Selasa, 06 Juli 2010

Tiga Ilmu Sakti

Bab 1

Sam-ciat-tong (Goa tiga kehebatan)

Gunung Go-bi berada di barat daya kecamatan Go-bi propinsi Sucuan, gunung utamanya merupakan rentetan dari pegunungan Beng, setelah sampai di kecamatan Go-bi menjulang menjadi Tay-go-san, Tiong-go-san, dan Su-go-san, tiga bukit yang indah, tiga gunung ini menyatu hingga disebut “Sam-go-san”.

Tay-go-san daerahnya bergoa-goa, lembahnya banyak dan berbatu-batu. Dari kaki gunung sampai perut gunung harus melewati jalan setapak yang datar seperti benang sekitar 60 lie, maka tempat ini dikatakan “Tidak berbahaya mendaki gunung curam”

Tiong-go-san berada di selatan kecamatan Go-bi, Su-go-san lebih ke selatan lagi dari Tiong-go, dua-duanya tidak semegah dan seindah Tay-go-san.

Gunung Go-bi termasyur dengan Ban-hud-teng (Bukit selaksa Budha) Kim-teng ( Bukit emas) dan Jian-hud-teng (Bukit seribu Budha), jarak Pau-kok-sie (Kuil Bela negara) sampai Ban-hud-teng sejauh 130 lie, goa-goanya sunyi dan besar, pepohonannya rimbun, batu-batuannya cantik, banyak kelenteng-kelenteng ternama dan kuil-kuil kuno di sana, semua menambah keasrian...

Cerita ini dimulai dari Su-cio-ti (Kolam Pemandian Gajah)

Su-cio-ti adalah sebuah kuil yang dibangun di bukit setinggi 4000 lie lebih, bangunannya bertingkat-tingkat, tinggi seperti menggantung, berbelok-belok dan berlegok-legok, pemandangannya cantik menawan.

Di empat sisi kuil terdapat pohon-pohon cemara berumur ribuan tahun, berdahan besar dan beranting lebat, seperti raksasa menjulurkan lengan memainkan kepalan, beraneka ragam bentuknya tidak ada mengalah kan.

Di dalam aula besar terdapat patung dewa-dewi dan para pujangga yang duduk di atas gajah putih, penampilannya sangat gagah perkasa.

Suatu hari pagi-pagi di musim semi seorang Siauw-see-bie (Hweesio kecil) sedang menyapu jalan setapak di luar kuil, tiba-tiba merasa sapunya menyen-tuh sepasang kaki, dia mengangkat kepalanya, melihat ke atas dan terkejut.

Ternyata di depannya sudah berdiri seorang laki-laki yang berumur setengah baya dengan dandanan seperti seorang perwira, di pinggangnya tergantung sebuah pisau, wajahnya sangat menyeramkan.

Hweesio kecil ini sangat takut, cepat-cepat dia muncur beberapa langkah sambil berkata:

”Maat Tuan!” aku…aku tidak melihat…

Perwira ini tidak marah, mukanya menebarkan seberkas senyuman seraya berkata:

”Hweesio cilik, aku mau bertanya, apakah jalan setapak ini bisa menuju ke Ban-hud-teng?”

Hweesio kecil itu cepat-cepat menjawab:

”Ya!Ya!”

”Kemana arah jalannya?”

”Dari jalan ini terus ke atas, naik tanjakan Lo-han, melewati bukit kemudian jalannya berbelok sampai melewati kuil Toa-tan, tangga Ho-sin dan Kuil Pek-hun sampai bertemu dengan tanah lapang Lui-tong setelah itu terdapat aula Cia-eng dan melalui jembatan 7 hari, disana ada jalan bercabang tiga, yang kanan ke Ban-hud-teng, yang tengah ke Kim-teng, dan yang kiri ke Bo-in-an…..”

Perwira itu jadi tidak sabar mendengarnya, segera saja memotong:

”Yang aku inginkan ke Ban-hud-teng.”

”Ya! Ya! Tuan mau ke Ban-hud-teng, tapi Tuan harus ke Kim-teng dulu, Kim-teng adalah aula utama kuil Sam-hiang. Tuan bisa makan siang disana, lalu mengikuti jalan terus naik ke atas, sampailah di Ban-hud-teng.”

Perwira itu mengangguk. Dia bertanya lagi:

”Kabarnya diperut gunung, di belakang Ban-hud-teng ada sebuah Sam-ciat-tong?”

Air muka hweesio kecil itu sedikit berubah, dia berkata:

”Ya, aku pernah mendengar ada sebuah goa di tebing terjal itu, tapi aku sendiri belum pernah ke sana, makanya aku kurang tahu pasti.”

Perwira itu berkata lagi:

”Apakah kau pernah bertemu dengan Sam-ciat Lojin?

Hweesio kecil itu menggelengkan kepala seraya berkata:

”Tidak! Tidak!

”Kalau dengan tiga orang muridnya?”

Hweesio kecil itu tercengang:

”Tiga orang murid?”

”Murid sulungnya Tiong Ang, yang ke dua Ong Sit, dan yang ke tiga seorang nona bernama Hie Pak-eng.”

Hweesio kecil dengan gagap berkata:

”Yang ini….yang ini…”

”Kabarnya mereka dalam satu dua hari ini akan tamat belajar dan akan turun gunung!”

Hweesio kecil itu menggelengkan kepalanya lagi:

”Yang ini aku tidak tahu, tidak…tidak pernah mendengar.”

Dengan tertawa perwira berkata:

”Terima-kasih”

Selesai berkata lalu dia pergi dengan langkah besar menuju jalan setapak, dia tidak berlari tapi dalam beberapa kejap saja sudah menempuh jarak berpuluh-puluh tombak dan segera lenyap di kejauhan.

Setelah perwira itu tidak terlihat lagi, hweesio kecil itu kembali lagi menyapu jalan setapak. Tidak lama kemudian datang lagi seseorang dari jalan kecil di bawah. Karena jalannya kecil dia segera menyingkir ke pinggir agar orang itu bisa lewat. Tapi orang itu telah lebih dulu berhenti beberapa langkah, dan dengan tertawa berkata:

”Hweesio cilik, selamat pagi!”

Orang ini kira-kira berumur 50 tahunan, alisnya tebal merebah, dua matanya seperti lonceng kecil dan berewokan, dandanannya seperti orang biasa tapi tampak lebih garang dari perwira tadi.

Hweesio kecil ini setiap pagi menyapu jalan setapak tapi baru kali ini dalam satu hari berturut-turut bertemu dengan dua orang yang tidak dikenal. Dalam hati ia merasa aneh, segera dengan sopan dia menyapa:

”Selamat pagi!”

Orang tua itu berkata:

”Aku mau bertanya, apakah jalan ini menuju Ban-hud-teng?”

”Betul.”

”Kemana arah jalannya?”

Dengan sabar Hweesio kecil ini memberi penjelasan lagi.

”Terima-kasih!” kata orang itu, “kabarnya di Ban-hud-teng ada Sam-ciat-tong yang terletak di tebing terjal perut gunung, apa benar ada seorang tua hebat yang bernama Sam-ciat Lojin?”

Hweesio kecl terbengong-bengong, diam-diam berkata dalam hatinya:

”Aneh, Sam-ciat Lojin sudah beberapa puluh tahun tidak pernah meninggalkan gunung, kenapa hari ini bisa ada dua orang secara bersamaan mencari dia?”

Orang tua ini merasa aneh melihat Hweesio kecil tidak menjawab pertanyaannya, maka ia bertanya lagi:

”Ada tidak?”

Dengan ragu-ragu Hweesio kecil itu menjawab:

”Hweesio tidak mau berbohong, aku…. aku pernah mendengar nama ini, tapi belum pernah bertemu.”

Orang tua berkata:

”Dia mendidik tiga orang murid yang tua bernama Tiong Ang, yang kedua bernama Ong Sit, murid ketiga seorang perempuan bernama Hie Pak-eng, apa kau pernah tahu?”

”Yang ini…Yang ini…”

Dengan tertawa orang tua berkata lagi:

”Hweesio tidak sembarangan bicara!”

“Betul, aku pernah mendengar tapi kurang jelas….” Kata hweesio kecil.

”Kabarnya dalam satu-dua hari ini mereka akan tamat belajar dan akan meninggalkan gurunya.”

Hweesio kecil menggelengkan kepala:

”Yang ini aku tidak tahu.”

Orang tua ini tertawa-tawa, seperti angin saja, sekelebat melewati hweesio kecil, sekejap saja sudah menghilang di jalan setapak!

Pikiran Hweesio kecil jadi bingung, tapi kerena masih kecil dia tidak terlalu menghiraukannya, dan dia pun kembali menyapu lagi.

Dia menyapu terus ke bawah, waktu pekerjaan-nya telah selesai dan dia hendak kembali ke kuil tiba-tiba dia merasa pening, sudah ada seseorang lagi berdiri di depannya.

Kali ini juga seorang tua, umurnya lebih tua dari orang tadi, tapi rupanya sopan dan mengenakan baju hijau seperti seorang guru sekolah.

Hweesio kecil itu tercengang dan berkata:

”Tuan hendak ke Ban-hud-teng?”

Sambil tersenyum-senyum orang tua berbaju hijau ini berkata:

”Betul Suhu kecil!” bagaimana kau bisa tahu aku mau ke sana?”

Tadinya Hweesio kecil ini ingin mengatakan bahwa sebelumnya sudah ada dua orang menanyakan jalan menuju Ban-hud-teng. Tapi dia berpikir jangan merepotkan Sam-ciat Lojin lagi. Lalu dia berkata:

”Tentu saja, sebab pelancong yang sampai di Su-cio-ti, pasti akan mengunjungi ke Ban-hud-teng.”

Orang tua berbaju hijau berkata:

”Kau pintar sekali.”

Hweesio kecil sekali lagi memberi tahu tentang jalan menuju ke Ban-hud-teng.”

Orang tua berbaju hijau itu mengucapkan terima-kasih dan juga menanyakan pertanyaan yang sama dengan dua orang terdahulu:

”Kabarnya di tebing terjal di belakang Ban-hud-teng tinggal Sam-ciat Lojin, dia mendidik tiga orang murid, yang tua bernama Tiong Ang, yang ke dua bernama Ong Sit dan yang ke tiga bernama Hie Pak-eng, seorang perempuan yang cantik. Apa betul begitu?”

Hweesio kecil tetap menjawab dengan perkataan:

“Tidak begitu jelas”

Orang tua berbaju hijau berkata lagi:

”Kau tinggal di gunung Go-bi, seharusnya tahu disini ada Sam-ciat Lojin, “Liong-to” (Pisau Naga), “Go-koan” (Kepalan Angsa), dan “Lu-seng-cu” (Pelor untaian bintang) adalah tiga macam kepandaian yang dimiliki-nya, yang tiada taranya di zaman ini dan tidak ada tandingannya di dunia ini.”

Hweesio kecil menggeleng kepala sambil berkata:

”Hweesio tidak sembarangan bicara, aku benar-benar tidak tahu pasti.”

Orang tua berbaju hijau menanya lagi dengan jelas jalan menuju Ban-hud-teng, setelah itu dia segera pergi melayang, caranya cepat dan aneh. Sama seperti perwira dan orang tua tadi, mereka adalah jago-jago kelas satu di dunia persilatan.

Cuasa masih awal musim semi. Hawa di Ban-hud-teng tetap masih dingin menusuk tulang, seperti musim dingin di utara saja, tidak ada bedanya.

Ban-hud-teng adalah tanah datar, berdiri di sana orang bisa melihat ke empat sisi penjuru, diatas ada langit yang biru, di bawah bukit awan putih bergumpal-gumpal, ada bukit yang menggumpal di bawah awan seperti rebung keluar dari tumpukan salju, sungguh pemandangan yang indah sekali.

Go-bi adalah daerah terindah di seluruh negeri, dalam 10 hari, 8 hari selalu mendung. Tapi hari ini cuaca terlihat cerah, saking cerahnya kita bisa melihat “Sinar Budha” yang termasyur di seluruh negeri.”

Yang dimaksud “Sinar Budha” adalah di atas lautan awan ada lingkaran besar bertumpuk berwarna-warni seperti cakrawala sehabis hujan, amat menakjub-kan dan sangat indah.

Sekarang masih tengah hari, para pelancong bisa naik sampai Ban-hud-teng, biasanya para pelancong makan siang dan beristirahat di kuil ini. Tapi sekarang hanya ada seorang di atas Ban-hud-teng, orang ini seorang hweesio tua. Dia amat bersahaja, berjubah, duduk di sisi lapangan menghadap ke timur, pelupuk-nya menutup mata seperti sedang bertapa, sama sekali tidak bergerak.

Saat ini si perwira sudah tiba di Ban-hud-teng. Begitu melihat hweesio tua itu, segera dia memberi salam dengan merangkapkan kedua belah tangan:

”Salam buat Taysu!”

Dua mata hweesio itu membuka sedikit, dari dalam matanya menyorot sinar yang tajam, dua telapak tangan menyatu membalas salam seraya berkata:

”O-mi-to-hud, Tuan ada keperluan apa?”

”Aku mau bertanya, apakah tempat ini Ban-hud-teng?” Kata si perwira

”Betul!”

”Apa Taysu tahu dimana letaknya Sam-ciat-tong?”

Dengan wajah tenang hweesio tua itu berkata:

”Ada keperluan apa Tuan ke Sam-ciat-tong?”

”Aku tidak akan ke goa itu.”

”Kalau tidak mau kesana, buat apa bertanya tempat itu?”

”Aku hanya mau tahu tempatnya saja!”

”Jauh di awan sana, entah dimana dalam gunung ini.

Sambil tertawa perwira bertanya:

”Boleh aku mengajukan satu pertanyaan lagi?”

”Yang tahu dijawab, yang tidak tahu maaf saja.”

”Kabarnya dalam satu-dua hari ini ketiga murid Sam-ciat Lojin akan tamat belajar dan akan meninggal-kan gurunya, Apa kabar ini betul?”

”Masalah ini aku tidak tahu.”

”Bolehkah aku bertanya satu hal lagi, kalau ketiga murid Sam-ciat Lojin mau turun gunung, apa pasti harus melewati Ban-hud-teng ini?”

”Mungkin.”

Dengan gembira perwira berkata:

”Bagus, kalau begitu aku tunggu disini saja!”

Selesai bicara, perwira berjalan ke pinggir dan duduk di tanah.

Hweesio tua itu menutup mata lagi, duduk meneruskan kegiatannya, sejuta urusan di dunia ini seperti tidak ada hubungan apa-apa dengan dia.

Tidak lama kemudian, orang tua yang berewokan juga tiba diatas Ban-hud-teng, dia melihat perwira itu, mukanya terlihat tercengang, dia berjalan ke depan hweesio tua dengan kedua tangan dirangkapkan berkata:

”Salam buat Taysu!”

Pelan-pelan hweesio tua membuka mata, dengan dua telapak dirapatkan dia berkata:

”Tuan ada keperluan apa?”

”Maaf, aku mau bertanya, apakah tempat ini yang bernama Ban-hud-teng?”

“Betul!”

“Dimana Sam-ciat-tong nya?”

“Jauh di awan sana, entah dimana dalam gunung ini!”

“Kabarnya dalam goa itu tinggal seorang jago luar biasa yang dipanggil Sam-ciat Lojin?”

“Betul!”

“Ada kabar lain mengatakan Sam-ciat Lojin ini punya tiga orang murid, yang tua bernama Tiong Ang, yang kedua bernama Ong Sit dan yang ketiga bernama Hie Pak-eng?”

“Hmmm!”

“Katanya dalam satu-dua hari ini mereka akan tamat belajar dan turun gunung?”

“Masalah itu aku tidak jelas!”

“Taysu kenal Sam-ciat Lojin?”

“Dalam setahun jarang sekali bertemu muka.”

“Kalau tiga orang muridnya mau turun gunung, apa harus melalui Ban-hud-teng ini?”

“Mungkin saja!”

“Terima-kasih!”

Setelah mengucapkan terima kasih orang bere-wokan ini mencari tempat di pinggir untuk duduk.

6 komentar:

  1. tolong link nya dong.txs

    BalasHapus
  2. maaf, ini belum ada versi ebook-nya, yang ada versi cetaknya

    BalasHapus
  3. maaf suhu,versi cetaknya terbitan siapa dan pengarang tiga ilmu sakti siapa

    BalasHapus
  4. maaf suhu cersil tiga ilmu sakti karangan siapa dan penerbit di indonesia siapa

    BalasHapus
  5. penerbit buku ini adalah seeyan Tjin Djin

    BalasHapus
  6. bukunya bisa didapat dimana suhu ? kaya ni cerita seru bgttttttttttttttttttttttttttt, tolong pencerahanya suhu.

    BalasHapus