Selasa, 06 Juli 2010

Seruling emas Teratai Giok

Pengarang : Dong Fang Yu

Rating :
««««

BAB 1



Sahabat puluhan tahun



Empat puluh li di barat laut kabupaten Seng provinsi Ciat-kang, ada satu Ngo-liong-san, dengan lima bukit berderet laksana naga berlilit, termasyur dengan keaneka ragaman bentuk batu laharnya.

Di sebelah selatan lereng gunung Ngo-liong, berdiri satu perumahan yang amat besar, itulah Ngo-liong-cung yang sangat termasyur di dunia Kangouw.

Saat ini pertengahan bulan dua, musim semi di Kang-lam datangnya lebih awal, musim yang sangat menyejukan.

Hari ini tidak ada hujan, matahari bersinar, dari langit yang biru menyorot miring ke bawah, membuat orang merasakan sedikit kehangatan!

Di lapangan tempat latihan silat di depan Ngo-liong-cung, ada dua puluh pemuda berbaju ringkas, di bawah sorot matahari sedang berlatih jurus Ngo-liong-koan (Pukulan lima naga), sambil berteriak tangannya mencengkram dan mencakar, walau pun jurusnya yang tidak sesuai dengan yang diajarkan, tapi suaranya keras dan mengerahkan tenaga penuh.

Di sebelah timur Ngo-liong-cung ada satu jalan besar dari batu yang bersusun ke depan perumahan, saat ini ada seorang pemuda berbaju hijau sedang menelusuri jalan batu itu menuju perumahan, tampak dia datang dari luar daerah dan sedang mau bertanya, tapi karena semua orang sedang berlatih ilmu silat, dia terpaksa berhenti di pinggir lapangan berlatih, tapi tindakannya ini jadi melanggar larangan dunia Kangouw, jika seseorang sedang berlatih ilmu silat, menurut aturan orang luar tidak boleh melihatnya.

Karena jalan ini, mulai dari belokan mulut gunung adalah jalan pribadi Ngo-liong-cung, biasa-nya jarang sekali ada orang luar yang datang.

Baru saja pemuda berbaju hijau menghenti-kan langkahnya, di lapangan latihan sudah ada orang berteriak:

”Hei! Kau sedang berbuat apa?”

Orang-orang yang sedang berlatih silat, men-dengar teriakan ini semuanya jadi berhenti, semua sorot mata menatap pada pemuda berbaju hijau itu.

Salah seorang berjalan menghampiri dia dan berteriak:

”Kau tahu tidak tempat apa ini? Kenapa kau sembarangan masuk?”

Buru-buru pemuda berbaju hijau mengepal-kan tangan bersoja:

”Caysia Cho Siau-hoa, mohon tanya pada Toako, apakah di sini Ngo-liong-cung?”

Laki-laki yang menghampiri, melihat Cho Siau-hoa berkatanya sopan, amarahnya jadi sedikit menurun, dia menganggukan kepala:

”Tidak salah, ini memang Ngo-liong-cung, sobat datang ke tempat kami ada urusan apa?”

Cho Siau-hoa berkata:

”Caysia mendapat titipan orang, sengaja datang kemari ingin bertemu dengan Toa-sianseng.”

“Ooo,” laki-laki itu segera berkata, ”ternyata sobat ini datang untuk menemui Toako kami, silah-kan masuk.”

Habis berkata, dia mengangkat tangan mem-persilahkan tamunya, membawa Cho Siau-hoa naik ke tangga batu dan masuk ke dalam pintu gerbang, terus jalan sampai ke ruang tamu di pekarangan sebelah kiri, lalu mempersilahkan Cho Siau-hoa duduk, seorang pelayan perumahan segera menye-diakan teh.

Kata laki-laki itu sambil tersenyum:

”Sobat Cho silahkan tunggu sebentar, aku segera memanggil Toako keluar.”

”Merepotkan saudara saja,” kata Cho Siau-hoa.

Laki-laki itu mengepalkan tangan, lalu mem-balikan tubuh pergi keluar. Tidak lama kemudian masuk seorang laki-laki setengah baya memakai mantel rompi berwarna biru langit, wajahnya pesegi, kulitnya putih, dia melihat pada Cho Siau-hoa, sambil mengepalkan tangan berkata:

”Heng-te Beng Ta-jin, saudara Cho ber-kunjung keperumahan kami, ada keperluan apa?”

Cho Siau-hoa buru buru mengepalkan tangan bersoja:

”Caysia datang kemari ingin bertemu dengan Toa-sianseng.”

Beng Ta-jin tertegun lalu berkata:

”Urusan perumahan kami, semua aku yang urus, jika saudara Cho ada keperluan, bicara saja padaku.”

Cho Siau-hoa merasa kesulitan:

”Betul sekali kata Beng-loko, sayang aku men dapat titipan orang, jadi harus bertemu langsung dengan Toa-sianseng.”

Beng Ta-jin tersenyum:

”Toa-sianseng yang saudara maksudkan itu, mungkin pamanku, dulu semua orang menyebut beliau Toa-sianseng, kemudian merubahnya jadi Toa-loyacu, karena di dalam saudara-saudara, aku yang paling tua, maka semua orang sekarang menye-but aku Toa-sianseng.”

Cho Siau-hoa diam diam bersuara “Ooo!” sekali, lalu berkata sambil mengepalkan tangan berkata:

”Kalau begitu benar kata-kata anda, yang ingin aku temui adalah paman anda.”

Beng Ta-jin merasa kesulitan dan berkata:

”Maafkan saudara, pamanku sudah tua, sudah lama tidak menemui orang luar, sebenarnya saudara ada keperluan apa, bicara padaku juga sama, jika aku tidak bisa memutuskannya, tentu akan menanyakannya pada pamanku, entah pendapat saudara bagaimana?”

Cho Siau-hoa menganggukan kepalanya:

”Boleh juga, sebulan yang lalu, di Hang-ciu cayhe bertemu dengan seorang tua yang pincang kakinya, karena dia sulit berjalan, dia menitipkan pesan padaku untuk bertemu dengan Toa-sianseng, dan juga menitipkan sebuah perhiasan giok, untuk diserahkan langsung pada Toa-sianseng……”

Beng Ta-jin berdiri dan berkata:

”Jika begitu, mohon saudara tunggu sebentar, aku melapor dulu pada pamanku, baru membawa kau menemuinya.”

Habis berkata, dia cepat-cepat berjalan keluar.

Kali ini sampai setengah jam menunggu, baru terlihat Beng Ta-jin masuk kembali, sambil bersoja dia berkata:

”Pamanku sudah menunggu di ruangan belakang, silahkan saudara ikut denganku.”

Dia membawa Cho Siau-hoa berjalan ke-belakang, di belakang ini masih ada pekarangan, kedua sisinya adalah koridor, di atas tangga batu adalah rumah besar dengan tiga kamar, di depan rumah ada papan merk, tertulis empat huruf besar ‘Ping-ling-si-ke’ (keluarga pejabat dari Ping-ling).

Cho Siau-hoa mengikuti Beng Ta-jin melang-kah masuk ke ruangan besar, terlihat dekor di dalam ruangan sangat mewah, seperti ruangan keluarga bangsawan.

Di tengah ruangan ada tiga kursi kayu Tan ungu berlapis selimut, duduk tiga orang tua mema-kai mantel panjang berwarna tembaga.

Beng Ta-jin membawa Cho Siau-hoa ke depan tiga orang tua itu dan diperkenalkan pada Cho Siau-hoa, dia menunjuk yang orang tua berambut ubanan yang di tengah yang wajahnya merah dan berkata:

”Ini paman sulungku.”

Lalu menunjuk orang tua di kiri berambut putih:

”Ini ayahku.”

Lalu menunjuk orang tua di kanan yang berambut hitam berwajah merah:

”Ini paman ke tigaku.”

Di dalam hati Cho Siau-hoa tahu yang mau dia temui adalah orang tua yang ada di tengah, maka dia membungkuk dan bersoja pada tiga orang tua itu dan berkata:

” Cho Siau-hoa menghadap pada tiga Lo-cianpwee.”

Beng Ta-jin di pinggir sudah memotong:

”Lapor Toa-pekhu, dialah Cho Siau-hoa, orang yang mendapat titipan itu, dia dari Hang-ciu datang kemari untuk bertemu dengan anda.”

Ternyata ke tiga orang tua ini adalah pemilik Ngo-liong-cung, Toa-cungcu Beng Ku-lie, Ji-cungcu Beng Ku-ie, Sam-cungcu Beng Ku-lian.

Keluarga Beng sudah beberapa generasi tinggal di Ngo-liong-san, ilmu silat keluarganya dari aliran tersendiri, di dunia Kangouw mereka juga disebut Ngo-liong-bun. Sekarang ke tiga pemilik perumahan ini sudah berusia di atas enam puluh tahun, urusan perumahan semuanya diurus oleh putra sulung generasi ke dua, Beng Ta-jin.

Sepasang sorot mata Beng Ku-lie menatap tajam pada Cho Siau-hoa, lalu mengangkat tangan mempersilahkan:

”Cho-siangkong sudah datang dari jauh, silah-kan duduk.”

Cho Siau-hoa membungkukan tubuh lalu duduk di kursi pinggir.

Meng Yuli bertanya:

”Kudengar dari keponakanku, Cho-siang kong ingin bertemu denganku atas titipan orang lain, entah siapa sebutan teman anda itu?”

Cho Siau-hoa sedikit membungkuk, katanya:

”Lo-cianpwee, aku hanya mendapat titipan saja, tapi orang itu bukan temanku……”

Beng Ku-ie yang duduk di sebelah kiri ber-kata sinis:

”Jika orang ini bukan teman Cho-siangkong, bagaimana mungkin Cho-siangkong mau jauh-jauh dari Hang-ciu khusus datang ke Ngo-liong-san?”

”Terus terang saja, bulan lalu aku berkenalan dengan dia di satu penginapan Hang-ciu, dia men-dengar logatku seperti dari Siau-sing, ,maka dia minta tolong menitipkan sebuah benda ke kabupaten Seng, kebetulan urusanku di Hang-ciu sudah selesai, dan dalam perjalanan pulang ke rumah, maka aku menerimanya.”

”Apakah dia pernah memberitahukan pada mu siapa namanya?” tanya Beng Ku-lie

”Nama dia Cai Pak-jin.”

“Cai Pak-jin?” Beng Ku-lie mengerutkan alis, sambil berpikir berkata:

”Aku tidak kenal dengan teman yang marga-nya Cai ini, mmm, dia titip padamu menemui aku, ada keperluan apa?”

Cho Siau-hoa mengeluarkan satu perhiasan giok dari dalam dadanya, dengan kedua tangan mengangsurkannya, sambil berkata:

”Orang tua marga Cai ini, karena sebelah kakinya pincang, tidak leluasa berjalan, maka menitipkan padaku perhiasan giok ini untuk di-sampaikan ke tangan Lo-cianpwee……”

Sambil bicara, mengangsurkan perhiasan giok itu ke depan Beng Ku-lie.

Beng Ku-lie mengulurkan tangan menerima, mendadak wajahnya berubah besar, tangan yang memegang perhiasan giok gemetaran sejenak, sorot matanya yang dingin berkilat, dengan keras berkata:

”Dia… mengatakan apa lagi? Cepat… kata-kan!”

Cho Siau-hoa jadi tertegun, sambil menatap lalu berkata:

”Cai-lopek berpesan lagi, Lo-cianpwee bagai-mana pun harus menyerahkan perhiasan giok ini pada keponakan wanita anda……”

”Dia masih mengatakan apa lagi?” nada bicaranya tampak cemas sekali.

”Cai-lopek mengatakan, supaya keponakan anda itu membawa perhiasan giok ini, pergi ke Hang-ciu menemuinya.”

”Apakah dia masih ada di Hang-ciu?” tanya Beng Ku-lian.

”Mendengar nada bicaranya, tampak masih akan tinggal di Hang-ciu beberapa saat lagi?”

Beng Ku-lian melihat pada Beng Ku-lie:

”Menurut Toako apakah dia itu?”

“Sulit dikatakan.”

Sebelah tangan Beng Ku-lie memegang per-hiasan giok itu, sorot matanya tanpa berkedip menatap perhiasan itu:

”Seharusnya hal ini tidak mungkin……tapi perhiasan giok ini jelas-jelas miliknya……” berkata sampai di sini, dengan serius menatap pada Cho Siau-hoa dan berkata:

”Sobat kecil ini apanya Ceng Ci-kiu? Apakah dia benar ada di Hang-ciu?”

“Ceng Ci-kiu?” Cho Siau-hoa keheranan, kata nya, ”aku tidak pernah mendengar nama orang ini.”

Beng Ku-lian tertawa dingin:

”Bukankah kau diutus olehnya?”

”Kenapa Lo-cianpwee berkata begitu, nama-nya pun aku belum pernah dengar, bagaimana bisa diutus olehnya?”

Tidak menunggu ke tiga orang itu berkata, dia sudah melanjutkan lagi:

”Lagi pula aku hanya mendapat titipan dari Cai-lopek, agar menyerahkan perhiasan giok itu ke tangan Toa-sianseng, sekarang perhiasan gioknya sudah sampai ke tangan yang bersangkutan, berarti tugasku sudah selesai, maka aku tidak mau meng-ganggu lagi.”

Habis berkata, dia lalu bangkit berdiri. Baru saja mau melangkah keluar.

Beng Ku-lian berteriak dengan nada dalam:

”Berhenti.”

Cho Siau-hoa menoleh dan menghentikan langkahnya:

”Sam-sianseng masih ada keperluan apa?”

”Kau mau pergi begitu saja?”

”Yang ingin kukatakan sudah selesai kukata-kan, tentu saja harus pamit!”

”Mungkin Cho-siangkong orang dari dunia Kangouw juga, siapa guru anda?” tanya Beng Ku-lie

Dalam hati Cho Siau-hoa berkata:

‘Bagus, kalian malah mencurigaiku.’

Maka dia bersoja:

”Guruku jarang berjalan di dunia Kangouw, lebih-lebih tidak mau dikenal orang, aku tidak berani menyebut nama beliau.”

Beng Ku-lian mendengus lalu membalikan kepala berkata pada Lo-toanya:

”Benar saja bocah ini sangat mencurigakan.”

Tangan Beng Ku-lie memegang jenggotnya, sambil menganggukan kepala sedikit, mulutnya mendehem.

”Menurut pendapatku, lebih baik sementara tahan dia, tunggu setelah kita pulang dari Hang-ciu baru diputuskan, bagaimana pendapat Toako?”

”Terpaksa begitu, tapi jangan membuat ke-sulitan pada orang muda ini.”

Beng Ku-lian berbalik, menatap dingin:

”Cho-siangkong, kau tentu sudah mendengar, sementara ini kau terpaksa tinggal di sini beberapa hari.”

Lalu membalikan kepala dan menyuruh Beng Ta-jin:

”Ta-jin, kau bawa Cho-siangkong istirahat di kamar tamu, biar dia tinggal di sini beberapa hari, jangan berbuat tidak sopan padanya.”

Beng Ta-jin membungkukkan tubuhnya:

”Keponakan mengerti.”

Cho Siau-hoa mendengar mereka, mau menahan dirinya, di dalam hati berkata dengan rasa marah:

‘Aku bermaksud baik mengantarkan kabar, kalian malah mau menahan aku disini, apa di dunia ada aturan begini?”

Tapi dengan tenang dia tertawa tawar lalu berkata:

”Aku sudah mengatakan, aku hanya mem-bawakan pesan orang, perhiasan gioknya sudah ku- serahkan ke tangan Toa-sianseng, maka tugasku selesai, buat apa masih merepotkan perumahan anda, maksud baik ke tiga Cianpwee, aku terima di dalam hati saja, permisi.”

Beng Ku-lian berteriak:

”Aku ingin kau tinggal, kau harus tinggal, tidak semudah itu pergi.”

Cho Siau-hoa mengangkat alisnya, dengan lantang berkata:

”Sam-wie Lo-cianpwee adalah orang yang sudah lama terkenal, jauh-jauh aku datang meng-antarkan pesan, dan tidak melakukan kesalahan apa apa, Cianpwee ingin memaksa aku tinggal disini, mungkin tidak ada aturannya lha?”

Beng Ku-lian berkata dingin:

”Jelas sekali kau mata-mata yang diutus oleh Ceng Ci-kiu, buat apa aku mentaati aturan dunia Kangouw? Ta-jin, kau tangkap saja dia.”

Beng Ta-jin menyahut, lalu melangkah ke depan Cho Siau-hoa sambil bersoja:

”Cho-siangkong, pamanku ingin kau tinggal di sini beberapa hari, kau lebih baik ikut aku pergi ke kamar tamu, jika sampai harus bertindak, mungkin akan membuat malu Cho-heng!”

Cho Siau-hoa masih berjiwa muda, tiba-tiba dia menghadap Beng Ku-lie dan berkata keras:

”Toa-sianseng, ternyata begini cara kalian melayani tamu, bila hal ini tersebar ke dunia Kangouw, apa tidak takut memalukan nama besar Ngo-liong-cung?”

Beng Ku-lian bertambah marah mendengar-nya, teriaknya dengan keras:

”Ta-jin, kau di suruh menangkap, kenapa masih banyak bicara?”

Beng Ta-jin tahu sifat paman ketiganya yang cepat marah, sambil mengiyakan dengan nada dalam berkata:

”Cho-heng tidak usah banyak bicara lagi, aku akan membawamu.”

Habis berkata, tangan kanannya lalu bergerak mencengkram pergelangan tangan Cho Siau-hoa, jurus yang dia gunakan adalah jurus Liong-jiauw-kin-na-jiu (Ilmu tangan kosong naga mencengkram) dari Ngo-liong-cung.

Cho Siau-hoa tidak menyangka karena meng-antarkan titipan orang, dia malah dianggap mata-mata dan mau di tangkap, sekarang dia berada di perumahan mereka, jika bertarung mungkin dia sulit meloloskan diri! begitu terpikir ini, tubuhnya segera bergeser ke kiri, tangan kanan menangkis tangan lawannya.

Beng Ta-jin tidak menduga gerakan Cho Siau-hoa selincah ini, jurus Liong-jiauw-kin-na-jiu nya jadi tidak berhasil menyentuh ujung bajunya sedikitpun, tubuh lawan cepat sekali menghilang di depan mata! dan tangan kanannya dengan ringan ditangkis oleh lawan, tubuhnya tanpa bisa ditahan lagi terdorong ke depan satu langkah.

Tadinya Cho Siau-hoa berdiri saling ber-hadapan dengan Beng Ta-jin, dan Beng Ta-jin meng-hadangi jalannya, setelah menghindar ke kiri lalu mendorong Beng Ta-jin, jalannya jadi tidak ada yang menghadang, maka mengambil kesempatan ini, Cho Siau-hoa menghentakkan kaki laksana anak panah melesat keluar pintu.

Saat dia sudah hampir sampai di pintu ruang an, mendadak dia merasa di atas kepalanya ada angin keras, sesosok bayangan secepat kilat lewat di atas kepalanya dan turun di depan dia, menghalangi pintu, sambil tertawa keras berkata:

”Bocah, jangan harap kau bisa keluar dari Ngo-liong-cung, kepandaianmu masih jauh!”

Hampir saja Cho Siau-hoa menabrak orang yang menghadang, dia cepat menghentikan langkah-nya dan melihat, ternyata orang yang menghalangi-nya adalah Beng Ku-lian, di dalam hati diam-diam merasa khawatir dan berkata, ‘Sungguh cepat gerak-an orang ini!’ tidak terasa dia mundur selangkah lalu dengan marah berkata:

”Sam-sianseng mau apa?”

Beng Ku-lian tersenyum sinis, kepalanya di angkat lalu berkata:

”Tangkap dia.”

Kata-katanya ditujukan pada Beng Ta-jin, ternyata Beng Ta-jin yang terdorong ke depan, merasa cemas melihat Cho Siau-hoa yang di depan-nya sudah mau berlari keluar pintu, kakinya segera berputar mengejar keluar. Saat ini paman ke tiganya sudah lebih dulu melesat ke pintu dan menghalangi jalan Cho Siau-hoa, setelah Beng Ta-jin mengejar sampai di belakang Cho Siau-hoa, maka Beng Ku-lian suruhnya menangkap Cho Siau-hoa.

Di suruh oleh paman ketiga, tentu saja Beng Ta-jin tidak berani membantah, dia mengulurkan tangan kanan, lima jari seperti kail secepat kilat mencengkram jalan darah Kian-keng Cho Siau-hoa.

Cho Siau-hoa sedang berhadapan dengan Beng Ku-lian, saat di belakangnya ada orang men-cengkram, mau menghindar tapi sudah tidak keburu, mendadak di belakangnya terdengar suara “Bruuk!”, entah apa sebabnya Beng Ta-jin tahu-tahu sudah jatuh ke atas lantai, tidak bisa bangun lagi!

Beng Ku-lie, Beng Ku-ie bersamaan waktu bangkit berdiri.

Beng Ku-lian pun tertegun, dia tidak men-duga Cho Siau-hoa yang masih muda tapi ilmu silatnya bisa sehebat ini, sampai bagaimana cara dia menyerang Beng Ta-jin juga tidak tahu, tidak tahan wajahnya jadi berubah, sepasang tangan bersiap-siap dan berteriak:

”Bocah, kau berani diam-diam menyerang orang!”

Terdengar tawa pelan dan berkata:

”Dia sama sekali tidak menyerang, itu karena keponakanmu kehabisan nafas.”

Perkataannya ini tidak keras, tapi setiap orang di sana bisa mendengar dengan jelas, entah dari mana datangnya suara itu?

”Siapa?” teriak Beng Ku-lian.

Terdengar orang itu pelan berkata:

”Tentu saja aku!”

Suara ini seperti datang dari jauh, juga seperti berada di dalam ruangan besar, membuat orang jadi bingung!

Saat ini Beng Ku-ie sudah memapah anaknya berdiri, tapi setelah memijat mengurut seluruh jalan darah besar di tubuhnya, tetap tidak bisa membuka totokan anaknya.

Wajah Beng Ku-lie jadi serius sekali, berdiri di tengah ruangan dan berkata ke tempat kosong:

”Sobat orang pintar dari mana, jika sudah berkunjung ke Ngo-liong-cung, seharusnya datang dengan terus terang, jangan seperti sekarang, main sembunyi-sembunyi, ini bukankah akan merendah-kan kedudukan anda?”

“Betul juga!” orang itu berkata tetap dengan suara pelan, ”kalian tiga bersaudara sekarang malah bisa mengatakan kata-kata terus terang!”

“Tak!” terdengar suara logam menyentuh ke atas lantai! Tidak jauh di depan Beng Ku-lie dan Beng Ku-ie, tiba-tiba berdiri seorang tua mengenakan mantel biru, rambut di kepalanya tidak teratur, kaki kirinya pincang, kaki kirinya seperti terbuat dari besi.

Melihat orang yang datang, hati Cho Siau-hoa jadi tertegun dan berkata:

‘Bukankah dia Cai Pak-jin yang menitipkan pesan untuk disampaikan kemari, ternyata dia juga ikut di belakangku.’

Melihat orang itu sudah muncul di dalam ruangan, Beng Ku-ie khawatir melukai anaknya, buru-buru dia mengangkat tangan ke depan dada bersiap-siap dan menghadang di depan Beng Ta-jin yang sedang pingsan.

Wajah Beng Ku-lie tergetar dengan serius berkata:

”Siapa anda ini, maafkan aku tidak mengenal mu.”

Orang pincang itu tertawa tawar:

”Tidak perlu terburu-buru!” dia menunjuk pada Beng Ta-jin dan berkata lagi, ”bocah ini tadi diam-diam menyerang dari belakang pada saudara kecilku, maka aku menotoknya, jiwa anak muda amat berharga, jika nafasnya ditutup lebih lama lagi, mungkin bisa terluka dalam, biar aku membuka dulu totokannya, baru kita pelan-pelan berbicara.”

Beng Ku-ie tetap menghadang di depan anak-nya, dengan keras berkata:

”Kau mau apa?”

“Minggir, aku akan membuka totokannya.” Orang pincang itu berkata lagi, ”totokanku, hanya aku yang bisa membukanya, jika aku menginginkan nyawanya, punya seratus nyawa juga sudah dari tadi habis.”

Kata Beng Ku-lie dengan nada dalam:

”Ji-te, kau minggir saja, sobat ini kedudukan-nya tinggi, dia tidak akan sampai melukai seorang boanpwee.”

Beng Ku-ie menurut, mundur ke belakang selangkah, tapi sepasang tangannya tetap bersiap siap dengan sepenuh tenaga, matanya tanpa ber-kedip menatap orang pincang itu.

Orang pincang tidak mempedulikan, dia berjalan ke depan Beng Ta-jin setelah jaraknya tinggal satu kaki dia berhenti, tangan kirinya di krbutkan ke depan wajah Beng Ta-jin.

Tadi Beng Ta-jin dipapah ayahnya menyan-dar di meja, aneh sekali, tadi ayahnya sudah memijat dan mengurut tapi tidak bisa membuka totokannya, sekarang setelah orang pincang mengebutkan tangan ke wajahnya, dia jadi membuka matanya dan ber-teriak terkejut:

”Tia, kenapa aku tadi mendadak tertidur?”

Kejadian ini membuat Beng bersaudara yang kepandaiannya sangat tinggi jadi terkejut sekali!

Saat ini orang pincang membalikan tubuh sambil tersenyum pada Cho Siau-hoa berkata:

”Siau-ko, terima kasih, demi meng-antarkan pesanku, kau jadi mendapat perlakuan seperti ini.”

”Jika Lo-tiang sendiri bisa kemari, kenapa menitipkan pesan padaku?” kata Cho Siau-hoa dengan marah

Kata-kata dia tentu saja mengandung teguran!

“Siau-ko, kau jangan salah paham,” orang pincang menggoyang-goyangkan tangan, ”jangan menyalahkan Lo-koko, tadinya aku pikir sekalian pulang kau tinggal belok sedikit dan menyerahkan perhiasan giok itu pada Toa-sianseng dan selesai, tapi setelah dipikir-pikir lagi, pekerjaan ini ada sedikit yang tidak benar, Beng bersaudara ini bukan-lah orang yang lurus, jika sampai terjadi kesalah pahaman, bukankah akan membuat saudara jadi repot? maka Lo-koko buru-buru mengejar kemari, dan benar saja dugaan Lo-koko, benar saja Lo-tongsi (barang tua) ini melakukan kekerasan di tempatnya sendiri.”

Biasanya Beng Ku-lie menampilkan dirinya sebagai ketua satu perguruan, kali ini orang pincang ini bukan saja di depan mereka melumpuhkan Beng Ta-jin, malah dengan sinis memaki mereka bertiga, bagaimana dia bisa menerimanya? maka di berteriak:

”Sebenarnya anda ini pesilat tinggi dari mana, sekarang sudah bisa menyebutkannya bukan?”

“Bukankah kau sudah tahu kenapa masih bertanya?” orang pincang itu tertawa terbahak dan berkata lagi, ”akulah orangnya yang ingin kalian cari itu?”

Diam-diam Beng-si-sam-hiong (tiga jago marga Beng) sampai tergetar mendengarnya, kata Beng Ku-lie dengan suara gemetar:

”Kau… ini… Ceng Ci-kiu……”

“Ha ha ha!” orang pincang itu menengadah tertawa terbahak-bahak yang suaranya melengking, lalu dengan pelan berkata:

”Temanku ini bukankah sudah memberitahu-kan pada kalian? Aku ini Cai Pak-jin.”

”Apakah ini nama aslimu?” kata Beng Ku-lian.

Dengan angkuh orang pincang berkata:

”Tentu saja nama asli, hanya saja kalian tidak pantas menanyakannya.”

Beng Ku-ie mendengus sekali dan berkata:

”Kau sombong sekali!”

“Aku sedikit pun tidak sombong!” orang pincang tersenyum dan berkata lagi, ”tapi aku menggunakan nama Cai Pak-jin, memang ada maksudnya!”

Beng Ku-lie sadar orang yang datang ini berilmu tinggi, dia terpaksa menahan diri, dia hanya mendengus sedikit lalu berkata:

”Coba kau jelaskan?”

“Kenapa harus dijelaskan?” kata orang pin-cang dengan sinis, ”Cai Pak-jin, artinya sembelih yang tidak adil, apakah kalian tidak mengerti?”

“Ha ha ha!” Beng Ku-lie tertawa keras dan berkata, ”kalau begitu, kau datang memang sengaja ingin menantang Ngo-liong-cung.”

“Ha ha ha!” orang pincang juga ikut tertawa terbahak dan berkata:

”Kalau begitu, kalian Beng-si-sam-hiong mengakui diri kalian tidak adil dan tidak setia kawan?”

Beng Ku-lie jadi marah, alisnya bergetar-getar, dengan keras berteriak:

”Mana orang, bawakan senjataku kemari, hari aku ingin mencoba ilmu silatmu.”

Sebenarnya di depan pintu di ruangan kedua sudah penuh dengan anak dan keponakan Beng-si-sam-hiong, mereka hanya bersembunyi di luar men-curi lihat, siapa pun tidak berani menampakan diri. Ketika mendengar teriakan keras Toa-loya ini, semua orang berebut keluar, tidak lama kemudian, sudah ada dua orang murid menggotong satu senjata masuk ke dalam ruangan.

Itulah sebuah tongkat kepala naga berwarna merah dengan kepala naganya berwarna kuning emas, di dagunya masih ada janggut yang panjang-nya tiga kaki, sekali melihat sudah tahu, tongkat kepala naga ini saja sangat berat, apa lagi janggut yang panjangnya tiga kaki itu, di saat bertarung bisa digunakan untuk membelit senjata lawan.

Beng Ku-lie memegang bagian tengah tong-kat naga itu, lalu bangkit berdiri, sepasang matanya berkilat-kilat menatap orang pincang itu. Dengan dingin berkata:

”Kau perlu senjata apa, silahkan ambil sendiri di rak senjata.”

Orang pincang mendehem sekali:

”Aku sudah setengah abad tidak mengguna-kan senjata lagi, begini saja!” sorot matanya ber-keliling, lalu berkata pada Cho Siau-hoa yang berdiri di depan pintu:

”Siau-ko, tolong Lo-koko ambilkan ranting pohon Kui-hoa (Kelor) yang ada di depan ruangan itu, tidak perlu panjang, asal dua kaki sudah cukup.”

Kata-kata ini membuat Cho Siau-hoa dan Beng-si-sam-hiong jadi tertegun!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar