu berkata, “Mm! Kecuali gang Tikus Tanah, orang persilatan golongan hitam kelas tiga, rasanya tidak ada orang yang berani mengusik rumah Pendekar Zhong Yi......”
Orang setengah baya berambut acak-acakan melanjutkan perkataannya, “Apakah Pendekar Zhong Yi, Chen Dao Long, adalah temanmu......?”
Orang berbaju hitam dengan dingin menjawab, “Aku yang bertanya padamu, lebih baik kau jawab saja, orang yang berani mencuri di rumah pendekar Zhong Yi, pasti orang yang paling hebat di perkumpulanmu, siapa namamu?”
Orang setengah baya yang berada di bawah ancaman, terpaksa menjawab apa yang ditanyakan,
“Aku Shi Guang Jing.”
Orang baju hitam berkata, “Saudara Shi, apakah yang di dunia persilatan dijuluki Satu Milipun Tidak Salah?”
“Benar itulah aku.”
Orang baju hitam tiba-tiba menarik belatinya, sambil tertawa berkata, “Maaf, maaf, ternyata Anda adalah orang nomor dua di geng Tikus Tanah, aku minta maaf.”
Shi Guang Jing berkata, “Baik, baik, sahabat, siapa namamu?”
Orang berbaju hitam menggelengkan kepala berkata, “Saudara Shi lupa lagi, akulah yang berhak bertanya pada saudara?”
Shi Guang Jing merasakan orang ini sifatnya aneh, sulit ditebak, begitu berhadapan tampak ramah, tiba-tiba bisa berubah menjadi sangat kejam, seperti ingin membunuh, sesaat dia menjadi bengong, tidak tahu harus berkata apa.
“Saudara Shi, mari kita cari tempat untuk bicara, aku ada sedikit urusan untuk dirundingkan dengan saudara Shi.” Sambil berkata, dia mengangkat kaki kanannya, mengait satu batu sebesar telur angsa, menaruhnya di telapak tangan kiri, telapak tangan kanannya dengan pelan menekan kebawah, dua telapak diputar dan digosok, segera batu di tangannya hancur menjadi pasir abu, meluruk jatuh ke tanah.
Menyaksikan tenaga telapak tangan orang baju hitam itu, hati Shi Guan Jing sangat terkejut, cara menghancurkan batu menjadi abu seperti ini, menandakan ilmu silatnya sudah mencapai pada tingkat tinggi. Asal dia menyerang, segera dia dapat mengambil nyawanya.
Saat itu dia berbatuk pelan berkata, “Apa pesan saudara? Aku akan menurutinya.”
Orang berbaju hitam itu tertawa, berkata, “Orang pintar bisa melihat keadaan, saudara Shi memang orang pintar.” Sekali bergerak tangannya menangkap pergelangan tangan kiri Shi Guang Jing, dengan langkah besar maju ke depan.
Saat ini, tubuh Shi Guang Jing sudah dikuasai oleh orang berbaju hitam itu, dia hanya bisa menurut saja.
Orang berbaju hitam itu menuntun Shi Guang Jing, tidak melalui jalan raya melainkan melewati sebuah kebun gandum, setelah sampai pada pemakaman besar yang ada pohon cemara tua. Dia melepaskan tangan kirinya katanya, “Tempat ini sangat sepi, hanya sedikit berantakan.”
Shi Guang Jing matanya berputar melihat ke sekeliling tempat itu, tampak pohon-pohon cemara tua menutup cahaya matahari, makam-makam berderetan, ini sebuah tempat yang menyeramkan. Dia menganggukkan kepala menjawab, “Benar, memang tempat ini tidak terurus.”
Orang berbaju hitam mengangkat kepala berkata, “Saudara Shi, menurut yang aku tahu, geng Tikus Tanah kalian, adalah tempat berkumpulnya para pencuri dari jaman dulu sampai sekarang, tidak saja mencuri orang hidup, juga mencuri orang mati, sampai menjadi satu aliran tersendiri di dunia persilatan, saudara Shi yang duduk di kursi kedua tertinggi di geng Tikus Tanah, rasanya pasti tidak takut pada setan.”
Shi Guang Jing batuk sedikit, berkata, “Setan? Aku tidak takut, tapi aku malah takut pada manusia.”
Orang berbaju hitam itu tertawa, katanya, “Saudara Shi berkata benar, manusia memang lebih menakutkan dari pada setan, paling sedikit manusia bisa membuat orang lain menjadi setan.”
Shi Guang Jing walau pengalamannya luas, tapi juga tidak bisa menerka apa maksud tujuan orang berbaju hitam ini, tapi dia tahu dalam hati, ilmu silatnya terlalu jauh dibanding dengan lawannya, sekali dia menyerang, sudah bisa mematikan dirinya, sebelum tahu maksud tujuan lawan, terpaksa sebisanya dia tidak berkata.
Orang berbaju hitam itu mengulurkan tangan, menepuk bahu Shi Guang Jing, melanjutkan perkataannya, “Saudara Shi, kali ini gang mu, siap mencuri di rumah pendekar Zhong Yi, sampai kau sendiri yang turun tangan, rasanya, barang yang akan dicuri, pasti sangat berharga.”
Shi Guang Jing yang bahunya ditepuk dua kali oleh orang berbaju hitam, sudah sangat takut sekali, seluruh tubuhnya terasa dingin, terpaksa dengan jujur menjawab, “Benar, aku ingin mencuri Gulungan Besi, dan Golok Pusaka nya pendekar Zhong Yi yang dianugerahkan raja.”
“Ah!” orang berbaju hitam berkata, “Golok Pusaka anugrah raja itu, adalah senjata ternama di dunia persilatan, disebut Liu He, menurut kabar golok itu ditempa dengan bahan enam macam logam, jika ada bahaya begitu keluar dari sarungnya, mengeluarkan sinar yang tajam, ketajamannya golok ini bisa memotong besi seperti tanah, memotong giok dan logam, di dunia persilatan golok ini banyak membunuh orang, belakangan diambil oleh jago istana, disimpan di Istana Terlarang, golok ini sudah puluhan tahun tidak muncul di dunia persilatan, tidak diduga ketika Chen Dao Long menolong baginda raja, baginda raja menganugerahkan Golok Liu He padanya, membuat golok yang dipandang oleh dunia persilatan sebagai biang bencana ini, muncul lagi di dunia persilatan......” dia sepertinya sadar bicaranya terlalu banyak, tiba-tiba dia berhenti berkata, dua sorot mata dingin menatap pada wajah Shi Guang Jing.
Sorot mata yang seperti senjata tajam itu, berkilau mengeluarkan hawa pembunuhan, membuat punggung Shi Guang Jing terasa dingin, dengan batuk sekali, dia menenangkan diri, katanya, “Tuan sungguh luar biasa, bisa mengetahui seluk-beluk golok pusaka Liu He, aku salut padamu.”
Orang berbaju hitam tertawa, berkata, “Tidak juga? Tapi orang-orang gang kalian, rasanya tidak ada orang pun yang pantas memakai golok pusaka itu, entah buat apa mencurinya?”
Hawa membunuh di matanya sedikit memudar, Shi Guang Jing sedikit tenang, dengan memberanikan diri, berkata, “Gang kami menerima pesanan orang mencuri golok pusaka, dan grasi Gulungan Besi yang dianugerahkan raja pada Chen Dao Long.”
Orang berbaju hitam tertawa dingin, berkata, “Rasanya bukan! Orang-orang gang Tikus Tanah, rasanya tidak akan memegang kesetiaan dan kebenaran, kata-kata dapat pesanan orang, tidakkah dirasakan terlalu hormat?”
Shi Guang Jing tertawa kaku, berkata, “Tuan sangat teliti, aku kurang tepat menggunakan kata-kata, begini, ada orang mau membayar dengan banyak sekali uang, agar kami mencurikan Golok Pusaka dan Gulungan Besi.”
“Siapa?”
Shi Guang Jing tertegun, berkata, “Siapa orang itu, mereka tidak mau mengatakannya, tapi......”
Langit Sembilan Lapis
BAB 1
Bertobat
Mendapat perlakuan tidak adil
Siapakah orang ini?
Sedang apa dia di sana?
Telah tiga hari penuh dia seperti cahaya di langit, bila langit mulai ada cahaya. di permukaan bumi pun pasti ada dia, begitu langit gelap bayangan dia pun akan menghilang, ketika matahari muncul di permukaan bumi lagi, dia pun sudah berdiri tegak disana, tidak makan, tidak minum, juga sedikitpun dia tidak bergerak, bila dia tidak memiliki hidung dan mata, tidak ada orang yang percaya, dia sesungguhnya orang yang masih hidup, tapi orang yang sungguh sungguh hidup, bagaimana bisa berdiri tegak kaku, dan sama sekali tidak bergerak.
Ini adalah suatu persimpangan jalan besar yang bisa menembus ke segala jurusan, dia menghadap ke persimpangan jalan itu dan berdiri disana, menjelang petang hari ketiga ketika matahari menyinari wajahnya, dijalan persimpangan itu muncullah seseorang yang mengenakan pakaian biru, gerakannya bagaikan angin, orang itu berjalan kehadapannya, melihat sebentar dari kepala sampai kaki, lalu tertawalah orang itu sambil berkata, ”Sobat apakah sudah tiga hari anda menanti disini?
”Ya “
“Mau berapa hari lagi anda berdiri disini.”
“Tujuh hari.”
“Siapa namamu.”
“Sim Cu Yi.”
Orang yang datang itu mengerutkan dahinya, berkata, ”Ternyata betul adalah anda.”
”Kalau begitu tuan tentu adalah Coh Kiam Hong.”
Coh Kiam Hong menganggukkan kepalanya kemudian sambil tersenyum berkata, ”Tidak salah, aku adalah Coh Kiam Hong.”
Mendengar ini barulah Sim Cu Yi membalikkan tubuhnya, sinar matanya menjelajahi sekeliling tempat itu, setelah memandang sebentar lalu berkata, ”Sekarang di jalan ini sudah tidak ada pejalan kaki.”
Coh Kiam Hong berkata, ”Desa yang terdekat dari sini juga lebih dari 30 li, orang yang akan melewati jalan ini seharusnya sudah tidak ada lagi.”
”Baiklah, kalau begitu sekarang kita boleh mulai bertarung.”
Coh Kiam Hong ragu-ragu sebentar, dia memanggil, ”Kakak Sim….”
Sim Cu Yi meraba bagian bawah bajunya, kemudian mengeluarkan sepasang pedang dengan kedua sisinya yang tajam, sinar berkilauan memancar keluar dari pedang itu, seperti matahari dan rembulan, sepasang pedang itu pelan-pelan saling mengeluarkan bunyi yang saling bertaut nyaring dan merdu, ketika kedua logam itu bersentuhan telah memotong perkataan Coh Kiam Hong.
“Tidak usah banyak bicara lagi, mulailah.”
Coh Kiam Hong dengan tersenyum masam, dia menggerakkan tangannya mencabut pedang yang tergantung di sisi tubuhnya, dengan berdiri melawan arah angin dia mengibaskan pedangnya, terlihat berlaksa-laksa berkas sinar surya memancar sambil mengeluarkan suara laksana raungan naga.
Sim Cu Yi berkata, ”Pedang bagus.”
”Kakak terlalu memuji.” sambil mengerak-gerakan pedang, dia mengembangkan seberkas bunga pedang, ketika gerakannya berhenti dia berkata, ”Silahkan.”
”Aku turut perintah, maaf melanggar kesopanan, begitu perkataan selesai tubuhnya bergerak maju, memainkan pedang dengan dua mata yang tajam seperti matahari dan rembulan, sepasang pedangnya telah berubah bentuk menjadi dinding lingkaran cahaya, bergulung-gulung menuju ke tempat berdirinya Coh Kiam Hong.
Coh Kiam Hong pun tidak banyak berkata lagi, menggerakan pedangnya bagai gerakan angin dan awan, segera terjadilah pertarungan yang sengit.
Begitu terjadi pertarungan, mereka sudah tidak menghiraukan keselamatan jiwanya lagi, mengerikan, sinar matahari petang pun seolah-olah ketakutan sehingga menyelinap pergi.
Setelah bertarung seratus jurus, Sim Cu Yi terlihat mulai bergerak lamban, sehingga muncul suatu titik kelemahan.
Melihat titik kelemahan itu Coh Kiam Hong segera langsung mengerakan pedangnya, menusuk ke titik kelemahan tersebut, pedangnya tepat mengarah kedada Sim Cu Yi.
Sim Cu Yi tampak tersenyum pahit berkata, ”Jurus pedang yang bagus,” begitu habis perkataannya tubuhnya sudah doyong kebelakang dan jatuh terlentang di atas tanah.
Coh Kiam Hong yang melihat tubuh Sim Cu Yi sudah terlentang di atas tanah, perasaannya tercekam rasa sedih, dia segera menarik pedangnya, ”Kakak Sim, mulai hari ini budi dan dendan kita sudah selesai, kau boleh pergi dengan tenang.” Tubuhnya segera berputar, melayang meninggalkan persimpangan jalan itu.
Sejenak setelah Coh Kiam Hong meninggalkan tempat itu, mendadak bagaikan terbang muncullah seorang tua yang berambut putih, mendarat didepan tubuh Sim Cu Yi, menghentakkan kakinya dengan berat sambil mengeluh panjang, berkata, ”Sudah terlambat,.. sudah terlambat.”
Dia mengeluh sambil membungkukkan tubuhnya, mengulurkan tangannya meraba denyut nadi Sim Cu Yi, begitu menempelkan tiga jarinya, mendadak dia menarik kembali tangannya, kemudian dia mengeluarkan sebutir pil langsung memasukan kedalam mulut Sim Cu Yi, kedua tangannya mengangkat tubuh Sim Cu Yi dengan tenang pergi melenyapkan dirinya.
0-0-0
Di suatu tempat dalam gunung yang amat jarang didatangi manusia, ada sebuah gubuk kecil, saat ini Sim Cu Yi sedang berbaring dalam gubuk ini. Dia membelalakan sepasang matanya yang bening, sedang melamun sambil memandang atap gubuk.
Memang dia sedang terlolong-lolong tapi mata dan kupingnya tetap cermat, tiba-tiba memutar kepala melihat orang tua yang menolongnya, sedang melangkah masuk ke kamarnya.
Sim Cu Yi memandang orang tua itu. Setelah berpikir sejenak lalu berkata, ”Locianpwe, pasti yang menolong Boanpwe bukan?”
Orang tua itu tersenyum sambil mengangguk lalu berkata, ”Nasibmu baik, dadamu tertusuk pedang, untung tidak mengenai paru-paru dan jantung, kalau tidak aku pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi.”
”Boleh tahu nama Cianpwe siapa?”
”Kau panggil saja lohu, Orang tua Ie sudah cukup.”
”Yi Locianpwe.”
”Siapa namamu?”
”Boanpwe Sim Cu Yi.”
Orang tua Ie menggeleng kepala dan berkata, ”Bukan, kau bukan Sim Cu Yi, tapi lohu tidak mengerti, kenapa kau mau mengaku sebagai Sim Cu Yi? kenapa rela mati menggantikan Sim Cu Yi?”
Diam-diam dahi Sim Cu Yi palsu berkerut karena kaget, dalam hati berpikir, ”Celaka, penyamaranku sia-sia lagi!”
Dia terpikir apa-apa yang telah direncanakannya menjadi sia-sia, sorotan matanya samar-samar menyiratkan nafsu membunuh yang amat menggebu…
Tetapi nafsu membunuh hanya tampak sebentar, tidak lama kemudian dia menarik nafas panjang, setelah dipikir kembali hilanglah hasrat tadi.
Dengan tersenyum Sim Cu Yi berkata, ”Locianpwe rupanya telah banyak tahu, Boanpwe tidak berani membohong, memang Boanpwe bukan Sim Cu Yi.”
”Kalau begitu, siapa namamu?”
“Locianpwe, Boanpwe ini siapa harap jangan bertanya dulu, anggap saja Boanpwe sudah mati di bawah pedang Coh Kiam Hong!”
Dengan ketawa orang tua Ie geleng-geleng kepala berkata, ”Buktinya kau tidak mati, mengapa harus dianggap mati?”
”Tapi Boanpwe tidak bisa memberi tahu, juga tidak berani asal sebut sebuah nama lain untuk membohongi Locianpwe.”
Orang tua Ie berpikir, mungkin dia seperti dirinya yang tidak ingin menyebutkan nama aslinya, setelah mendengar perkataan ini mukanya menjadi merah. Lalu tertawa keras, ”Wah, kau pemuda yang jujur sekali! Tapi kalau memang ada yang kurang enak, lebih baik tidak usah dikatakan!”
Dengan tersenyum Sim Cu Yi berkata, ”Yang sudah berlalu biarlah berlalu, selanjutnya masih banyak kesempatan untuk mengganti nama lain. Mulai sekarang Boanpwe mau mengganti nama menjadi Ho Sim Seng, Boanpwe Ho Sim Seng mengucapkan banyak terima kasih kepada Locianpwe atas pertolongannya. Boanpwe mau permisi dulu.”
Dia turun dari ranjang lalu bersoja memberi hormat dan keluar kamar.
Tapi rupanya luka yang diderita parah sekali, baru saja berjalan dua langkah mukanya sudah terlihat kerut kesakitan, dia menggigit gigi, membusungkan dada keluar kamar.
Orang tua Ie ingin sekali menahan dirinya, tetapi melihat air mukanya yang keras dan mantap akhirnya dia menahan diri.
Melihat dia melangkah dengan sulit meninggalkan gubuknya, orang tua Ie menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tersenyum kecut berkata, ”Orang aneh, benar-benar tidak bisa dimengerti.”
Dia jadi tidak tega membiarkan Ho Sim Seng pergi begitu saja, tidak lama tubuhnya melayang, diam-diam dia ingin mengikutinya, tetapi setelah dia mengejar kemana-mana dia tidak menemukan jejak Ho Sim Seng.
Hanya dalam waktu sekejap orang yang luka parah itu lenyap begitu saja tanpa bekas, meninggalkan sebuah kesan yang mendalam di hati orang tua Ie.
0-0-0
Waktu berlalu dengan cepat, tidak terasa setengah tahun sudah berlalu.
Suatu hari dikaki Oey San muncul seorang pemuda berpakaian rapih sedang berjalan. Setelah berhenti sebentar di bawah air terjun Kiu Liong, dia lalu memutar melewati air terjun ini, sampailah di depan sebuah rumah genting berdinding bata yang tidak terlalu besar.
Didepan rumah ini ada sebuah taman yang cukup luas, tamannya sudah lama tidak terawat dan tumbuh banyak rumput liar.
Pemuda itu adalah Ho Sim Seng, setelah melihat kesekitar tempat itu dia menghela nafas. Lalu berkata, ”Permisi, apakah ada orang di dalam?”
“Siapa itu?” muncul satu suara jawaban yang lemah dari dalam, disusul dengan batuk yang berkepanjangan.
Rasa iba muncul di roman muka Ho Sim Seng, dia menjawab, ”Boanpwe Ho Sim Seng, teman akrab putra anda Sim Cu Yi.”
Jawaban belum habis, suara batuk menjadi berhenti, tiba-tiba berubah menjadi suara yang bersemangat, ”Oh! Silakan masuk, silakan masuk!”
Ho Sim Seng melangkah masuk ke dalam rumah, terlihat seorang Lo popo berambut putih yang tampak sedang sakit keluar dari dalam kamar sambil memegang dinding ruangan.
Ho Sim Seng segera maju kedepan memapah Lo popo sambil berkata, ”Anda tentu Oey Cianpwe. Boanpwe tidak tahu, anda sedang kurang sehat.”
Sim Lo Hujin adalah dari keluarga yang bermarga Oey sehingga Ho Sim Seng memanggilnya Oey Locianpwe.
Ho Sim Seng memapah Sim Lo Hujin duduk lalu dia kembali memberi hormat lagi dan berkata, ”Boanpwe Ho Sim Seng memberi salam hormat pada Locianpwe!”
Wajah suram Sim Lo Hujin menampilkan sebuah senyuman, ”Ho Siauhiap tidak perlu sungkan-sungkan, duduklah. Aku ingin sekali mendapat kabar Cu Yi!”
Setelah mengucapkan terima kasih Ho Sim Seng duduk disamping Sim Lo Hujin sambil berkata, “Kakak Cu Yi sekarang baik-baik saja, dia bernasib baik, baru-baru ini dia mendapatkan sebuah buku rahasia ilmu silat, sekarang sedang giat berlatih, jadi sementara tidak bisa pulang, untuk mengurus Cianpwe, dia hanya mengutus Boanpwe kesini mengirim kabar, harap Locianpwe jangan kuatir…”
Perkataannya berhenti sebentar, dari pinggangnya dia mengambil sepasang pedang matahari dan rembulan yang tajam dua belah sisinya, ditaruhnya pedang itu di atas meja, ”Cu Yi Twako berpesan pada Boanpwe untuk membawa senjata yang selalu dia bawa sebagai bukti, harap Cianpwe menerimanya dengan baik.”
Mata Sim popo berputar, setelah berpikir sejenak dia berkata, ”Anakku menyerahkan sepasang pedangnya pada Ho Siauhiap, tentu mengajarkan juga ilmunya pada Siauhiap?”
Sepasang pedang matahari dan rembulan merupakan senjata yang membuat nama Sim Cu Yi menjadi tersohor. Tidak mungkin dia sembarangan menitipkan senjata itu pada orang lain, masalah ini Lo hujin juga tidak menjadi curiga.
Ho Sim Seng mengerti maksudnya, hal ini jauh-jauh hari sudah terpikir olehnya, kalau tidak untuk apa dia harus repot-repot menyerahkannya?
”Boanpwe bersyukur, kakak Cu Yi menganggap Boanpwe seperti saudaranya, Boanpwe juga sudah bisa memainkan sepasang pedangnya.
Sim Lo Hujin mengangguk, ”Siauhiap, maaf bolehkah aku melihat ilmu sepasang pedang mu.”
Ho Sim Seng lalu berdiri dengan sopan dan berkata, ”Tentu saja boleh, Boanpwe akan coba memainkannya.” Lalu dia mengambil kedua pedang yang terletak diatas meja dan memperagakan di dalam ruangan itu. Dia melakukan jurus pembukaan yang baik dan benar yang tentu saja gerakannya tampak sudah mendapat pengarahan yang cermat.
Sim Lo Hujin tersenyum mengangguk dan berkata, ”Cukup nak, tidak perlu diteruskan lagi!” sekarang panggilannya sudah dirubah.
Ho Sim Seng menyelesaikan jurus-jurusnya lalu menaruh kembali senjatanya dan berkata, ”Baru-baru ini kakak Cu Yi telah menciptakan lagi 3 jurus baru yang ajaib, dia menyuruh Boanpwe mengajarkan lagi pada Cu Sin dan membawa pulang kedua pedang ini agar bisa dipergunakan oleh Cu Sin.”
Bola matanya berputar selanjutnya dia bertanya, ”Kemanakah Cu Sin?” beberapa katanya sudah menjelaskan semua alasan dikembalikannya sepasang pedang matahari dan rembulan.
Kecurigaan dalam hati Sim Lo Hujin sudah hilang sama sekali, dengan suara datar berkata, ”Cu Sin sedang ke vihara Leng Ku berguru pada Chu In Taysu yang menjabat sebagai ketua Leng Ku.”
Dia berhenti sebentar lalu berkata lagi, ”Anak! Kita tidak perlu sungkan-sungkan lagi. Kau jangan panggil Sim Locianpwe lagi padaku, panggil bibi saja.”
Ho Sim Seng segera memanggil, ”Bibi!”
Bertobat
Mendapat perlakuan tidak adil
Siapakah orang ini?
Sedang apa dia di sana?
Telah tiga hari penuh dia seperti cahaya di langit, bila langit mulai ada cahaya. di permukaan bumi pun pasti ada dia, begitu langit gelap bayangan dia pun akan menghilang, ketika matahari muncul di permukaan bumi lagi, dia pun sudah berdiri tegak disana, tidak makan, tidak minum, juga sedikitpun dia tidak bergerak, bila dia tidak memiliki hidung dan mata, tidak ada orang yang percaya, dia sesungguhnya orang yang masih hidup, tapi orang yang sungguh sungguh hidup, bagaimana bisa berdiri tegak kaku, dan sama sekali tidak bergerak.
Ini adalah suatu persimpangan jalan besar yang bisa menembus ke segala jurusan, dia menghadap ke persimpangan jalan itu dan berdiri disana, menjelang petang hari ketiga ketika matahari menyinari wajahnya, dijalan persimpangan itu muncullah seseorang yang mengenakan pakaian biru, gerakannya bagaikan angin, orang itu berjalan kehadapannya, melihat sebentar dari kepala sampai kaki, lalu tertawalah orang itu sambil berkata, ”Sobat apakah sudah tiga hari anda menanti disini?
”Ya “
“Mau berapa hari lagi anda berdiri disini.”
“Tujuh hari.”
“Siapa namamu.”
“Sim Cu Yi.”
Orang yang datang itu mengerutkan dahinya, berkata, ”Ternyata betul adalah anda.”
”Kalau begitu tuan tentu adalah Coh Kiam Hong.”
Coh Kiam Hong menganggukkan kepalanya kemudian sambil tersenyum berkata, ”Tidak salah, aku adalah Coh Kiam Hong.”
Mendengar ini barulah Sim Cu Yi membalikkan tubuhnya, sinar matanya menjelajahi sekeliling tempat itu, setelah memandang sebentar lalu berkata, ”Sekarang di jalan ini sudah tidak ada pejalan kaki.”
Coh Kiam Hong berkata, ”Desa yang terdekat dari sini juga lebih dari 30 li, orang yang akan melewati jalan ini seharusnya sudah tidak ada lagi.”
”Baiklah, kalau begitu sekarang kita boleh mulai bertarung.”
Coh Kiam Hong ragu-ragu sebentar, dia memanggil, ”Kakak Sim….”
Sim Cu Yi meraba bagian bawah bajunya, kemudian mengeluarkan sepasang pedang dengan kedua sisinya yang tajam, sinar berkilauan memancar keluar dari pedang itu, seperti matahari dan rembulan, sepasang pedang itu pelan-pelan saling mengeluarkan bunyi yang saling bertaut nyaring dan merdu, ketika kedua logam itu bersentuhan telah memotong perkataan Coh Kiam Hong.
“Tidak usah banyak bicara lagi, mulailah.”
Coh Kiam Hong dengan tersenyum masam, dia menggerakkan tangannya mencabut pedang yang tergantung di sisi tubuhnya, dengan berdiri melawan arah angin dia mengibaskan pedangnya, terlihat berlaksa-laksa berkas sinar surya memancar sambil mengeluarkan suara laksana raungan naga.
Sim Cu Yi berkata, ”Pedang bagus.”
”Kakak terlalu memuji.” sambil mengerak-gerakan pedang, dia mengembangkan seberkas bunga pedang, ketika gerakannya berhenti dia berkata, ”Silahkan.”
”Aku turut perintah, maaf melanggar kesopanan, begitu perkataan selesai tubuhnya bergerak maju, memainkan pedang dengan dua mata yang tajam seperti matahari dan rembulan, sepasang pedangnya telah berubah bentuk menjadi dinding lingkaran cahaya, bergulung-gulung menuju ke tempat berdirinya Coh Kiam Hong.
Coh Kiam Hong pun tidak banyak berkata lagi, menggerakan pedangnya bagai gerakan angin dan awan, segera terjadilah pertarungan yang sengit.
Begitu terjadi pertarungan, mereka sudah tidak menghiraukan keselamatan jiwanya lagi, mengerikan, sinar matahari petang pun seolah-olah ketakutan sehingga menyelinap pergi.
Setelah bertarung seratus jurus, Sim Cu Yi terlihat mulai bergerak lamban, sehingga muncul suatu titik kelemahan.
Melihat titik kelemahan itu Coh Kiam Hong segera langsung mengerakan pedangnya, menusuk ke titik kelemahan tersebut, pedangnya tepat mengarah kedada Sim Cu Yi.
Sim Cu Yi tampak tersenyum pahit berkata, ”Jurus pedang yang bagus,” begitu habis perkataannya tubuhnya sudah doyong kebelakang dan jatuh terlentang di atas tanah.
Coh Kiam Hong yang melihat tubuh Sim Cu Yi sudah terlentang di atas tanah, perasaannya tercekam rasa sedih, dia segera menarik pedangnya, ”Kakak Sim, mulai hari ini budi dan dendan kita sudah selesai, kau boleh pergi dengan tenang.” Tubuhnya segera berputar, melayang meninggalkan persimpangan jalan itu.
Sejenak setelah Coh Kiam Hong meninggalkan tempat itu, mendadak bagaikan terbang muncullah seorang tua yang berambut putih, mendarat didepan tubuh Sim Cu Yi, menghentakkan kakinya dengan berat sambil mengeluh panjang, berkata, ”Sudah terlambat,.. sudah terlambat.”
Dia mengeluh sambil membungkukkan tubuhnya, mengulurkan tangannya meraba denyut nadi Sim Cu Yi, begitu menempelkan tiga jarinya, mendadak dia menarik kembali tangannya, kemudian dia mengeluarkan sebutir pil langsung memasukan kedalam mulut Sim Cu Yi, kedua tangannya mengangkat tubuh Sim Cu Yi dengan tenang pergi melenyapkan dirinya.
0-0-0
Di suatu tempat dalam gunung yang amat jarang didatangi manusia, ada sebuah gubuk kecil, saat ini Sim Cu Yi sedang berbaring dalam gubuk ini. Dia membelalakan sepasang matanya yang bening, sedang melamun sambil memandang atap gubuk.
Memang dia sedang terlolong-lolong tapi mata dan kupingnya tetap cermat, tiba-tiba memutar kepala melihat orang tua yang menolongnya, sedang melangkah masuk ke kamarnya.
Sim Cu Yi memandang orang tua itu. Setelah berpikir sejenak lalu berkata, ”Locianpwe, pasti yang menolong Boanpwe bukan?”
Orang tua itu tersenyum sambil mengangguk lalu berkata, ”Nasibmu baik, dadamu tertusuk pedang, untung tidak mengenai paru-paru dan jantung, kalau tidak aku pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi.”
”Boleh tahu nama Cianpwe siapa?”
”Kau panggil saja lohu, Orang tua Ie sudah cukup.”
”Yi Locianpwe.”
”Siapa namamu?”
”Boanpwe Sim Cu Yi.”
Orang tua Ie menggeleng kepala dan berkata, ”Bukan, kau bukan Sim Cu Yi, tapi lohu tidak mengerti, kenapa kau mau mengaku sebagai Sim Cu Yi? kenapa rela mati menggantikan Sim Cu Yi?”
Diam-diam dahi Sim Cu Yi palsu berkerut karena kaget, dalam hati berpikir, ”Celaka, penyamaranku sia-sia lagi!”
Dia terpikir apa-apa yang telah direncanakannya menjadi sia-sia, sorotan matanya samar-samar menyiratkan nafsu membunuh yang amat menggebu…
Tetapi nafsu membunuh hanya tampak sebentar, tidak lama kemudian dia menarik nafas panjang, setelah dipikir kembali hilanglah hasrat tadi.
Dengan tersenyum Sim Cu Yi berkata, ”Locianpwe rupanya telah banyak tahu, Boanpwe tidak berani membohong, memang Boanpwe bukan Sim Cu Yi.”
”Kalau begitu, siapa namamu?”
“Locianpwe, Boanpwe ini siapa harap jangan bertanya dulu, anggap saja Boanpwe sudah mati di bawah pedang Coh Kiam Hong!”
Dengan ketawa orang tua Ie geleng-geleng kepala berkata, ”Buktinya kau tidak mati, mengapa harus dianggap mati?”
”Tapi Boanpwe tidak bisa memberi tahu, juga tidak berani asal sebut sebuah nama lain untuk membohongi Locianpwe.”
Orang tua Ie berpikir, mungkin dia seperti dirinya yang tidak ingin menyebutkan nama aslinya, setelah mendengar perkataan ini mukanya menjadi merah. Lalu tertawa keras, ”Wah, kau pemuda yang jujur sekali! Tapi kalau memang ada yang kurang enak, lebih baik tidak usah dikatakan!”
Dengan tersenyum Sim Cu Yi berkata, ”Yang sudah berlalu biarlah berlalu, selanjutnya masih banyak kesempatan untuk mengganti nama lain. Mulai sekarang Boanpwe mau mengganti nama menjadi Ho Sim Seng, Boanpwe Ho Sim Seng mengucapkan banyak terima kasih kepada Locianpwe atas pertolongannya. Boanpwe mau permisi dulu.”
Dia turun dari ranjang lalu bersoja memberi hormat dan keluar kamar.
Tapi rupanya luka yang diderita parah sekali, baru saja berjalan dua langkah mukanya sudah terlihat kerut kesakitan, dia menggigit gigi, membusungkan dada keluar kamar.
Orang tua Ie ingin sekali menahan dirinya, tetapi melihat air mukanya yang keras dan mantap akhirnya dia menahan diri.
Melihat dia melangkah dengan sulit meninggalkan gubuknya, orang tua Ie menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tersenyum kecut berkata, ”Orang aneh, benar-benar tidak bisa dimengerti.”
Dia jadi tidak tega membiarkan Ho Sim Seng pergi begitu saja, tidak lama tubuhnya melayang, diam-diam dia ingin mengikutinya, tetapi setelah dia mengejar kemana-mana dia tidak menemukan jejak Ho Sim Seng.
Hanya dalam waktu sekejap orang yang luka parah itu lenyap begitu saja tanpa bekas, meninggalkan sebuah kesan yang mendalam di hati orang tua Ie.
0-0-0
Waktu berlalu dengan cepat, tidak terasa setengah tahun sudah berlalu.
Suatu hari dikaki Oey San muncul seorang pemuda berpakaian rapih sedang berjalan. Setelah berhenti sebentar di bawah air terjun Kiu Liong, dia lalu memutar melewati air terjun ini, sampailah di depan sebuah rumah genting berdinding bata yang tidak terlalu besar.
Didepan rumah ini ada sebuah taman yang cukup luas, tamannya sudah lama tidak terawat dan tumbuh banyak rumput liar.
Pemuda itu adalah Ho Sim Seng, setelah melihat kesekitar tempat itu dia menghela nafas. Lalu berkata, ”Permisi, apakah ada orang di dalam?”
“Siapa itu?” muncul satu suara jawaban yang lemah dari dalam, disusul dengan batuk yang berkepanjangan.
Rasa iba muncul di roman muka Ho Sim Seng, dia menjawab, ”Boanpwe Ho Sim Seng, teman akrab putra anda Sim Cu Yi.”
Jawaban belum habis, suara batuk menjadi berhenti, tiba-tiba berubah menjadi suara yang bersemangat, ”Oh! Silakan masuk, silakan masuk!”
Ho Sim Seng melangkah masuk ke dalam rumah, terlihat seorang Lo popo berambut putih yang tampak sedang sakit keluar dari dalam kamar sambil memegang dinding ruangan.
Ho Sim Seng segera maju kedepan memapah Lo popo sambil berkata, ”Anda tentu Oey Cianpwe. Boanpwe tidak tahu, anda sedang kurang sehat.”
Sim Lo Hujin adalah dari keluarga yang bermarga Oey sehingga Ho Sim Seng memanggilnya Oey Locianpwe.
Ho Sim Seng memapah Sim Lo Hujin duduk lalu dia kembali memberi hormat lagi dan berkata, ”Boanpwe Ho Sim Seng memberi salam hormat pada Locianpwe!”
Wajah suram Sim Lo Hujin menampilkan sebuah senyuman, ”Ho Siauhiap tidak perlu sungkan-sungkan, duduklah. Aku ingin sekali mendapat kabar Cu Yi!”
Setelah mengucapkan terima kasih Ho Sim Seng duduk disamping Sim Lo Hujin sambil berkata, “Kakak Cu Yi sekarang baik-baik saja, dia bernasib baik, baru-baru ini dia mendapatkan sebuah buku rahasia ilmu silat, sekarang sedang giat berlatih, jadi sementara tidak bisa pulang, untuk mengurus Cianpwe, dia hanya mengutus Boanpwe kesini mengirim kabar, harap Locianpwe jangan kuatir…”
Perkataannya berhenti sebentar, dari pinggangnya dia mengambil sepasang pedang matahari dan rembulan yang tajam dua belah sisinya, ditaruhnya pedang itu di atas meja, ”Cu Yi Twako berpesan pada Boanpwe untuk membawa senjata yang selalu dia bawa sebagai bukti, harap Cianpwe menerimanya dengan baik.”
Mata Sim popo berputar, setelah berpikir sejenak dia berkata, ”Anakku menyerahkan sepasang pedangnya pada Ho Siauhiap, tentu mengajarkan juga ilmunya pada Siauhiap?”
Sepasang pedang matahari dan rembulan merupakan senjata yang membuat nama Sim Cu Yi menjadi tersohor. Tidak mungkin dia sembarangan menitipkan senjata itu pada orang lain, masalah ini Lo hujin juga tidak menjadi curiga.
Ho Sim Seng mengerti maksudnya, hal ini jauh-jauh hari sudah terpikir olehnya, kalau tidak untuk apa dia harus repot-repot menyerahkannya?
”Boanpwe bersyukur, kakak Cu Yi menganggap Boanpwe seperti saudaranya, Boanpwe juga sudah bisa memainkan sepasang pedangnya.
Sim Lo Hujin mengangguk, ”Siauhiap, maaf bolehkah aku melihat ilmu sepasang pedang mu.”
Ho Sim Seng lalu berdiri dengan sopan dan berkata, ”Tentu saja boleh, Boanpwe akan coba memainkannya.” Lalu dia mengambil kedua pedang yang terletak diatas meja dan memperagakan di dalam ruangan itu. Dia melakukan jurus pembukaan yang baik dan benar yang tentu saja gerakannya tampak sudah mendapat pengarahan yang cermat.
Sim Lo Hujin tersenyum mengangguk dan berkata, ”Cukup nak, tidak perlu diteruskan lagi!” sekarang panggilannya sudah dirubah.
Ho Sim Seng menyelesaikan jurus-jurusnya lalu menaruh kembali senjatanya dan berkata, ”Baru-baru ini kakak Cu Yi telah menciptakan lagi 3 jurus baru yang ajaib, dia menyuruh Boanpwe mengajarkan lagi pada Cu Sin dan membawa pulang kedua pedang ini agar bisa dipergunakan oleh Cu Sin.”
Bola matanya berputar selanjutnya dia bertanya, ”Kemanakah Cu Sin?” beberapa katanya sudah menjelaskan semua alasan dikembalikannya sepasang pedang matahari dan rembulan.
Kecurigaan dalam hati Sim Lo Hujin sudah hilang sama sekali, dengan suara datar berkata, ”Cu Sin sedang ke vihara Leng Ku berguru pada Chu In Taysu yang menjabat sebagai ketua Leng Ku.”
Dia berhenti sebentar lalu berkata lagi, ”Anak! Kita tidak perlu sungkan-sungkan lagi. Kau jangan panggil Sim Locianpwe lagi padaku, panggil bibi saja.”
Ho Sim Seng segera memanggil, ”Bibi!”
Laron Pengisap Darah
Bab 1.
Nyawa terbang sukma buyar.
Bulan tiga, hujan gerimis membasahi wilayah Kanglam.
Berdiri seorang diri ditengah guguran bunga.
Burung walet melintas ditengah hujan.
Ketika sepasang burung walet terbang melintas diatas dinding pekarangan, Siang Huhoa masih berdiri seorang diri ditengah halaman.
Butiran air hujan telah membasahi pakaiannya, namun dia seolah belum merasa, wajahnya kusam, kesepian.
Pancaran sinar matanya sayu dan kesepian, dia tidak memandang guguran bunga di sekelilingnya, pun tidak mengejar burung walet yang terbang berpasangan, sorot mata itu hanya tertuju keatas sepucuk surat, surat yang berada ditangannya.
Selembar kertas berwarna putih, dengan tulisan berwarna hitam.
Setiap huruf yang tertera nyaris meliuk tidak beraturan, seakan si penulis surat sedang tercekam rasa takut dan ngeri yang luar biasa, demikian takutnya hingga batang pit juga tidak sanggup digenggam kencang.
Mungkin semuanya adalah sebuah kenyataan. Sebab surat itu adalah sepucuk surat permohonan minta tolong.
Laron Penghisap Darah tiap hari mengintai, nyawa kami berada diujung tanduk!!!
Betapapun besarnya nyali Siang Huhoa, tidak urung bergidik juga setelah membaca sampai disitu.
“Laron penghisap darah? Apa itu Laron penghisap darah?”
Berapa saat dia termenung, paras mukanya yang semula kusam karena kesepian, kini telah berubah jadi penuh keragu-raguan, penuh rasa sangsi, setelah buru-buru menyelesaikan pembacaan surat itu, dia segera beranjak dari tempat itu.
Langkah kakinya amat ringan, seringan bunga yang berguguran.
Diujung kebun bunga sebelah depan, berdiri sebuah gardu kecil, dua orang gadis secantik bunga, selembut tangkainya, sedang duduk santai di dalam gardu.
Suara mereka indah, merdu bagaikan kicauan burung nuri, senyum mereka pun cerah, secerah bunga dimusin semi.
Bahkan nama mereka pun mengandung arti yang tidak jauh dari jenis bunga.
Siau-tho mengenakan pakaian serba merah, paras mukanya putih lembut, Siau-sin meski mengenakan pakaian yang sederhana, paras mukanya justru lebih mirip bunga tho ketimbang wajah Siau-tho.
Sebenarnya mereka berdua adalah dua ekor lebah jahat, penyamun wanita yang seringkali malang melintang disepanjang sungai Tiangkang, orang menyebutnya Heng-kang It-ok Li-ong-hong (Seonggok lebah ratu dari sungai besar), tapi sekarang, mereka lebih lembut ketimbang kupu kupu, berdiam dalam perkampungan Ban-hoa-ceng dan selalu melayani kebutuhan Siang Huhoa.
Hal ini bukan lantaran Siang Huhoa pernah selamatkan nyawa mereka, tapi justru karena Siang huhoa adalah idola mereka, Enghiong mereka, kuncu diantara kaum penyamun!
Mereka menyebut diri sebagai budak bunga dari Ban-hoa-ceng (perkampungan selaksa bunga), pelayan Siang Huhoa.
Sementara Siang Huhoa sendiri selalu menganggap mereka sebagai temannya, sahabat karibnya.
Tidak lebih tidak kurang hanya sebagai sahabat. Inilah satu-satunya persoalan yang membuat mereka tidak puas.
Biarpun begitu mereka tetap gembira, asal masih bisa berdiam dalam perkampungan selaksa bunga, mereka tetap gembira, tetap merasa puas.
Aneka bunga selalu mekar di perkampungan Ban-hoa-ceng, mekar di empat musim, begitu pula dengan senyuman diwajah Siang Huhoa, senyum yang riang selalu menghiasi bibirnya sepanjang tahun.
Mereka senang bunga, tapi lebih senang melihat wajah Siang Huhoa yang ramah, dengan senyuman yang memikat hati.
Tentu saja Siang Huhoa tidak selalu tertawa, ada kalanya dia pun tidak tertawa.
Tidak heran kalau saat itu ke dua orang gadis itu dibuat terperanjat setelah melihat Siang Huhoa berjalan mendekat tanpa senyuman dibibir.
Mereka segera sadar, suatu peristiwa yang luar biasa tentu telah terjadi!
Suara canda dan tawanya berhenti seketika, Siau-sin dan Siau-tho serentak melompat bangun dari tempat duduknya.
Siang Huhoa melangkah masuk ke dalam gardu, sambil mengacungkan surat dalam genggamannya, tiba tiba dia bertanya:
“Siapa yang mengirim surat ini kemari?”
“Seorang lelaki setengah umur berdandan kacung, dia mengaku bernama Jui Gi, datang dari Perpustakaan Ki-po-cay” jawab Siau-tho.
Baru saja Siang Huhoa akan mengajukan pertanyaan lagi, Siau-sin yang berada disisinya telah menyela duluan:
“Sebetulnya surat dari siapa itu?”
“Pemilik Perpustakaan Ki-po-cay, Jui Pakhay”
“Apakah dia temanmu?”
“Dulu yaa!” Siang Huhoa menghela napas riangan.
“Dan sekarang?” Siau-sin mendesak lebih jauh.
“Sekarang sudah tidak lagi”
Siau-sin tidak bertanya lebih lanjut, dia cukup tahu manusia macam apakah Siang Huhoa itu, bila Jui Pakhay tidak kelewat memuakkan, tidak kelewat memandang hina dirinya, tidak nanti dia tidak menganggap orang itu sebagai sahabatnya.
“Ada urusan apa dia menulis surat kepadamu?” tanya Siau-tho sesaat kemudian.
“Suruh aku pergi menolong jiwanya”
“Suruh atau minta?”
“Suruh!”
“Memangnya Jui Pakhay belum tahu kalau kau sudah tidak menganggap dia sebagai sahabatmu lagi?”
“Dia sudah tahu”
“Kalau memangnya sudah tahu, kenapa masih berkirim surat?” tanya Siau-tho keheranan.
“Sebab ketika masih menjadi sahabatku dulu, dia pernah menolongku satu kali, biarpun aku belum tentu akan mati meski tidak peroleh bantuannya, bagaimanapun aku tetap telah menerima bantuannya, sudah berhutang budi kepadanya”
Setelah berhenti sejenak untuk menukar napas, lanjutnya:
“Dia tahu dan yakin, aku bukan orang yang lupa budi, membalas air susu dengan air tuba!”
“Ooh, jadi dia minta balas jasa budi mu?”
“Setahuku, dia bukan manusia semacam ini, bisa jadi peristiwa yang dialaminya kali ini kelewat horor, kelewat menggidikkan hati, terjadi sangat mendadak sehingga membuat hati dan pikirannya kalut, oleh karena tidak yakin bisa menghadapi ancaman tersebut hingga terpaksa dia datang minta bantuanku”
“Kesulitan macam apa yang dia hadapi sebenarnya?”
Pelan-pelan Siang Huhoa mengalihkan sorot matanya keatas surat yang berada dalam genggamannya, dia bertanya:
“Apakah kalian pernah mendengar sesuatu benda yang disebut Laron penghisap darah?”
“Laron penghisap darah?” sambil miringkan kepalanya Siau-tho berpikir sejenak, ketika tidak peroleh jawaban, dia berpaling ke arah Siau-sin.
Siau-sin sendiri pun balas memandangnya dengan mata terbelalak lebar, tampaknya dia pun tak tahu.
“Apakah kalian sama sekali tidak punya gambaran?” tanya Siang Huhoa kemudian setelah melihat tingkah laku ke dua orang gadis itu.
“Sebetulnya benda apakah itu?”
“Aku sendiripun kurang begitu jelas” sahut Siang Huhoa.
Setelah berpikir sejenak, kembali dia melanjutkan:
“Bila kita telaah tulisan dalam surat itu, semestinya yang dia maksud adalah seekor Laron penghisap darah”
Tiba-tiba Siau-tho mendongakkan kepalanya memandang sebuah belandar berukir yang ada diatas gardu kecil itu.
Seekor kupu-kupu sedang hinggap diatas tiang belandar berukir itu.
Seekor kupu-kupu dengan tujuh warna warni, walaupun bukan berada dibawah cahaya sang surya, namun keindahannya amat menawan hati.
Sebetulnya bukan belandar berukir yang diamati Siau-tho, dia sedang mengawasi kupu kupu yang hinggap disitu:
“Menurut pandanganku, Laron tidak beda jauh dengan kupu-kupu.......”
“Dipandang sepintas dari bentuk tubuhnya memang agak mirip” tukas Siang Huhoa cepat, “padahal beda didalam banyak hal, kupu kupu akan hinggap didahan jika malam tiba, sementara Laron akan muncul diwaktu malam, ketika hinggap, sepasang sayap kupu-kupu berdiri tegak dibelakang punggungnya, sedang sayap Laron terpentang di kiri kanan”
Ternyata bukan saja dia memiliki pengetahuan yang luas mengenai bunga-bungaan, pengetahuannya dalam hal serangga pun amat mengagumkan.
“Paling tidak dalam satu hal ada kesamaan” kata Siau-tho.
“Hal yang mana?” tanya Siau-sin tidak tahan.
“Serangga-serangga itu tidak suka darah, terlebih menghisap darah”
“Itulah sebabnya aku merasa kejadian ini sangat aneh” Siang Huhoa menerangkan.
Siau-sin dan Siau-tho tertegun, untuk sesaat mereka hanya bisa berdiri termangu.
Kembali Siang Huhoa merentangkan suratnya seraya berkata:
“Jui Pakhay sengaja berkirim surat kepadaku karena si Laron penghisap darah itu mengintainya setiap hari, siang maupun malam, keselamatan jiwanya sudah berada diujung tanduk”
Sekali lagi Siau-sin dan Siau-tho tertegun.
“Benarkah ada kejadian seperti ini?” seru Siau-tho tanpa terasa.
“Bila kita tinjau dari isi surat ini, rasanya memang benar-benar telah terjadi peristiwa semacam ini”
“Jangan-jangan nama tersebut hanya julukan seseorang?” tiba tiba Siau-sin menyela.
“Rasanya sih bukan”
“Tapi anehnya, kenapa Laron penghisap darah itu mencari gara gara dengannya?” kembali Siau-tho bertanya.
Tiba-tiba Siang Huhoa bergidik, bulu kuduknya pada bangun berdiri, setelah bersin berulang kali dengan nada suara yang berubah sangat aneh jawabnya:
“Karena bininya adalah jelmaan Laron penghisap darah, seorang siluman Laron!”
Bukan merasa takut atau ngeri, Siau-sin dan Siau-tho malah tertawa tergelak.
“Aaah, masa kaupun percaya kalau di dunia ini terdapat setan iblis atau siluman?” ejek Siau-tho sambil tertawa.
“Aku bicara demikian lantaran isi surat berbicara begitu” kata Siang Huhoa cepat, kemudian dia sodorkan surat itu ke tangan mereka.
Serentak Siau-sin dan Siau-tho menerima sodoran surat tersebut, tapi begitu selesai membaca isi surat itu, senyuman mereka seketika hilang lenyap tidak berbekas.
“Jangan jangan otak Jui Pakhay kurang waras atau tidak beres?” gumam Siau-tho dengan wajah hijau membesi.
“Paling tidak pada tiga tahun berselang dia masih waras, kalau sekarang mah aku kurang tahu”
“Berarti sudah tiga tahun kau tidak pernah bersua dengannya?”
“Yaa, tiga tahun lamanya” Siang Huhoa membenarkan sambil menghela napas panjang, pelan-pelan dia alihkan sorotnya ke angkasa.
“Apakah tiga tahun berselang dia sudah berbini?” kembali Siau-tho bertanya.
Siang Huhoa menggeleng.
“Maksudmu kau belum pernah berjumpa dengan bininya?” Siau-tho bertanya lagi.
“Benar, sampai sekarang aku belum pernah bertemu muka” Siang Huhoa mengangguk, “tapi tidak lama kemudian kami akan segera berjumpa”
“Berarti kau sudah putuskan untuk berangkat ke sana?” Siau-tho nampak agak terperanjat.
“Benar, apa pun yang terjadi, aku tetap harus berangkat”
“Kau tidak kuatir bininya benar benar adalah siluman Laron?” Siau-tho mulai cemberut tidak puas.
“Hingga detik ini aku belum merasa perlu untuk takut”
“Oya?”
“Karena hingga saat ini, seekor Laron penghisap darah juga belum pernah kujumpai”
“Tidak ada salahnya kita ikut meramaikan suasana, toh sudah agak lama kita tidak pernah berjalan-jalan” timbrung Siau-sin sambil tertawa.
Siang Huhoa tersenyum.
“Tapi sayang, kali ini hanya aku seorang saja yang akan berangkat ke sana”
“Aah.....” Siau-sin mendesis lirih lalu terbungkam seketika.
Siau-tho ikut jadi lemas dan tidak bersemangat lagi.
Mereka tahu apa yang telah diputuskan Siang Huhoa, tidak nanti ada seorangpun yang dapat merubahnya.
“Persoalan ini adalah urusan pribadiku, aku tidak ingin kalian ikut campur di dalam masalah ini” sambung Siang Huhoa lagi sambil tertawa.
Siau-sin dan Siau-tho tetap terbungkam tanpa bersuara.
“Apakah Jui Gie si penghantar surat itu sudah berlalu?” kembali Siang Huhoa bertanya setelah hening sesaat.
“Aku menyuruh dia menunggu jawabanmu di serambi samping” jawab Siau-tho.
Ternyata orang itu masih menunggu di serambi samping. Rupanya Jui Gie kenal dengan Siang Huhoa , begitu melihat orang itu muncul di dalam serambi, dia segera bangkit berdiri.
“Ternyata memang benar kau” sapa Siang Huhoa dengan mata mendelik.
“Tidak nyana Siang-ya masih kenal dengan hamba” ujar Jui Gie sambil soja.
“Sewaktu mengabdi kepada Jui Pakhay, rasanya usiamu sudah tidak terlalu muda lagi?”
“Turun temurun hamba selalu mengabdi kepada keluarga Jui”
“Ooh....” Siang Huhoa kembali manggut-manggut, kemudian dia mengalihkan pembicaraan dan bertanya lagi, “sebenarnya apa yang telah terjadi di perkampunganmu?”
“Selama berapa hari beruntun majikan selalu di teror Laron penghisap darah, mengerikan sekali.............” jawaban Jui Gie tergagap seperti orang yang amat ketakutan.
Ternyata benar-benar ada Laron penghisap darah !!
Siang Huhoa agak tertegun, desaknya kemudian:
“Jadi kaupun sudah pernah bertemu dengan Laron penghisap darah?”
“Belum, belum pernah” Jui Gie menggeleng.
“Bagaimana dengan penghuni yang lain?”
“Setahuku, mereka pun tidak pernah melihat”
“Berarti hanya Jui Pakhay seorang yang pernah melihat makhluk itu?”
Jui gie tertawa getir:
Nyawa terbang sukma buyar.
Bulan tiga, hujan gerimis membasahi wilayah Kanglam.
Berdiri seorang diri ditengah guguran bunga.
Burung walet melintas ditengah hujan.
Ketika sepasang burung walet terbang melintas diatas dinding pekarangan, Siang Huhoa masih berdiri seorang diri ditengah halaman.
Butiran air hujan telah membasahi pakaiannya, namun dia seolah belum merasa, wajahnya kusam, kesepian.
Pancaran sinar matanya sayu dan kesepian, dia tidak memandang guguran bunga di sekelilingnya, pun tidak mengejar burung walet yang terbang berpasangan, sorot mata itu hanya tertuju keatas sepucuk surat, surat yang berada ditangannya.
Selembar kertas berwarna putih, dengan tulisan berwarna hitam.
Setiap huruf yang tertera nyaris meliuk tidak beraturan, seakan si penulis surat sedang tercekam rasa takut dan ngeri yang luar biasa, demikian takutnya hingga batang pit juga tidak sanggup digenggam kencang.
Mungkin semuanya adalah sebuah kenyataan. Sebab surat itu adalah sepucuk surat permohonan minta tolong.
Laron Penghisap Darah tiap hari mengintai, nyawa kami berada diujung tanduk!!!
Betapapun besarnya nyali Siang Huhoa, tidak urung bergidik juga setelah membaca sampai disitu.
“Laron penghisap darah? Apa itu Laron penghisap darah?”
Berapa saat dia termenung, paras mukanya yang semula kusam karena kesepian, kini telah berubah jadi penuh keragu-raguan, penuh rasa sangsi, setelah buru-buru menyelesaikan pembacaan surat itu, dia segera beranjak dari tempat itu.
Langkah kakinya amat ringan, seringan bunga yang berguguran.
Diujung kebun bunga sebelah depan, berdiri sebuah gardu kecil, dua orang gadis secantik bunga, selembut tangkainya, sedang duduk santai di dalam gardu.
Suara mereka indah, merdu bagaikan kicauan burung nuri, senyum mereka pun cerah, secerah bunga dimusin semi.
Bahkan nama mereka pun mengandung arti yang tidak jauh dari jenis bunga.
Siau-tho mengenakan pakaian serba merah, paras mukanya putih lembut, Siau-sin meski mengenakan pakaian yang sederhana, paras mukanya justru lebih mirip bunga tho ketimbang wajah Siau-tho.
Sebenarnya mereka berdua adalah dua ekor lebah jahat, penyamun wanita yang seringkali malang melintang disepanjang sungai Tiangkang, orang menyebutnya Heng-kang It-ok Li-ong-hong (Seonggok lebah ratu dari sungai besar), tapi sekarang, mereka lebih lembut ketimbang kupu kupu, berdiam dalam perkampungan Ban-hoa-ceng dan selalu melayani kebutuhan Siang Huhoa.
Hal ini bukan lantaran Siang Huhoa pernah selamatkan nyawa mereka, tapi justru karena Siang huhoa adalah idola mereka, Enghiong mereka, kuncu diantara kaum penyamun!
Mereka menyebut diri sebagai budak bunga dari Ban-hoa-ceng (perkampungan selaksa bunga), pelayan Siang Huhoa.
Sementara Siang Huhoa sendiri selalu menganggap mereka sebagai temannya, sahabat karibnya.
Tidak lebih tidak kurang hanya sebagai sahabat. Inilah satu-satunya persoalan yang membuat mereka tidak puas.
Biarpun begitu mereka tetap gembira, asal masih bisa berdiam dalam perkampungan selaksa bunga, mereka tetap gembira, tetap merasa puas.
Aneka bunga selalu mekar di perkampungan Ban-hoa-ceng, mekar di empat musim, begitu pula dengan senyuman diwajah Siang Huhoa, senyum yang riang selalu menghiasi bibirnya sepanjang tahun.
Mereka senang bunga, tapi lebih senang melihat wajah Siang Huhoa yang ramah, dengan senyuman yang memikat hati.
Tentu saja Siang Huhoa tidak selalu tertawa, ada kalanya dia pun tidak tertawa.
Tidak heran kalau saat itu ke dua orang gadis itu dibuat terperanjat setelah melihat Siang Huhoa berjalan mendekat tanpa senyuman dibibir.
Mereka segera sadar, suatu peristiwa yang luar biasa tentu telah terjadi!
Suara canda dan tawanya berhenti seketika, Siau-sin dan Siau-tho serentak melompat bangun dari tempat duduknya.
Siang Huhoa melangkah masuk ke dalam gardu, sambil mengacungkan surat dalam genggamannya, tiba tiba dia bertanya:
“Siapa yang mengirim surat ini kemari?”
“Seorang lelaki setengah umur berdandan kacung, dia mengaku bernama Jui Gi, datang dari Perpustakaan Ki-po-cay” jawab Siau-tho.
Baru saja Siang Huhoa akan mengajukan pertanyaan lagi, Siau-sin yang berada disisinya telah menyela duluan:
“Sebetulnya surat dari siapa itu?”
“Pemilik Perpustakaan Ki-po-cay, Jui Pakhay”
“Apakah dia temanmu?”
“Dulu yaa!” Siang Huhoa menghela napas riangan.
“Dan sekarang?” Siau-sin mendesak lebih jauh.
“Sekarang sudah tidak lagi”
Siau-sin tidak bertanya lebih lanjut, dia cukup tahu manusia macam apakah Siang Huhoa itu, bila Jui Pakhay tidak kelewat memuakkan, tidak kelewat memandang hina dirinya, tidak nanti dia tidak menganggap orang itu sebagai sahabatnya.
“Ada urusan apa dia menulis surat kepadamu?” tanya Siau-tho sesaat kemudian.
“Suruh aku pergi menolong jiwanya”
“Suruh atau minta?”
“Suruh!”
“Memangnya Jui Pakhay belum tahu kalau kau sudah tidak menganggap dia sebagai sahabatmu lagi?”
“Dia sudah tahu”
“Kalau memangnya sudah tahu, kenapa masih berkirim surat?” tanya Siau-tho keheranan.
“Sebab ketika masih menjadi sahabatku dulu, dia pernah menolongku satu kali, biarpun aku belum tentu akan mati meski tidak peroleh bantuannya, bagaimanapun aku tetap telah menerima bantuannya, sudah berhutang budi kepadanya”
Setelah berhenti sejenak untuk menukar napas, lanjutnya:
“Dia tahu dan yakin, aku bukan orang yang lupa budi, membalas air susu dengan air tuba!”
“Ooh, jadi dia minta balas jasa budi mu?”
“Setahuku, dia bukan manusia semacam ini, bisa jadi peristiwa yang dialaminya kali ini kelewat horor, kelewat menggidikkan hati, terjadi sangat mendadak sehingga membuat hati dan pikirannya kalut, oleh karena tidak yakin bisa menghadapi ancaman tersebut hingga terpaksa dia datang minta bantuanku”
“Kesulitan macam apa yang dia hadapi sebenarnya?”
Pelan-pelan Siang Huhoa mengalihkan sorot matanya keatas surat yang berada dalam genggamannya, dia bertanya:
“Apakah kalian pernah mendengar sesuatu benda yang disebut Laron penghisap darah?”
“Laron penghisap darah?” sambil miringkan kepalanya Siau-tho berpikir sejenak, ketika tidak peroleh jawaban, dia berpaling ke arah Siau-sin.
Siau-sin sendiri pun balas memandangnya dengan mata terbelalak lebar, tampaknya dia pun tak tahu.
“Apakah kalian sama sekali tidak punya gambaran?” tanya Siang Huhoa kemudian setelah melihat tingkah laku ke dua orang gadis itu.
“Sebetulnya benda apakah itu?”
“Aku sendiripun kurang begitu jelas” sahut Siang Huhoa.
Setelah berpikir sejenak, kembali dia melanjutkan:
“Bila kita telaah tulisan dalam surat itu, semestinya yang dia maksud adalah seekor Laron penghisap darah”
Tiba-tiba Siau-tho mendongakkan kepalanya memandang sebuah belandar berukir yang ada diatas gardu kecil itu.
Seekor kupu-kupu sedang hinggap diatas tiang belandar berukir itu.
Seekor kupu-kupu dengan tujuh warna warni, walaupun bukan berada dibawah cahaya sang surya, namun keindahannya amat menawan hati.
Sebetulnya bukan belandar berukir yang diamati Siau-tho, dia sedang mengawasi kupu kupu yang hinggap disitu:
“Menurut pandanganku, Laron tidak beda jauh dengan kupu-kupu.......”
“Dipandang sepintas dari bentuk tubuhnya memang agak mirip” tukas Siang Huhoa cepat, “padahal beda didalam banyak hal, kupu kupu akan hinggap didahan jika malam tiba, sementara Laron akan muncul diwaktu malam, ketika hinggap, sepasang sayap kupu-kupu berdiri tegak dibelakang punggungnya, sedang sayap Laron terpentang di kiri kanan”
Ternyata bukan saja dia memiliki pengetahuan yang luas mengenai bunga-bungaan, pengetahuannya dalam hal serangga pun amat mengagumkan.
“Paling tidak dalam satu hal ada kesamaan” kata Siau-tho.
“Hal yang mana?” tanya Siau-sin tidak tahan.
“Serangga-serangga itu tidak suka darah, terlebih menghisap darah”
“Itulah sebabnya aku merasa kejadian ini sangat aneh” Siang Huhoa menerangkan.
Siau-sin dan Siau-tho tertegun, untuk sesaat mereka hanya bisa berdiri termangu.
Kembali Siang Huhoa merentangkan suratnya seraya berkata:
“Jui Pakhay sengaja berkirim surat kepadaku karena si Laron penghisap darah itu mengintainya setiap hari, siang maupun malam, keselamatan jiwanya sudah berada diujung tanduk”
Sekali lagi Siau-sin dan Siau-tho tertegun.
“Benarkah ada kejadian seperti ini?” seru Siau-tho tanpa terasa.
“Bila kita tinjau dari isi surat ini, rasanya memang benar-benar telah terjadi peristiwa semacam ini”
“Jangan-jangan nama tersebut hanya julukan seseorang?” tiba tiba Siau-sin menyela.
“Rasanya sih bukan”
“Tapi anehnya, kenapa Laron penghisap darah itu mencari gara gara dengannya?” kembali Siau-tho bertanya.
Tiba-tiba Siang Huhoa bergidik, bulu kuduknya pada bangun berdiri, setelah bersin berulang kali dengan nada suara yang berubah sangat aneh jawabnya:
“Karena bininya adalah jelmaan Laron penghisap darah, seorang siluman Laron!”
Bukan merasa takut atau ngeri, Siau-sin dan Siau-tho malah tertawa tergelak.
“Aaah, masa kaupun percaya kalau di dunia ini terdapat setan iblis atau siluman?” ejek Siau-tho sambil tertawa.
“Aku bicara demikian lantaran isi surat berbicara begitu” kata Siang Huhoa cepat, kemudian dia sodorkan surat itu ke tangan mereka.
Serentak Siau-sin dan Siau-tho menerima sodoran surat tersebut, tapi begitu selesai membaca isi surat itu, senyuman mereka seketika hilang lenyap tidak berbekas.
“Jangan jangan otak Jui Pakhay kurang waras atau tidak beres?” gumam Siau-tho dengan wajah hijau membesi.
“Paling tidak pada tiga tahun berselang dia masih waras, kalau sekarang mah aku kurang tahu”
“Berarti sudah tiga tahun kau tidak pernah bersua dengannya?”
“Yaa, tiga tahun lamanya” Siang Huhoa membenarkan sambil menghela napas panjang, pelan-pelan dia alihkan sorotnya ke angkasa.
“Apakah tiga tahun berselang dia sudah berbini?” kembali Siau-tho bertanya.
Siang Huhoa menggeleng.
“Maksudmu kau belum pernah berjumpa dengan bininya?” Siau-tho bertanya lagi.
“Benar, sampai sekarang aku belum pernah bertemu muka” Siang Huhoa mengangguk, “tapi tidak lama kemudian kami akan segera berjumpa”
“Berarti kau sudah putuskan untuk berangkat ke sana?” Siau-tho nampak agak terperanjat.
“Benar, apa pun yang terjadi, aku tetap harus berangkat”
“Kau tidak kuatir bininya benar benar adalah siluman Laron?” Siau-tho mulai cemberut tidak puas.
“Hingga detik ini aku belum merasa perlu untuk takut”
“Oya?”
“Karena hingga saat ini, seekor Laron penghisap darah juga belum pernah kujumpai”
“Tidak ada salahnya kita ikut meramaikan suasana, toh sudah agak lama kita tidak pernah berjalan-jalan” timbrung Siau-sin sambil tertawa.
Siang Huhoa tersenyum.
“Tapi sayang, kali ini hanya aku seorang saja yang akan berangkat ke sana”
“Aah.....” Siau-sin mendesis lirih lalu terbungkam seketika.
Siau-tho ikut jadi lemas dan tidak bersemangat lagi.
Mereka tahu apa yang telah diputuskan Siang Huhoa, tidak nanti ada seorangpun yang dapat merubahnya.
“Persoalan ini adalah urusan pribadiku, aku tidak ingin kalian ikut campur di dalam masalah ini” sambung Siang Huhoa lagi sambil tertawa.
Siau-sin dan Siau-tho tetap terbungkam tanpa bersuara.
“Apakah Jui Gie si penghantar surat itu sudah berlalu?” kembali Siang Huhoa bertanya setelah hening sesaat.
“Aku menyuruh dia menunggu jawabanmu di serambi samping” jawab Siau-tho.
Ternyata orang itu masih menunggu di serambi samping. Rupanya Jui Gie kenal dengan Siang Huhoa , begitu melihat orang itu muncul di dalam serambi, dia segera bangkit berdiri.
“Ternyata memang benar kau” sapa Siang Huhoa dengan mata mendelik.
“Tidak nyana Siang-ya masih kenal dengan hamba” ujar Jui Gie sambil soja.
“Sewaktu mengabdi kepada Jui Pakhay, rasanya usiamu sudah tidak terlalu muda lagi?”
“Turun temurun hamba selalu mengabdi kepada keluarga Jui”
“Ooh....” Siang Huhoa kembali manggut-manggut, kemudian dia mengalihkan pembicaraan dan bertanya lagi, “sebenarnya apa yang telah terjadi di perkampunganmu?”
“Selama berapa hari beruntun majikan selalu di teror Laron penghisap darah, mengerikan sekali.............” jawaban Jui Gie tergagap seperti orang yang amat ketakutan.
Ternyata benar-benar ada Laron penghisap darah !!
Siang Huhoa agak tertegun, desaknya kemudian:
“Jadi kaupun sudah pernah bertemu dengan Laron penghisap darah?”
“Belum, belum pernah” Jui Gie menggeleng.
“Bagaimana dengan penghuni yang lain?”
“Setahuku, mereka pun tidak pernah melihat”
“Berarti hanya Jui Pakhay seorang yang pernah melihat makhluk itu?”
Jui gie tertawa getir:
Wisma Pedang
Di sini adalah sebuah pekarangan yang sangat luas.
Langit mulai terlihat gelap, karena hari memang sudah sore.
Wisma itu adalah sebuah wisma tua, di sana sini banyak kayu-kayu penyangga rumah yang patah dan gentingnya juga sudah banyak yang pecah. Sebagian malah sudah terbakar menjadi abu, tapi yang utuhpun masih ada.
Dahulu wisma ini pernah berjaya dan juga terkenal, sekarang di bawah sinar matahari terbenam, wisma itu terlihat sepi dan merana.
Di dalam wisma itu ada sebuah ruangan yang sudah ambruk dan hancur, ruang tamu di wisma itu begitu luas. Di bagian atas rumah masih terpasang papan nama. Dulu papan itu dicat dengan warna terang benderang. Tapi sekarang papan itu terlihat sudah usang, malah sudah terbelah menjadi dua bagian. Sudah tertutup oleh debu dan sarang laba-laba. Tapi dari papan itu masih bisa terbaca sebuah tulisan kaligrafi yang indah dengan tulisan ’Shi Jian’. Tulisan itu terdapat di bagian papan yang terjatuh dan tertutup oleh debu, sedangkan di bagian papan yang lain tertulis ’Tian Xia’ (dikolong langit).
’Shi Jian Tian Xia’ memiliki makna tinggi dan juga berkesan sombong, dan begitu berjaya. Ditambah lagi dengan tulisan kaligrafi yang ditulis dengan sangat bagus dan bertenaga. Mungkin dulu para tamu dunia persilatan pada saat melihat papan itu tergantung tinggi, hati mereka akan tergetar! Tapi sekarang keempat huruf itu terbagi menjadi dua yang tampaknya terbelah dengan pukulan.
Selama 300 tahun ini, kalangan persilatan yang berani menggunakan kata ’Shi Jian Tian Xia’, kecuali Shi Jian Shan Zhuang (Wisma Pedang), tidak ada yang lainnya.
0-0-0
Di depan wisma itu ada sebuah batu besar, dan tampak ada dua orang yang sedang duduk di sana.
Dua orang itu berwajah biasa tapi terlihat penuh dengan kekhawatiran. Mereka adalah dua orang anak muda yang sama sekali tidak peduli dengan keadaan dunia ini.
Kedua tubuh anak muda itu dipenuhi dengan rumput kering, tanah, dan serbuk kayu. Sepertinya mereka sudah berguling-guling di rerumputan, sepertinya juga pernah tidur di tempat yang penuh dengan tanah, dan juga sepertinya pernah bergulat di tempat yang penuh dengan serbuk gergaji.
Pemuda yang satu berperawakan tinggi dan hitam, wajahnya masih terlihat lugu, tapi juga terlihat kalau dia seorang pemberani, bisa bertahan menghadapi semua masalah hidup, tapi matanya terlihat lesu.
Sedangkan yang satu lagi penampilannya seperti seorang pelajar, hidungnya mancung, bibirnya tipis, sepertinya dia bersifat keras. Dia seperti seorang pak tua yang sudah kelelahan.
Mereka berdua duduk saling berdampingan. Mereka tidak saling pandang, dan juga tidak memperhatikan keadaan temannya. Mereka seperti tidak pernah hidup di dunia ini. Sepertinya apa yang terjadi di dunia ini tidak ada hubungannya dengan mereka.
0-0-0
Mereka tampak sedang menunggu datangnya sore.
Tapi sebelum matahari terbenam, terdengar ada derap langkah kuda berlari ke arah mereka.
Dari suara derap langkah kuda itu, sepertinya kuda itu tidak berlari dengan cepat juga tidak lambat, seperti irama musik keras, tapi bercampur dengan irama lembut, irama ini begitu menggetarkan perasaan setiap orang yang mendengarnya.
Kedua orang itu mengangkat kepala untuk melihat, terlihat di Xi Shan di bawah sinar matahari yang akan tenggelam, seperti sudah dipoles dengan warna merah darah.
Pemuda pertama berkata, ”Hari masih sore tapi sudah ada yang datang.”
Pemuda kedua menggelengkan kepalanya, ”Sepertinya itu bukan mereka.”
Suara kuda terdengar sudah berada di depan wisma, langkah kuda mulai melambat, kaki kuda itu berbulu putih bersih dan terlihat sehat. Masih ada beberapa ekor kupu-kupu yang terbang di dekat kaki kuda.
Kemudian terlihat seseorang berbaju dan bersepatu putih turun dari kuda, daun yang tertiup angin melewati baju putihnya, terbang beberapa saat kemudian terjatuh lagi, tapi hal itu sama sekali tidak menganggunya.
Kedua pemuda itu saling pandang, kemudian mereka menundukkan kepala lagi. Sepertinya mereka tidak mau tahu apa yang terjadi di sekitar sana, tampak mereka sedang terkantuk-kantuk.
Orang itu turun dari kudanya, kemudian melihat sebentar ke atas, langit yang mulai gelap, dengan ramah dia bertanya, ”Apakah tempat ini adalah Shi Jian Shan Zhuang yang dulu sangat terkenal?”
Kedua pemuda itu tidak bergerak, sepertinya mereka tidak mendengar ucapan orang itu.
Orang itu tidak marah, dengan ramah dia bertanya lagi.
Kedua pemuda itu mengangkat kepala dan saling pandang, tapi mereka tetap tidak menjawab.
Orang itu tampak tersenyum, mengulangi kembali pertanyaannya, dia sudah bertanya 3 kali berturut-turut.
Akhirnya pemuda yang tinggi dan besar itu menunjuk ke arah papan nama dan berkata, ”Apakah kau tidak bisa melihatnya sendiri?”
Orang itu melihat sebentar ke arah yang ditunjuk, tiba-tiba dia tertawa dan berkata, ”Siapakah nama dan marga kalian?”
Pemuda yang bersikap agak dingin itu berkata, ”Lebih baik kau pergi dari sini, kalau tidak kau akan terbunuh di sini.”
Tanya orang itu, ”Apakah disini akan terjadi sesuatu?”
Pemuda tinggi besar itu marah, ”Mengapa kau begitu cerewet?”
Pemuda yang tampak dingin itu malah tertawa dingin, ”Apa yang akan terjadi di sini, kalau kau tahu apa yang akan terjadi di sini kau akan terkejut hingga terkencing-kencing, lalu lari terbirit-birit dari sini!”
Orang itu tertawa, ”Kalau begitu ceritakanlah, mungkin kenyataannya tidak begitu menakutkan seperti yang kau kira!”
Pemuda yang tampak agak dingin itu kembali tertawa dingin, ”He! He! He!”
Pemuda tinggi besar itu berkata, ”Hayo, cepat pergi!”
Orang itu tampak berpikir sebentar, dia membalikkan tubuh dan berjalan ke arah kudanya yang putih, dan berkata, ”Oh ternyata kalian tidak berani memberitahuku karena orang yang akan datang itu sangat lihai.”
Pemuda yang terlihat dingin itu segera berdiri dan membentak, ”Kau bilang apa! berdiri di tempatmu!”
Pemuda tinggi besar itu berkata, ”Apa? Siapa yang bilang kami tidak berani mengatakannya! Baiklah, kalau begitu akan kuberitahu---di Jiang Nan, di kalangan persilatan golongan putih dan hitam, orang mempunyai kekuatan besar dan namanya terkenal, dan paling sulit dihadapi, adalah siapa? Apakah kau mengetahuinya?”
Orang itu tertawa, ”Kalau sampai Qian Shou Wang (Raja bertangan seribu) Zuo Qian Zhen saja tidak tahu, aku tidak akan bisa bertahan hidup di dunia persilatan!”
Pemuda yang terlihat dingin itu berkata, ”Tidak disangka, kau juga tahu hal ini, kalau begitu kau pasti tahu juga Zuo Shou Zhen yang tidak terkalahkan di dunia ini, ilmu silatnya berada di atas semua pendekar, apa kau tahu apa alasannya?”
Orang itu tampak berpikir sebentar dan menjawab, ”Karena dia mempunyai seorang istri yang baik dan dua orang murid yang sangat membantunya.”
Pemuda tinggi besar itu tertawa dingin dan berkata, ”Masih ada lagi, dia masih mempunyai 9 orang pembantu yang paling sulit diajak bicara!”
Orang itu bertanya, ”Maksudmu, Jiu Da Gui (9 setan besar)?”
Pemuda dingin itu berkata, ”Benar, sebentar lagi yang akan datang adalah salah satu dari Jiu Da Gui yang bernama Yi Dao Zhan Qian Jun (sebilah golok memenggal, seribu prajutir), Sun Tu.”
Pemuda tinggi itu berkata lagi, ”Masih ada lagi, seorang anak buah Sun Tu yaitu Si Da Dao Mo (4 orang besar golok siluman), apakah kau tahu asal usul Si Da Dao Mo?”
Orang itu tertawa, ”Mereka? Qi Qing Feng adalah keturunan dari Qi Men Jin Dao, dia adalah pengkhianat perkumpulannya. Li Xue Hua berasal dari Xue Men Pai, murid perempuan dari Nian Dou Men, dia adalah seorang perempuan jalang. Mu Lang Shan adalah keturunan dari Lang Hua Dao Fa, dia mendapatkan ilmu silat secara langsung dari Cang Lang Lao Ren, tapi dalam hal membunuh dia senang membakar perempuan, lengkaplah semua kejahatannya. Tang Shan Jue adalah wakil ketua Di Tang Dao Fa, ilmu goloknya sangat lihai, katanya Qi Qing Feng, Li Xue Hua, Mu Lang Shan, dan Tang Shan Jue, keempat orang ini sudah berada di bawah kekuasaan Tu Tian Mo, mereka sangat kejam, semua kejahatan sepertinya sudah pernah mereka lakukan.”
Pemuda tinggi itu dengan pandangan aneh berkata, ”Ternyata kau tahu sangat banyak.”
Pemuda dingin itupun berkata, ”Berani bicara seperti itu, berarti kau termasuk orang yang lumayan pemberani.”
Orang itu tertawa, ”Kalau di dunia persilatan tidak ada yang berani marah, semua pahlawan dan pendekar akan menjadi kura-kura yang cuma bisa tinggal di dalam batoknya. Apakah di dunia persilatan ini bisa masih ada keadilan?”
Pemuda tinggi besar itu terpaku, ”Kau begitu berani, tapi kau tetap bukan lawan Sun Tu dan Si Da Dao Mo, lebih baik kau segera pergi dari sini!”
Orang itu bertanya, ”Tapi..mengapa kalian masih berada di sini?”
Wajah pemuda tinggi besar itu berekspresi yang sulit dimengerti, dia duduk kembali sambil menatap langit yang semakin gelap dan berkata, ”Kami? Kami hanya tinggal menunggu kematian di sini.”
Tanya orang itu, ”Apakah kau sedang menunggu Sun Tu yang membawa orang-orangnya, lalu menunggu mereka membunuhmu?”
Pemuda tinggi itu menjawab, ”Tiga tahun lalu, di Pin Jiang pada sebuah pertandingan silat, aku melihat dia menyerang orang yang sudah terluka dan dia ingin membunuh orang itu tanpa alasan sedikitpun, sudah tentu ini melanggar aturan dunia persilatan. Karena itu aku segera naik ke atas panggung untuk menolong.” dia tertawa dingin, lalu melanjutkan ceritanya, ”Tidak ada seorang juga yang mau membantuku membawa orang yang sedang terluka itu ke rumah panitia, aku sendiri yang bertarung melawan Sun Tu, kemudian Sun Tu dibantu oleh Si Da Dao Mo, mereka memukulku hingga aku terluka parah. Semua pendekar yang melihatnya, tapi tidak ada seorangpun yang berani tampil untuk membantuku, malah ada yang menghalangiku melarikan diri..akhirnya aku bisa melarikan diri. Aku juga tahu ternyata panitia malah sudah membunuh orang yang terluka itu dengan tujuan menjilat Sun Tu.” Tangannya terkepal dengan erat dan urat-urat hijaunya bertonjolan.
Orang itu terdiam sebentar. Dia membalikkan kepalanya melihat pemuda dingin yang sedang berdiri dengan tegak. Dia sedang menatap langit dan orang itupun bertanya, ”Bagaimana dengan dirimu?”
Pemuda dingin itu tertawa dingin, ”Apa maksudmu? Aku telah mengalami banyak peristiwa yang menyedihkan, kau ingin mendengarkan cerita yang mana?”
Orang itu hanya bisa menjawab, ”Oh!” Dia berkata lagi, ”Kalau begitu ceritakan kepadaku mengapa bermusuhan dengan Sun Tu?”
Langit mulai terlihat gelap, karena hari memang sudah sore.
Wisma itu adalah sebuah wisma tua, di sana sini banyak kayu-kayu penyangga rumah yang patah dan gentingnya juga sudah banyak yang pecah. Sebagian malah sudah terbakar menjadi abu, tapi yang utuhpun masih ada.
Dahulu wisma ini pernah berjaya dan juga terkenal, sekarang di bawah sinar matahari terbenam, wisma itu terlihat sepi dan merana.
Di dalam wisma itu ada sebuah ruangan yang sudah ambruk dan hancur, ruang tamu di wisma itu begitu luas. Di bagian atas rumah masih terpasang papan nama. Dulu papan itu dicat dengan warna terang benderang. Tapi sekarang papan itu terlihat sudah usang, malah sudah terbelah menjadi dua bagian. Sudah tertutup oleh debu dan sarang laba-laba. Tapi dari papan itu masih bisa terbaca sebuah tulisan kaligrafi yang indah dengan tulisan ’Shi Jian’. Tulisan itu terdapat di bagian papan yang terjatuh dan tertutup oleh debu, sedangkan di bagian papan yang lain tertulis ’Tian Xia’ (dikolong langit).
’Shi Jian Tian Xia’ memiliki makna tinggi dan juga berkesan sombong, dan begitu berjaya. Ditambah lagi dengan tulisan kaligrafi yang ditulis dengan sangat bagus dan bertenaga. Mungkin dulu para tamu dunia persilatan pada saat melihat papan itu tergantung tinggi, hati mereka akan tergetar! Tapi sekarang keempat huruf itu terbagi menjadi dua yang tampaknya terbelah dengan pukulan.
Selama 300 tahun ini, kalangan persilatan yang berani menggunakan kata ’Shi Jian Tian Xia’, kecuali Shi Jian Shan Zhuang (Wisma Pedang), tidak ada yang lainnya.
0-0-0
Di depan wisma itu ada sebuah batu besar, dan tampak ada dua orang yang sedang duduk di sana.
Dua orang itu berwajah biasa tapi terlihat penuh dengan kekhawatiran. Mereka adalah dua orang anak muda yang sama sekali tidak peduli dengan keadaan dunia ini.
Kedua tubuh anak muda itu dipenuhi dengan rumput kering, tanah, dan serbuk kayu. Sepertinya mereka sudah berguling-guling di rerumputan, sepertinya juga pernah tidur di tempat yang penuh dengan tanah, dan juga sepertinya pernah bergulat di tempat yang penuh dengan serbuk gergaji.
Pemuda yang satu berperawakan tinggi dan hitam, wajahnya masih terlihat lugu, tapi juga terlihat kalau dia seorang pemberani, bisa bertahan menghadapi semua masalah hidup, tapi matanya terlihat lesu.
Sedangkan yang satu lagi penampilannya seperti seorang pelajar, hidungnya mancung, bibirnya tipis, sepertinya dia bersifat keras. Dia seperti seorang pak tua yang sudah kelelahan.
Mereka berdua duduk saling berdampingan. Mereka tidak saling pandang, dan juga tidak memperhatikan keadaan temannya. Mereka seperti tidak pernah hidup di dunia ini. Sepertinya apa yang terjadi di dunia ini tidak ada hubungannya dengan mereka.
0-0-0
Mereka tampak sedang menunggu datangnya sore.
Tapi sebelum matahari terbenam, terdengar ada derap langkah kuda berlari ke arah mereka.
Dari suara derap langkah kuda itu, sepertinya kuda itu tidak berlari dengan cepat juga tidak lambat, seperti irama musik keras, tapi bercampur dengan irama lembut, irama ini begitu menggetarkan perasaan setiap orang yang mendengarnya.
Kedua orang itu mengangkat kepala untuk melihat, terlihat di Xi Shan di bawah sinar matahari yang akan tenggelam, seperti sudah dipoles dengan warna merah darah.
Pemuda pertama berkata, ”Hari masih sore tapi sudah ada yang datang.”
Pemuda kedua menggelengkan kepalanya, ”Sepertinya itu bukan mereka.”
Suara kuda terdengar sudah berada di depan wisma, langkah kuda mulai melambat, kaki kuda itu berbulu putih bersih dan terlihat sehat. Masih ada beberapa ekor kupu-kupu yang terbang di dekat kaki kuda.
Kemudian terlihat seseorang berbaju dan bersepatu putih turun dari kuda, daun yang tertiup angin melewati baju putihnya, terbang beberapa saat kemudian terjatuh lagi, tapi hal itu sama sekali tidak menganggunya.
Kedua pemuda itu saling pandang, kemudian mereka menundukkan kepala lagi. Sepertinya mereka tidak mau tahu apa yang terjadi di sekitar sana, tampak mereka sedang terkantuk-kantuk.
Orang itu turun dari kudanya, kemudian melihat sebentar ke atas, langit yang mulai gelap, dengan ramah dia bertanya, ”Apakah tempat ini adalah Shi Jian Shan Zhuang yang dulu sangat terkenal?”
Kedua pemuda itu tidak bergerak, sepertinya mereka tidak mendengar ucapan orang itu.
Orang itu tidak marah, dengan ramah dia bertanya lagi.
Kedua pemuda itu mengangkat kepala dan saling pandang, tapi mereka tetap tidak menjawab.
Orang itu tampak tersenyum, mengulangi kembali pertanyaannya, dia sudah bertanya 3 kali berturut-turut.
Akhirnya pemuda yang tinggi dan besar itu menunjuk ke arah papan nama dan berkata, ”Apakah kau tidak bisa melihatnya sendiri?”
Orang itu melihat sebentar ke arah yang ditunjuk, tiba-tiba dia tertawa dan berkata, ”Siapakah nama dan marga kalian?”
Pemuda yang bersikap agak dingin itu berkata, ”Lebih baik kau pergi dari sini, kalau tidak kau akan terbunuh di sini.”
Tanya orang itu, ”Apakah disini akan terjadi sesuatu?”
Pemuda tinggi besar itu marah, ”Mengapa kau begitu cerewet?”
Pemuda yang tampak dingin itu malah tertawa dingin, ”Apa yang akan terjadi di sini, kalau kau tahu apa yang akan terjadi di sini kau akan terkejut hingga terkencing-kencing, lalu lari terbirit-birit dari sini!”
Orang itu tertawa, ”Kalau begitu ceritakanlah, mungkin kenyataannya tidak begitu menakutkan seperti yang kau kira!”
Pemuda yang tampak agak dingin itu kembali tertawa dingin, ”He! He! He!”
Pemuda tinggi besar itu berkata, ”Hayo, cepat pergi!”
Orang itu tampak berpikir sebentar, dia membalikkan tubuh dan berjalan ke arah kudanya yang putih, dan berkata, ”Oh ternyata kalian tidak berani memberitahuku karena orang yang akan datang itu sangat lihai.”
Pemuda yang terlihat dingin itu segera berdiri dan membentak, ”Kau bilang apa! berdiri di tempatmu!”
Pemuda tinggi besar itu berkata, ”Apa? Siapa yang bilang kami tidak berani mengatakannya! Baiklah, kalau begitu akan kuberitahu---di Jiang Nan, di kalangan persilatan golongan putih dan hitam, orang mempunyai kekuatan besar dan namanya terkenal, dan paling sulit dihadapi, adalah siapa? Apakah kau mengetahuinya?”
Orang itu tertawa, ”Kalau sampai Qian Shou Wang (Raja bertangan seribu) Zuo Qian Zhen saja tidak tahu, aku tidak akan bisa bertahan hidup di dunia persilatan!”
Pemuda yang terlihat dingin itu berkata, ”Tidak disangka, kau juga tahu hal ini, kalau begitu kau pasti tahu juga Zuo Shou Zhen yang tidak terkalahkan di dunia ini, ilmu silatnya berada di atas semua pendekar, apa kau tahu apa alasannya?”
Orang itu tampak berpikir sebentar dan menjawab, ”Karena dia mempunyai seorang istri yang baik dan dua orang murid yang sangat membantunya.”
Pemuda tinggi besar itu tertawa dingin dan berkata, ”Masih ada lagi, dia masih mempunyai 9 orang pembantu yang paling sulit diajak bicara!”
Orang itu bertanya, ”Maksudmu, Jiu Da Gui (9 setan besar)?”
Pemuda dingin itu berkata, ”Benar, sebentar lagi yang akan datang adalah salah satu dari Jiu Da Gui yang bernama Yi Dao Zhan Qian Jun (sebilah golok memenggal, seribu prajutir), Sun Tu.”
Pemuda tinggi itu berkata lagi, ”Masih ada lagi, seorang anak buah Sun Tu yaitu Si Da Dao Mo (4 orang besar golok siluman), apakah kau tahu asal usul Si Da Dao Mo?”
Orang itu tertawa, ”Mereka? Qi Qing Feng adalah keturunan dari Qi Men Jin Dao, dia adalah pengkhianat perkumpulannya. Li Xue Hua berasal dari Xue Men Pai, murid perempuan dari Nian Dou Men, dia adalah seorang perempuan jalang. Mu Lang Shan adalah keturunan dari Lang Hua Dao Fa, dia mendapatkan ilmu silat secara langsung dari Cang Lang Lao Ren, tapi dalam hal membunuh dia senang membakar perempuan, lengkaplah semua kejahatannya. Tang Shan Jue adalah wakil ketua Di Tang Dao Fa, ilmu goloknya sangat lihai, katanya Qi Qing Feng, Li Xue Hua, Mu Lang Shan, dan Tang Shan Jue, keempat orang ini sudah berada di bawah kekuasaan Tu Tian Mo, mereka sangat kejam, semua kejahatan sepertinya sudah pernah mereka lakukan.”
Pemuda tinggi itu dengan pandangan aneh berkata, ”Ternyata kau tahu sangat banyak.”
Pemuda dingin itupun berkata, ”Berani bicara seperti itu, berarti kau termasuk orang yang lumayan pemberani.”
Orang itu tertawa, ”Kalau di dunia persilatan tidak ada yang berani marah, semua pahlawan dan pendekar akan menjadi kura-kura yang cuma bisa tinggal di dalam batoknya. Apakah di dunia persilatan ini bisa masih ada keadilan?”
Pemuda tinggi besar itu terpaku, ”Kau begitu berani, tapi kau tetap bukan lawan Sun Tu dan Si Da Dao Mo, lebih baik kau segera pergi dari sini!”
Orang itu bertanya, ”Tapi..mengapa kalian masih berada di sini?”
Wajah pemuda tinggi besar itu berekspresi yang sulit dimengerti, dia duduk kembali sambil menatap langit yang semakin gelap dan berkata, ”Kami? Kami hanya tinggal menunggu kematian di sini.”
Tanya orang itu, ”Apakah kau sedang menunggu Sun Tu yang membawa orang-orangnya, lalu menunggu mereka membunuhmu?”
Pemuda tinggi itu menjawab, ”Tiga tahun lalu, di Pin Jiang pada sebuah pertandingan silat, aku melihat dia menyerang orang yang sudah terluka dan dia ingin membunuh orang itu tanpa alasan sedikitpun, sudah tentu ini melanggar aturan dunia persilatan. Karena itu aku segera naik ke atas panggung untuk menolong.” dia tertawa dingin, lalu melanjutkan ceritanya, ”Tidak ada seorang juga yang mau membantuku membawa orang yang sedang terluka itu ke rumah panitia, aku sendiri yang bertarung melawan Sun Tu, kemudian Sun Tu dibantu oleh Si Da Dao Mo, mereka memukulku hingga aku terluka parah. Semua pendekar yang melihatnya, tapi tidak ada seorangpun yang berani tampil untuk membantuku, malah ada yang menghalangiku melarikan diri..akhirnya aku bisa melarikan diri. Aku juga tahu ternyata panitia malah sudah membunuh orang yang terluka itu dengan tujuan menjilat Sun Tu.” Tangannya terkepal dengan erat dan urat-urat hijaunya bertonjolan.
Orang itu terdiam sebentar. Dia membalikkan kepalanya melihat pemuda dingin yang sedang berdiri dengan tegak. Dia sedang menatap langit dan orang itupun bertanya, ”Bagaimana dengan dirimu?”
Pemuda dingin itu tertawa dingin, ”Apa maksudmu? Aku telah mengalami banyak peristiwa yang menyedihkan, kau ingin mendengarkan cerita yang mana?”
Orang itu hanya bisa menjawab, ”Oh!” Dia berkata lagi, ”Kalau begitu ceritakan kepadaku mengapa bermusuhan dengan Sun Tu?”
Panji Akbar Matahari Terbenam
BAB 1
Tujuh orang aneh
Di kabupaten Huai Yin, di kota Huai An.
Shao Xing tahun 31. Musim semi.
Di sebuah perusahaan perjalanan (Biao) yang bernama Huai Yang.
Panji Biao Huai Yang tampak berkibar, wajah-wajah anggota Biao di sana berwarna seperti besi. Wajah mereka merenggut dan mereka sama sekali tidak bersuara.
Dalam perusahaan Biao Huai Yang, ada tiga orang terpenting dalam perusahaan itu mereka kira-kira berumur 40 tahun, dia bermarga Cai, dan bernama Bu Pin. Dia menguasai 36 macam jurus tombak. Di Huai Yin orang yang terkenal bisa menggunakan tombak adalah dirinya.
Orang kedua terpenting dalam Biao Huai Yang berumur 40 tahun lebih, bermarga Wu, dan bernama Shen Si. Pembawaannya sangat tenang. Dia sangat menguasai jurus Feng Mo Zheng Fa (jurus tongkat siluman gila) dan Da Mo Gun Fa (jurus tongkat Da Mo= Tat Mo). Dia adalah penasehat di perusahaan Biao Huai Yang, juga menjabat sebagai kepala pelatih di Biao Huai Yang.
Hari ini, kedua orang penting dari perusahaan Biao Huai Yang tampak sedang duduk di ruang tamu. Wajah mereka terlihat serius dan sikap mereka terlihat dingin.
Cai Bu Pin menggebrak meja dan berkata, “Kurang ajar! Penjahat Jin (Kim) memang keterlaluan! Kita orang-orang Song sudah digencet mereka sampai tidak bisa bernafas lagi!”
Wu Shen Si segera bersuara, “Shhhtt!”.
Dia memberi tanda kepada Cai Bu Pin agar tidak berbicara lagi. Dia berkata, “Lao San, masalah memaki kerajaan tidak perlu kita lakukan. Jika kita diadukan kepada kepala pemerintahan, keluarga kita pasti akan dibunuh. Aku sudah berkeluarga, aku tidak tahan disiksa seperti itu!”
Cai Bu Pin tahu Wu Shen Si bukan seorang penakut, dia hanya ingin menasehatinya saja. Segera dia berkata, “Kakak Kedua, penjahat itu sudah menyerang Cai Shi. Katanya beberapa hari ini, di kota banyak orang yang mencurigakan. Mereka tampak berjalan-jalan di kota. Kita adalah putra kerajaan Song. Kita harus membunuh beberapa anjing Jin itu!”
Wu Shen Si berpikir sebentar lalu berkata, “Hanya dengan membunuh beberapa orang saja rasanya tidak akan ada gunanya. Kemarin Kakak Tertua sudah pergi ke Huai Bei untuk bertemu dengan Pendekar Long Zhai Tian dan berunding dengannya. Jika perlu kita akan membubarkan perusahaan Biao ini, kemudian bergabung dengan Tuan Long Zhai Tian mengikuti Jenderal Yu membunuh para anjing Jin!”
Cai Bu Pin bertepuk tangan dan tertawa, “Aku rasa lebih baik seperti itu!”
Tiba-tiba terdengar suara keras bercampur dengan suara bentakan dari luar pintu!
Seorang anggota perusahaan Biao dengan terengah-engah masuk ke ruang tamu. Dia tidak bisa berbicara karena nafasnya menderu cepat. Cai Bu Pin segera menghampirinya dan bertanya, “Ada apa? Cepat katakan!”
Karena terjatuh, dahi anggota Biao ini berdarah dan tangan kirinya terkilir. Dia berkata, “Tuan Kedua, Tuan Ketiga, di luar ada beberapa penjahat Jin berikut beberapa orang pengkhianat Han. Mereka mengatakan ingin bertemu dengan kepala perusahaan Biao. Karena orang-orang perusahaan kita melihat yang datang adalah para penjahat Jin, mereka marah. Tidak disangka di antara ketujuh orang itu, muncul 2 orang raksasa, dan sudah membuat saudara-saudara kita …dipukul….”
Cai Bu Pin marah dan membentak, “Saudara kita dipukul seperti apa? Anjing Jin, berani datang ke kota Huan An, lalu memukul orang-orangku, aku harus menghajar mereka!”
Kata-katanya belum selesai, dari luar melayang masuk 3 orang. Mereka adalah anak buah Cai Bu Pin. Beberapa kali tubuh mereka bergetar. Wajah mereka tampak belepotan darah, tapi sebentar kemudian sudah tidak bergerak lagi.
Sebetulnya ilmu silat ketiga orang perusahaan Biao ini lumayan tinggi, tapi hanya dalam waktu sebentar mereka berhasil dibabat oleh orang-orang Jin. Wu Shen Si merasa tersinggung dan marah melihat semua ini!
Cai Bu Pin meloncat keluar. Dengan marah dia membentak, “Kurang ajar! Berani membunuh orang-orang perusahaan Biao Huai Yang…“
Waktu itu, tiba-tiba dari luar pintu muncul 7 orang. Mereka berbaris membentuk angka satu aksara China. Mereka dengan dingin berdiri di depan pintu.
Hati Wu Shen Si terasa dingin. Dengan cepat dia berkata, “Lao San, jangan berontak!” Tapi Cai Bu Pin sudah lari keluar!
Begitu Cai Bu Pin keluar, dari ketujuh orang itu, 6 di antaranya tidak bergerak. Salah satu laki-laki yang berbadan tegap dan tinggi sudah menghadang Cai Bu Pin. Kecepatan tubuhnya 10 kali lipat dibandingkan Cai Bu Pin, dan tenaganya seperti bisa mendorong gunung dan bisa menumpahkan isi laut.
Cai Bu Pin hampir bertabrakan dengan orang itu. dia segera berhenti dan merasa terkejut. Cai Bu Pin bukan orang biasa, tangannya sudah menggenggam sebuah tombak!
Belum sempat bertabrakan, tombaknya sudah menotok di 3 tempat jalan darah lawannya, cepat dan juga tepat.
Jurus ini bernama Han Ya San Dian (Jurus tiga totokan burung gagak dingin). Cai Bu Pin paling apal menguasai jurus ini dan juga merupakan jurus yang terkenal. Maka pada saat dia melancarkan serangan, jurus inilah otomatis yang digunakan. Cai Bu Pin tidak tahu kalau orang yang datang bukanlah sembarang orang, dia juga mengeluarkan serangan untuk membunuh!
Tiga buah mata tombak siap menusuk dan menotok orang itu. Tapi orang itu tidak terkena tusukan tombaknya malah gerakan majunya menjadi lambat. Sebaliknya Cai Bu Pin malah semakin cepat melangkah.
Tiba-tiba tombak yang dipergunakan untuk menusuk malah terlepas terbang dari hadapan orang itu.
Cai Bu Pin terkejut dan mundur!
Tapi dari belakang sudah menunggu seorang laki-laki berbadan tinggi besar. Gerakannya lebih cepat dari gerakan laki-laki pertama. Waktu itu puluhan orang perusahaan Biao masuk ke lapangan penerima tamu, mereka memperhatikan 6 orang yang datang. Hanya dalam waktu singkat tinggal 5 orang. Pertarungan ini hanya terlihat seperti bayangan yang bergerak cepat. Di arena pertarungan ternyata sudah bertambah satu orang lagi!
Cai Bu Pin merasakan adanya bahaya. Dia ingin menyingkir kesamping tapi lawannya datang sangat cepat. Dia tidak bisa menghindar lagi. Hanya terdengar suara PING! PING! Yang satu berada di depan dan yang satu berada di belakang, mereka mengurung Cai Bu Pin di tengah-tengah.
Begitu melihat ada seseorang yang muncul dibelakangnya, hatinya ingin berteriak, “Bahaya!”. Tapi tubuhnya terasa melayang terbang sedangkan kedua orang itu setelah menabrak sasaran mereka. Lalu mereka berpisah lagi, berdiri di kiri dan di kanan, kelima orang itu dan sama sekali tidak bergerak.
Begitu Wu Shen Si berada di lapangan pertarungan, dengan tepat bisa menangkap Cai Bu Pin yang roboh.
Tulang-tulang Cai Bu Pin tampak sudah tidak ada yang utuh. Tulang-tulangnya hancur, kemudian menancap ke dalam daging. Dia langsung meninggal.
Wu Shen Si marah dan terkejut. Bola matanya seakan mau keluar. Dia ingin bertarung dengan mereka tapi setelah dipikir-pikir dia menahan diri, dia melihat baru saja bertarung, dengan mudah Cai Bu Pin telah dibunuhnya, berarti ilmu silat mereka sangat tinggi dan cara bertarung mereka sangat aneh. Karena itu dia tidak ingin secara sembarangan menyerang, jika tidak, dia juga akan mati sia-sia. Dia menarik nafas, dengan pelan-pelan lalu berdiri melihat orang-orang itu.
Mereka terdiri dari 7 orang, salah satu dari mereka telah berumur 40 tahun. Wajahnya terlihat sangat serius, dia tidak marah tapi telihat berwibawa, wajahnya cukup tampan. Dia memakai baju panjang dan tangannya dimasukkan ke dalam lengan baju. Melihat apa yang terjadi di lapangan, dia tidak bertanya dan seperti tidak melihat.
Orang yang berada di sebelah kirinya, memakai baju Qi Dan. Wajahnya juga terlihat sangat berwibawa, perawakannya tinggi dan besar. Siapapun yang berdiri di depannya, paling-paling tingginya hanya mencapai pundaknya. Kedua matanya hanya melihat dingin tapi tidak terlihat ekspresi apapun di wajahnya.
Di sebelah kanannya adalah seorang La Ma (biksu Tibet). Memakai baju biksu berwarna merah dan selempang berwarna emas yang dipakai di sebelah kanannya. Tangannya memegang sebuah sekop berbentuk seperti gigi. Sekop itu beratnya kurang lebih 10-15 kilogram tapi pada saat dipegang olehnya seperti tidak memerlukan tenaga besar. Di kepalanya masih ada seuntai tasbih yang terbuat dari kayu berwarna merah, biji tasbih itu besar dan juga berkilau. Kedua mata La Ma ini seperti bisa mengeluarkan kobaran api. Wu Shen Si yang melihatnya, merasa jantungnya terus berdebar-debar karena terpengaruh oleh pembawaan La Ma ini.
Di kanan La Ma adalah orang yang berdandan seperti suku bangsa Nu Zhen, perawakannya tinggi dan kurus. Kesepuluh jarinya berbentuk seperti cakar elang, panjang dan lancip-lancip. Dengan wajah seram dia melihat Wu Shen Si. Membuat hati Wu Shen Si menjadi dingin. Di sebelah kiri orang Qi Dan itu ada satu orang bersuku Han. Usianya kira-kira 50 tahun, wajahnya seperti tikus, memakai baju putih yang terbuat dari sutra, terlihat sangat mewah. Kumisnya seperti kumis kucing. Tangan kirinya memegang sebuah panji bertuliskan ‘Song’. Tangan kanannya memegang panji bertulisan huruf ‘Jin’. Langkah kakinya pada saat berjalan seperti angka delapan (huruf China). Di pinggangnya masih terselip sempoa besi berwarna hitam. Dia menyipitkan matanya. Dengan pandangan tidak bersahabat dia menatap Wu Shen Si.
Di sisi kiri dan kanan orang itu, masih ada 2 orang laki-laki bangsa Mongolia. Badan mereka tinggi juga besar. Lebih kasar dan besar dari orang Qi Dan itu, wajah mereka tampak sangat keras. Daging di seluruh tubuh mereka menggelembung seperti panci besi. Dalam setengah jurusnya, Cai Bu Pin langsung terpukul mati. Kedua orang Mongolia itu memiliki wajah dan perawakan hampir sama. Mereka berdiri dengan sikap sangat sombong, tapi menghormati kelima orang itu.
0-0-0
Wu Shen Si menahan kesedihan di dalam hatinya. Dengan marah dia berkata, “Kalian tidak minta ijin terlebih dulu, langsung masuk ke perusahaan Biao kami, setelah itu membunuh orang-orang perusahaan Biao dan juga membunuh adik ketiga. Sebenarnya apa tujuan kalian?”
Orang-orang perusahaan Biao itu yang telah kalah di tangan ketujuh orang itu. Melihat musuh dengan mudah bisa membunuh orang ketiga terkuat di perusahaan ini, mereka tidak bersuara. Begitu mendengar Wu Shen Si bertanya, merekapun ikut marah, “Penjahat, apa mau kalian sebenarnya!”
“Anjing Jin, kalian cari mati saja!”
“Kurang ajar! Ketua Biao dan wakil ketua kami akan menangkap kalian lalu melemparkan kalian ke sungai sebagai makanan ikan….”
Cambang laki-laki yeng bersenjata Sempoa itu tampak bergerak-gerak. Sambil tertawa dia berkata, “Oh! Daging cincang yang tergeletak di bawah ini, apakah dia adalah Pendekar Ketiga Cai? Kami mohon maaf!”
Mendengar kata-kata itu, orang-orang yang ada di sana semakin marah. Wu Shen Si yang lebih berpengalaman, segera bertanya, “Apakah Tuan adalah si Sempoa Besi dari He Bei Xi Wu Hou, Tuan Xi?”
Orang itu tertawa, “Benar. Aku masih mempunyai julukan jelek lainnya yaitu, apapun akan kujual jika mati tidak akan mempunyai keturunan. Jika tidak ada lagi yang ingin disampaikan oleh Pendekar Wu, biar aku membantu Anda memberitahu.”
Orang-orang perusahaan Biao mendengar semua perkataannya. He Bei Xi Wu Hou terkenal menjual segala apapun, hati nurani, wajah, negara, rumah, sampai istri dan putra putrinya sekalipun. Asalkan dia bisa menjadi kaya dan makmur, mempunyai kekuasaan dan uang, dia pasti tega menjual semuanya. Dia bernama Xi Wu Hou karena orang-orang persilatan membencinya karena dia sering mengkhianati teman, maka mereka memanggilnya dengan sebutan Si Wu Hou (Mati tidak ada turunan).
Wu Shen Si tahu kalau dia adalah Xi Wu Hou, karena di dunia persilatan yang bisa menjadikan sempoa besi sebagai senjata dan memiliki ilmu silat sangat tinggi, hanya ada 3 orang, dan salah satu di antaranya bernama Sempoa Emas, Xin Wu Er. Menurut orang-orang, dia sangat tampan. Sedangkan yang satu lagi bernama Tuan Sempoa, Bao Xian Ding. Menurut orang-orang yang pernah bertemu dengannya, dia berperawakan pendek, gemuk, dan dia berdandan seperti seorang pedagang. Kedua orang itu berpandangan sangat lurus. Satu-satunya yang tega menjual segala sesuatu hanya Xi Wu Hou. Dia sangat licik, kejam, dan berbahaya. Dia tega menjual negara untuk mendapatkan kemakmuran. Dia menjadi seorang pengkhianat dan dibenci oleh orang-orang.
Begitu nama Xi Wu Hou terlontar, orang-orang perusahaan Biao terdiam karena dia memang terkenal karena kejamnya dan liciknya.
Pikiran Wu Shen Si dengan cepat berputar. Dia tahu di antara ketujuh orang itu, Xi Wu Hou dan kedua orang Mongolia itu, ilmu silatnya lebih tinggi darinya. Sedangkan keempat orang lainnya, belum diketahui sampai sejauh mana kemampuan ilmu silat mereka. Hatinya terus mengeluh.
Terdengar Xi Wu Hou tertawa licik, “Kau lihat, ini apa?” Dia melambaikan-lambaikan kedua panji yang dipegangnya.
Wu Shen Si menjawab dengan tenang, “Panji itu bertuliskan panji kerajaan Song dan satu lagi adalah kain perca milik penjahat Jin!”
Xi Wu Hou tertawa dingin, “Panji kerajaan?” Dia melemparkan panji kerajaan Song, kemudian menginjak-injaknya.
Orang-orang perusahaan Biao Huai Yang tidak kuat menahan penghinaan ini, mereka segera maju menyerang. Wu Shen Si ingin melarang tapi sudah tidak sempat.
Dua orang perusahaan Biao yang berada di tengah-tengah udara ditangkap oleh sepasang tangan kemudian tenggorokan mereka dicekik. Hanya sebentar kedua orang perusahaan Biao itu tampak matanya melotot dan lidahnya terjulur keluar. Mereka sudah mati. Orang Mongolia itu yang telah membunuh mereka.
Keadaan menjadi geger. Ada yang mencabut pedang untuk menyerang orang Mongolia itu. Tiba-tiba terdengar suara bentakan seperti guntur, “Hentikan! Jangan ingin mati konyol!”
Orang-orang perusahaan Biao mendengar suara ini. Mereka segera berhenti. Wu Shen Si merasa sangat senang. Dia memanggil, “Da Shi Xiong (kakak tertua).”
Semua orang perusahaan Biao dengan hormat memanggil, “Ketua Biao.”
Rambutnya sudah memutih, begitu juga dengan alisnya, dia terlihat sangat berwibawa. Dia adalah ketua Perusahaan Biao, Li Long Da. Ilmu telapak Jiang Tian Zhang yang dimilikinya sangat terkenal di Huai Bei. Ilmu silatnya jauh berada di atas Wu Shen Si. Wu Shen Si tampak menjadi tenang.
Begitu melihat ada orang yang masuk ke perusahaan Biao, dia tahu kalau mereka bukan orang baik-baik. Dia sudah menyuruh orang pergi ke rumah Li Long Da dan memanggil Li Long Da untuk membantunya. Begitu Wu Shen Si melihat Kakak tertuanya sudah datang, dia tahu kalau Li Long Da pasti mempunyai cara menghadapi orang-orang jahat ini, maka hatinyapun merasa sangat tenang.
Tujuh orang aneh
Di kabupaten Huai Yin, di kota Huai An.
Shao Xing tahun 31. Musim semi.
Di sebuah perusahaan perjalanan (Biao) yang bernama Huai Yang.
Panji Biao Huai Yang tampak berkibar, wajah-wajah anggota Biao di sana berwarna seperti besi. Wajah mereka merenggut dan mereka sama sekali tidak bersuara.
Dalam perusahaan Biao Huai Yang, ada tiga orang terpenting dalam perusahaan itu mereka kira-kira berumur 40 tahun, dia bermarga Cai, dan bernama Bu Pin. Dia menguasai 36 macam jurus tombak. Di Huai Yin orang yang terkenal bisa menggunakan tombak adalah dirinya.
Orang kedua terpenting dalam Biao Huai Yang berumur 40 tahun lebih, bermarga Wu, dan bernama Shen Si. Pembawaannya sangat tenang. Dia sangat menguasai jurus Feng Mo Zheng Fa (jurus tongkat siluman gila) dan Da Mo Gun Fa (jurus tongkat Da Mo= Tat Mo). Dia adalah penasehat di perusahaan Biao Huai Yang, juga menjabat sebagai kepala pelatih di Biao Huai Yang.
Hari ini, kedua orang penting dari perusahaan Biao Huai Yang tampak sedang duduk di ruang tamu. Wajah mereka terlihat serius dan sikap mereka terlihat dingin.
Cai Bu Pin menggebrak meja dan berkata, “Kurang ajar! Penjahat Jin (Kim) memang keterlaluan! Kita orang-orang Song sudah digencet mereka sampai tidak bisa bernafas lagi!”
Wu Shen Si segera bersuara, “Shhhtt!”.
Dia memberi tanda kepada Cai Bu Pin agar tidak berbicara lagi. Dia berkata, “Lao San, masalah memaki kerajaan tidak perlu kita lakukan. Jika kita diadukan kepada kepala pemerintahan, keluarga kita pasti akan dibunuh. Aku sudah berkeluarga, aku tidak tahan disiksa seperti itu!”
Cai Bu Pin tahu Wu Shen Si bukan seorang penakut, dia hanya ingin menasehatinya saja. Segera dia berkata, “Kakak Kedua, penjahat itu sudah menyerang Cai Shi. Katanya beberapa hari ini, di kota banyak orang yang mencurigakan. Mereka tampak berjalan-jalan di kota. Kita adalah putra kerajaan Song. Kita harus membunuh beberapa anjing Jin itu!”
Wu Shen Si berpikir sebentar lalu berkata, “Hanya dengan membunuh beberapa orang saja rasanya tidak akan ada gunanya. Kemarin Kakak Tertua sudah pergi ke Huai Bei untuk bertemu dengan Pendekar Long Zhai Tian dan berunding dengannya. Jika perlu kita akan membubarkan perusahaan Biao ini, kemudian bergabung dengan Tuan Long Zhai Tian mengikuti Jenderal Yu membunuh para anjing Jin!”
Cai Bu Pin bertepuk tangan dan tertawa, “Aku rasa lebih baik seperti itu!”
Tiba-tiba terdengar suara keras bercampur dengan suara bentakan dari luar pintu!
Seorang anggota perusahaan Biao dengan terengah-engah masuk ke ruang tamu. Dia tidak bisa berbicara karena nafasnya menderu cepat. Cai Bu Pin segera menghampirinya dan bertanya, “Ada apa? Cepat katakan!”
Karena terjatuh, dahi anggota Biao ini berdarah dan tangan kirinya terkilir. Dia berkata, “Tuan Kedua, Tuan Ketiga, di luar ada beberapa penjahat Jin berikut beberapa orang pengkhianat Han. Mereka mengatakan ingin bertemu dengan kepala perusahaan Biao. Karena orang-orang perusahaan kita melihat yang datang adalah para penjahat Jin, mereka marah. Tidak disangka di antara ketujuh orang itu, muncul 2 orang raksasa, dan sudah membuat saudara-saudara kita …dipukul….”
Cai Bu Pin marah dan membentak, “Saudara kita dipukul seperti apa? Anjing Jin, berani datang ke kota Huan An, lalu memukul orang-orangku, aku harus menghajar mereka!”
Kata-katanya belum selesai, dari luar melayang masuk 3 orang. Mereka adalah anak buah Cai Bu Pin. Beberapa kali tubuh mereka bergetar. Wajah mereka tampak belepotan darah, tapi sebentar kemudian sudah tidak bergerak lagi.
Sebetulnya ilmu silat ketiga orang perusahaan Biao ini lumayan tinggi, tapi hanya dalam waktu sebentar mereka berhasil dibabat oleh orang-orang Jin. Wu Shen Si merasa tersinggung dan marah melihat semua ini!
Cai Bu Pin meloncat keluar. Dengan marah dia membentak, “Kurang ajar! Berani membunuh orang-orang perusahaan Biao Huai Yang…“
Waktu itu, tiba-tiba dari luar pintu muncul 7 orang. Mereka berbaris membentuk angka satu aksara China. Mereka dengan dingin berdiri di depan pintu.
Hati Wu Shen Si terasa dingin. Dengan cepat dia berkata, “Lao San, jangan berontak!” Tapi Cai Bu Pin sudah lari keluar!
Begitu Cai Bu Pin keluar, dari ketujuh orang itu, 6 di antaranya tidak bergerak. Salah satu laki-laki yang berbadan tegap dan tinggi sudah menghadang Cai Bu Pin. Kecepatan tubuhnya 10 kali lipat dibandingkan Cai Bu Pin, dan tenaganya seperti bisa mendorong gunung dan bisa menumpahkan isi laut.
Cai Bu Pin hampir bertabrakan dengan orang itu. dia segera berhenti dan merasa terkejut. Cai Bu Pin bukan orang biasa, tangannya sudah menggenggam sebuah tombak!
Belum sempat bertabrakan, tombaknya sudah menotok di 3 tempat jalan darah lawannya, cepat dan juga tepat.
Jurus ini bernama Han Ya San Dian (Jurus tiga totokan burung gagak dingin). Cai Bu Pin paling apal menguasai jurus ini dan juga merupakan jurus yang terkenal. Maka pada saat dia melancarkan serangan, jurus inilah otomatis yang digunakan. Cai Bu Pin tidak tahu kalau orang yang datang bukanlah sembarang orang, dia juga mengeluarkan serangan untuk membunuh!
Tiga buah mata tombak siap menusuk dan menotok orang itu. Tapi orang itu tidak terkena tusukan tombaknya malah gerakan majunya menjadi lambat. Sebaliknya Cai Bu Pin malah semakin cepat melangkah.
Tiba-tiba tombak yang dipergunakan untuk menusuk malah terlepas terbang dari hadapan orang itu.
Cai Bu Pin terkejut dan mundur!
Tapi dari belakang sudah menunggu seorang laki-laki berbadan tinggi besar. Gerakannya lebih cepat dari gerakan laki-laki pertama. Waktu itu puluhan orang perusahaan Biao masuk ke lapangan penerima tamu, mereka memperhatikan 6 orang yang datang. Hanya dalam waktu singkat tinggal 5 orang. Pertarungan ini hanya terlihat seperti bayangan yang bergerak cepat. Di arena pertarungan ternyata sudah bertambah satu orang lagi!
Cai Bu Pin merasakan adanya bahaya. Dia ingin menyingkir kesamping tapi lawannya datang sangat cepat. Dia tidak bisa menghindar lagi. Hanya terdengar suara PING! PING! Yang satu berada di depan dan yang satu berada di belakang, mereka mengurung Cai Bu Pin di tengah-tengah.
Begitu melihat ada seseorang yang muncul dibelakangnya, hatinya ingin berteriak, “Bahaya!”. Tapi tubuhnya terasa melayang terbang sedangkan kedua orang itu setelah menabrak sasaran mereka. Lalu mereka berpisah lagi, berdiri di kiri dan di kanan, kelima orang itu dan sama sekali tidak bergerak.
Begitu Wu Shen Si berada di lapangan pertarungan, dengan tepat bisa menangkap Cai Bu Pin yang roboh.
Tulang-tulang Cai Bu Pin tampak sudah tidak ada yang utuh. Tulang-tulangnya hancur, kemudian menancap ke dalam daging. Dia langsung meninggal.
Wu Shen Si marah dan terkejut. Bola matanya seakan mau keluar. Dia ingin bertarung dengan mereka tapi setelah dipikir-pikir dia menahan diri, dia melihat baru saja bertarung, dengan mudah Cai Bu Pin telah dibunuhnya, berarti ilmu silat mereka sangat tinggi dan cara bertarung mereka sangat aneh. Karena itu dia tidak ingin secara sembarangan menyerang, jika tidak, dia juga akan mati sia-sia. Dia menarik nafas, dengan pelan-pelan lalu berdiri melihat orang-orang itu.
Mereka terdiri dari 7 orang, salah satu dari mereka telah berumur 40 tahun. Wajahnya terlihat sangat serius, dia tidak marah tapi telihat berwibawa, wajahnya cukup tampan. Dia memakai baju panjang dan tangannya dimasukkan ke dalam lengan baju. Melihat apa yang terjadi di lapangan, dia tidak bertanya dan seperti tidak melihat.
Orang yang berada di sebelah kirinya, memakai baju Qi Dan. Wajahnya juga terlihat sangat berwibawa, perawakannya tinggi dan besar. Siapapun yang berdiri di depannya, paling-paling tingginya hanya mencapai pundaknya. Kedua matanya hanya melihat dingin tapi tidak terlihat ekspresi apapun di wajahnya.
Di sebelah kanannya adalah seorang La Ma (biksu Tibet). Memakai baju biksu berwarna merah dan selempang berwarna emas yang dipakai di sebelah kanannya. Tangannya memegang sebuah sekop berbentuk seperti gigi. Sekop itu beratnya kurang lebih 10-15 kilogram tapi pada saat dipegang olehnya seperti tidak memerlukan tenaga besar. Di kepalanya masih ada seuntai tasbih yang terbuat dari kayu berwarna merah, biji tasbih itu besar dan juga berkilau. Kedua mata La Ma ini seperti bisa mengeluarkan kobaran api. Wu Shen Si yang melihatnya, merasa jantungnya terus berdebar-debar karena terpengaruh oleh pembawaan La Ma ini.
Di kanan La Ma adalah orang yang berdandan seperti suku bangsa Nu Zhen, perawakannya tinggi dan kurus. Kesepuluh jarinya berbentuk seperti cakar elang, panjang dan lancip-lancip. Dengan wajah seram dia melihat Wu Shen Si. Membuat hati Wu Shen Si menjadi dingin. Di sebelah kiri orang Qi Dan itu ada satu orang bersuku Han. Usianya kira-kira 50 tahun, wajahnya seperti tikus, memakai baju putih yang terbuat dari sutra, terlihat sangat mewah. Kumisnya seperti kumis kucing. Tangan kirinya memegang sebuah panji bertuliskan ‘Song’. Tangan kanannya memegang panji bertulisan huruf ‘Jin’. Langkah kakinya pada saat berjalan seperti angka delapan (huruf China). Di pinggangnya masih terselip sempoa besi berwarna hitam. Dia menyipitkan matanya. Dengan pandangan tidak bersahabat dia menatap Wu Shen Si.
Di sisi kiri dan kanan orang itu, masih ada 2 orang laki-laki bangsa Mongolia. Badan mereka tinggi juga besar. Lebih kasar dan besar dari orang Qi Dan itu, wajah mereka tampak sangat keras. Daging di seluruh tubuh mereka menggelembung seperti panci besi. Dalam setengah jurusnya, Cai Bu Pin langsung terpukul mati. Kedua orang Mongolia itu memiliki wajah dan perawakan hampir sama. Mereka berdiri dengan sikap sangat sombong, tapi menghormati kelima orang itu.
0-0-0
Wu Shen Si menahan kesedihan di dalam hatinya. Dengan marah dia berkata, “Kalian tidak minta ijin terlebih dulu, langsung masuk ke perusahaan Biao kami, setelah itu membunuh orang-orang perusahaan Biao dan juga membunuh adik ketiga. Sebenarnya apa tujuan kalian?”
Orang-orang perusahaan Biao itu yang telah kalah di tangan ketujuh orang itu. Melihat musuh dengan mudah bisa membunuh orang ketiga terkuat di perusahaan ini, mereka tidak bersuara. Begitu mendengar Wu Shen Si bertanya, merekapun ikut marah, “Penjahat, apa mau kalian sebenarnya!”
“Anjing Jin, kalian cari mati saja!”
“Kurang ajar! Ketua Biao dan wakil ketua kami akan menangkap kalian lalu melemparkan kalian ke sungai sebagai makanan ikan….”
Cambang laki-laki yeng bersenjata Sempoa itu tampak bergerak-gerak. Sambil tertawa dia berkata, “Oh! Daging cincang yang tergeletak di bawah ini, apakah dia adalah Pendekar Ketiga Cai? Kami mohon maaf!”
Mendengar kata-kata itu, orang-orang yang ada di sana semakin marah. Wu Shen Si yang lebih berpengalaman, segera bertanya, “Apakah Tuan adalah si Sempoa Besi dari He Bei Xi Wu Hou, Tuan Xi?”
Orang itu tertawa, “Benar. Aku masih mempunyai julukan jelek lainnya yaitu, apapun akan kujual jika mati tidak akan mempunyai keturunan. Jika tidak ada lagi yang ingin disampaikan oleh Pendekar Wu, biar aku membantu Anda memberitahu.”
Orang-orang perusahaan Biao mendengar semua perkataannya. He Bei Xi Wu Hou terkenal menjual segala apapun, hati nurani, wajah, negara, rumah, sampai istri dan putra putrinya sekalipun. Asalkan dia bisa menjadi kaya dan makmur, mempunyai kekuasaan dan uang, dia pasti tega menjual semuanya. Dia bernama Xi Wu Hou karena orang-orang persilatan membencinya karena dia sering mengkhianati teman, maka mereka memanggilnya dengan sebutan Si Wu Hou (Mati tidak ada turunan).
Wu Shen Si tahu kalau dia adalah Xi Wu Hou, karena di dunia persilatan yang bisa menjadikan sempoa besi sebagai senjata dan memiliki ilmu silat sangat tinggi, hanya ada 3 orang, dan salah satu di antaranya bernama Sempoa Emas, Xin Wu Er. Menurut orang-orang, dia sangat tampan. Sedangkan yang satu lagi bernama Tuan Sempoa, Bao Xian Ding. Menurut orang-orang yang pernah bertemu dengannya, dia berperawakan pendek, gemuk, dan dia berdandan seperti seorang pedagang. Kedua orang itu berpandangan sangat lurus. Satu-satunya yang tega menjual segala sesuatu hanya Xi Wu Hou. Dia sangat licik, kejam, dan berbahaya. Dia tega menjual negara untuk mendapatkan kemakmuran. Dia menjadi seorang pengkhianat dan dibenci oleh orang-orang.
Begitu nama Xi Wu Hou terlontar, orang-orang perusahaan Biao terdiam karena dia memang terkenal karena kejamnya dan liciknya.
Pikiran Wu Shen Si dengan cepat berputar. Dia tahu di antara ketujuh orang itu, Xi Wu Hou dan kedua orang Mongolia itu, ilmu silatnya lebih tinggi darinya. Sedangkan keempat orang lainnya, belum diketahui sampai sejauh mana kemampuan ilmu silat mereka. Hatinya terus mengeluh.
Terdengar Xi Wu Hou tertawa licik, “Kau lihat, ini apa?” Dia melambaikan-lambaikan kedua panji yang dipegangnya.
Wu Shen Si menjawab dengan tenang, “Panji itu bertuliskan panji kerajaan Song dan satu lagi adalah kain perca milik penjahat Jin!”
Xi Wu Hou tertawa dingin, “Panji kerajaan?” Dia melemparkan panji kerajaan Song, kemudian menginjak-injaknya.
Orang-orang perusahaan Biao Huai Yang tidak kuat menahan penghinaan ini, mereka segera maju menyerang. Wu Shen Si ingin melarang tapi sudah tidak sempat.
Dua orang perusahaan Biao yang berada di tengah-tengah udara ditangkap oleh sepasang tangan kemudian tenggorokan mereka dicekik. Hanya sebentar kedua orang perusahaan Biao itu tampak matanya melotot dan lidahnya terjulur keluar. Mereka sudah mati. Orang Mongolia itu yang telah membunuh mereka.
Keadaan menjadi geger. Ada yang mencabut pedang untuk menyerang orang Mongolia itu. Tiba-tiba terdengar suara bentakan seperti guntur, “Hentikan! Jangan ingin mati konyol!”
Orang-orang perusahaan Biao mendengar suara ini. Mereka segera berhenti. Wu Shen Si merasa sangat senang. Dia memanggil, “Da Shi Xiong (kakak tertua).”
Semua orang perusahaan Biao dengan hormat memanggil, “Ketua Biao.”
Rambutnya sudah memutih, begitu juga dengan alisnya, dia terlihat sangat berwibawa. Dia adalah ketua Perusahaan Biao, Li Long Da. Ilmu telapak Jiang Tian Zhang yang dimilikinya sangat terkenal di Huai Bei. Ilmu silatnya jauh berada di atas Wu Shen Si. Wu Shen Si tampak menjadi tenang.
Begitu melihat ada orang yang masuk ke perusahaan Biao, dia tahu kalau mereka bukan orang baik-baik. Dia sudah menyuruh orang pergi ke rumah Li Long Da dan memanggil Li Long Da untuk membantunya. Begitu Wu Shen Si melihat Kakak tertuanya sudah datang, dia tahu kalau Li Long Da pasti mempunyai cara menghadapi orang-orang jahat ini, maka hatinyapun merasa sangat tenang.
Langganan:
Postingan (Atom)