Selasa, 06 Juli 2010

Panah Kekasih

Undangan Dewa Kematian & Panah Kekasih.

Angin utara berhembus kencang, salju turun dengan derasnya membuat seluruh langit berwarna kelabu, udara terasa dingin membeku.

Di tengah hujan salju yang amat deras, terlihat seekor kuda dilarikan kencang memasuki kota Poo-ting. Derap kaki kuda yang ramai menimbulkan percikan bunga salju yang berhamburan sepanjang jalan kota.

Mendadak diiringi suara ringkikan panjang, kuda itu berhenti berlari, berhenti persis disisi sebuah bangunan rumah yang luas dan megah.

Di atas pintu gerbangnya yang berwarna hitam, di bawah tetesan air beku dari wuwungan rumah, tertancap sebuah panji besar berdasar hitam dengan gambar seekor singa merah, berkibar kencang terhembus angin.

Orang yang berada di atas kuda itu segera melompat turun dari kudanya, tanpa mengetuk pintu, tanpa berteriak memanggil, dia menjejakkan ujung kakinya ke tanah dan segera melayang masuk ke dalam halaman rumah.

“Saudara Say, dimana kau berada?” teriaknya sambil membersihkan jenggotnya dari bunga salju.

“Siapa?” dari balik ruang tengah bergema bentakan nyaring.

Pintu gedung segera dibuka lebar, secercah cahaya lentera menyinari permukaan halaman yang penuh salju. Seorang lelaki berwajah merah bermantel halus melangkah keluar dengan tindakan lebar.

Begitu melihat sang pendatang, berkilat sepasang matanya, dengan lantang bentaknya:

“Tham-samko, kenapa kau muncul disini? Cepat masuk, minumlah dua cawan arak hangat lebih dahulu”

Wajahnya kelihatan girang dan nadanya jauh lebih halus.

Tham Siau-hong berdiri mematung dengan wajah murung, sahutnya dengan berat:

“Saudara Say, apakah kau telah menerima Si-sin-tiap (surat undangan dewa kematian)?”

Tampak tubuh lelaki bermuka merah itu bergetar keras, dengan wajah berubah dia mendongakkan kepala memandang sekejap ke luar ruangan, seakan-akan sedang memeriksa apakah di sekitar wuwungan rumah ada manusia atau tidak.

Kembali Tham Siau-hong berkata:

“Walaupun tempat ini gelap tanpa rembulan, namun hari ini adalah saat bulan purnama, saat undangan dewa kematian dan panah kekasih beraksi, bila di tempat saudara Say tidak ada kejadian apa-apa, sekarang juga aku akan merangkat ke Bang-tok-shia untuk memeriksa keadaan di situ!”

Lelaki bermuka merah itu mengerutkan sepasang alis matanya yang tebal kemudian sahutnya:

“Saudara Tham, tidak seorangpun bisa menduga di tempat mana undangan malaikat kematian akan muncul. Apakah kau tidak merasa lelah dengan berlarian tanpa tujuan?”

Tham Siau-hong menghela napas panjang.

“Aaai, semenjak Sam-siang-thayhiap Jay Peng tewas di ujung panah kekasih, kami empat bersaudara telah bersumpah akan melacak jejak undangan maut dan panah kekasih ini hingga tuntas, sekalipun harapan untuk itu amat tipis, namun kami tetap akan berusaha dengan sepenuh tenaga, paling tidak demi menjaga kelestarian umat persilatan di dunia ini”

Lelaki berwajah merah itu tertunduk lesu, dia tampak sedih sekali.

“Saudara Say, jaga dirimu baik-baik, aku harus segera pergi” kata Tham Siau-hong lagi sambil menjura.

“Tham-samko, tunggu sebentar!”

Namun Tham Siau-hong telah melesat dan melompat keluar dari halaman rumah.

Menyusul kemudian terdengar suara derap kaki kuda yang santer berkumandang menjauh dari situ.

Dengan satu gerakan cepat lelaki berwajah merah itu melompat keluar ke depan pintu gerbang, mengawasi bayangan manusia dan derap kuda yang makin menjauh tiba-tiba sekilas perasaan sedih melintas di wajahnya, gumamnya:

“Nama besar Jin-gi-su-hiap (empat pendekar kebajikan dan kesetiakawanan) ternyata memang bukan nama kosong belaka”

Tham Siau-hong melarikan kudanya sangat kencang, dia bergerak menuju ke kota Bong-tok.

Tidak selang berapa saat kemudian hutan di luar kota telah muncul di depan mata, walaupun di tengah kegelapan malam namun cahaya lampu tampak bersinar terang dari balik sebuah bangunan di tengah hutan. Cahaya yang terang hampir menyinari seluruh permukaan salju dan ranting dahan pepohonan.

Diam-diam Tham Siau-hong menghembuskan napas lega, sekilas senyuman muncul di ujung bibir, pikirnya:

“Ternyata watak It-kiam-ceng-ho-suo (Pedang yang menggetarkan utara sungai) sama sekali tidak berubah, walau sudah menjelang tengah malam, dia masih menggelar pesta pora bersama teman-temannya, tidak heran kalau gedung bangunannya masih ber-mandikan cahaya lampu”

Biarpun ditengah hembusan angin dingin, secerca perasaan hangat muncul dari lubuk matinya.

Setelah melompat turun dari kudanya, dia berlari menuju pintu gerbang dan menggedornya.

Ternyata pintu hanya dirapatkan tanpa dikunci, satu ingatan cepat melintas lewat, segera teriaknya nyaring:

“Thio-heng, siaute Tham Siau-hong datang berkunjung!”

Suasana tetap hening, tiada suara jawaban yang terdengar kecuali tumpukan salju di atas dahan yang berguguran, biarpun ruang gedung bermandikan cahaya, ternyata tidak terdengar sedikit suara pun.

Tercekat perasaan Tham Siau-hong, buru buru dia menerjang masuk ke ruang dalam.

Di bawah cahaya lentera, suasana tetap hening, sepi, tidak nampak sesosok bayangan manusia pun. Yang terdengar kini hanya kertas jendela yang gemerisik terhembus angin kencang.

Tham Siau-hong semakin terkesiap, tubuhnya mulai gemetar keras, selangkah demi selangkah dia memasuki halaman depan, mendekati ruang utama dan membuka pintu perlahan.

Suasana didalam ruang tengah terasa jauh lebih terang, seorang kakek berjenggot panjang duduk di sebuah bangku terbuat dari kayu cendana, bangku itu berada tepat di tengah ruangan.

Angin kencang berhembus lewat, mengibarkan jenggot panjang kakek itu, namun suasana tetap hening, tidak ada suara, tidak ada gerakan tubuh.

“Thio-toako, kau..........” jerit Tham Siau-hong keras.

Tiba-tiba pandangan mata serta jeritannya menjadi kaku, membeku keras, dia menyaksikan di atas dada kakek itu telah tertancap dua batang panah pendek sepanjang lima inci, sebatang panah merah membara bagaikan darah panas dari kekasih dan sebatang panah lain berwarna hitam pekat bagai biji mata seorang kekasih.

Sepasang panah itu menancap berjajar di atas ulu hatinya.

Ketika dicabut keluar, terlihatlah di atas panah pendek itu tertera berapa huruf yang kecil lagi lembut:

“Panah Kekasih!”

Sekalipun jenggot panjang kakek itu masih berkibar terhembus angin, namun wajahnya telah dingin kaku bahkan memperlihatkan mimik yang menakutkan, seolah-olah menjelang kematiannya dia telah menyaksikan sesuatu ancaman horor yang sangat mengerikan.

Dalam waktu singkat Tham Siau-hong merasakan hawa dingin muncul dari telapak kakinya dan menusuk ulu hatinya, dia berdiri mematung, sementara air mata jatuh bercucuran.

“Thio-toako, siaute datang terlambat...” gumam-nya.

Belum selesai dia berkata, mendadak dari belakang tubuhnya terdengar seseorang tertawa dingin.

“Siapa bilang terlambat? Kau masih bisa menyusul-nya!”

Dengan perasaan tercekat Tham Siau-hong mem-balikkan tubuhnya, selembar kertas merah melayang datang dan tepat terjatuh di hadapannya.

Ketika dia menyambar kertas tadi, ternyata undangan itu kosong tanpa tulisan, yang tertera hanya lukisan sebuah tengkorak yang sedang menyeringai.

Kertas undangan berwarna merah dengan lukisan tengkorak berwarna hitam, hanya sepasang kelopak mata tengkorak itu yang memancarkan warna kehijau hijauan.

Tham Siau-hong gemetar keras, tanpa sadar dia mundur sempoyongan.

Kembali terdengar suara tertawa dingin bergema di belakang tubuhnya, cepat dia membalikkan tubuh, tampaklah sepasang mata berwarna hijau menyeram-kan sedang mengawasi dirinya tanpa berkedip.

Kecuali sepasang mata berwarna hijau itu, dia tidak bisa melihat apa-apa lagi. Karena pada saat itulah sepasang anak panah pendek berwarna merah dan hitam telah menghujam di ulu hatinya tanpa menimbul kan sedikit suarapun.

Sepasang panah itu muncul tanpa disangka, persis seperti kerlingan mata dari sang kekasih, yang mem-buat kau tidak bisa menyangka dan kau terpaksa harus menerimanya dengan perasaan lega.

Oo0oo oo0oo

Matahari senja telah tenggelam di balik bukit, cahaya sore menyinari seluruh jagad, menyoroti pula kuil Taer–si (kumbum) di propinsi Cing-hay yang sudah tersohor di seantero jagad.

Di sisi selatan aula utama, di sebuah tanah lapang yang luas, tampak manusia berjejal amat ramai, mereka datang untuk menyaksikan upacara tarian memuja dewa yang segera akan dilakukan pengikut agama Lhama.

Sekeliling tanah lapang itu bertebar bangunan kuil berwarna kuning emas, kawanan lautan manusia itu nyaris mengelilingi seluruh halaman kuil.

Dalam ruang aula yang luas dan lebar, dengan alas permadani berwarna merah darah, berdiri berjajar sepuluh orang lhama berjubah kuning, perpaduan warna merah dan kuning yang mencolok membuat suasana disitu terasa jauh lebih ceria.

Di tengah kerumunan manusia yang sedang bergembira, selain sekelompok pendeta lhama itu, terdapat pula seorang kakek berjubah ungu, berjenggot panjang, berdiri di tengah kerumunan orang banyak, berdiri dengan wajah keren penuh wibawa, penampilannya tidak ubahnya seperti bangau di tengah kerumunan ayam.

Sementara itu, suara musik yang sederhana tapi aneh berkumandang memenuhi udara, di ikuti muncul-nya empat belas orang lhama berjubah kuning, dengan membawa alat musik seperti tambur dan kencrengan menampakkan diri dengan sangat teratur.

Baru saja sinar mata kakek berjubah ungu itu berkilat, tiba-tiba dari belakang tubuhnya terdengar seseorang menegur:

“Apa benar yang ada di depan adalah Gui Cu-im, Gui-jiko dari Jin-gi-su-hiap (empat pendekar kebajikan dan kesetiakawanan)?”

Ketika Gui Cu-im berpaling, dia menjumpai seorang kakek berkopiah kain sedang berjalan meng-hampiri, mendekat sambil menyingkirkan kerununan orang disekelilingnya.

“Ma-koan-heng” seru kakek berjubah ungu itu sambil menggenggam tangannya, “kenapa kau bisa muncul disini?”

“Kebetulan saja siaute hendak menuju ke dataran Tionggoan, karena itu melewati tempat ini” sahut kakek itu tertawa, “tapi.... apa pula sebabnya Gui-jiko datang kemari? Bikin aku bingung saja”

Dalam pada itu di tengah tanah lapang yang berlapis bebatuan sebesar telur bebek telah muncul empat orang bertopeng setan cilik, topeng berwarna kuning dan hijau, mereka mulai melakukan tarian yang bebal mengikuti suara irama musik.

Gui Cu-im menyapu sekejap sekeliling arena, kemudian katanya sambil tertawa:

“Sudah lama aku mendengar kalau kaum lhama di wilayah sini memiliki kepandaian silat yang tidak terkirakan hebatnya, sudah lama aku ingin melihatnya, selain itu........”

Setelah menarik kembali senyumannya dia melanjutkan:

“Akupun ingin memeriksa, apakah undangan kematian dan panah kekasih yang sudah menjadi wabah penyakit mematikan bagi umat persilatan, telah menyebar pula sampai disini”

Berubah hebat paras muka kakek berkopiah kain itu.

“Biarpun tinggal jauh di luar perbatasan, namun dari perbincangan para jago dan pengembara sempat kudengar juga kisah tentang undangan maut serta panah kekasih. Tidak disangka kedatangan Gui-jiko adalah lantaran urusan ini. Masa sih surat undangan dan anak panah itu benar benar menakutkan?”

Saat itu, setan-setan cilik yang berada di tengah lapang telah melompat balik ke dalam aula, sementara empat orang manusia tinggi besar seperti malaikat raksasa dengan wajah kuning emas dan jubah berwarna biru mulai menari-nari, semakin gencar suara irama yang berbunyi, mereka mencak-mencak makin keras.

Di tengah suara tambur dan gembrengan yang memekikkan telinga itulah Gui Cu-han menghela napas panjang, ujarnya dengan suara berat:

“Sepanjang hidup belum pernah siaute dengar tentang senjata rahasia yang begitu misterius dan menakutkan seperti panah kekasih, tapi dalam kenyataan, tidak sampai setengah tahun sudah ada puluhan orang jago kenamaan yang tewas di ujung panah tersebut, dan anehnya, hingga sekarang tidak seorang manusia pun di kolong langit yang mengetahui asal-usul senjata itu”

“Aaah, hanya dua batang panah pendek pun bisa menimbulkan horor sehebat ini? Satu kejadian yang sungguh di luar dugaan, mungkinkah ujung panah itu beracun? Mungkinkah racun jahat itu tidak bisa di-punahkan? Sekalipun senjata rahasia itu amat beracun pun, semestinya jago yang berilmu tinggi masih mampu mnghindarinya, kenapa tidak seorang pun bisa berkelit?”

Ketika ke empat Kim-kong mundur, sekarang yang muncul adalah empat orang dengan topeng setan bengis berbentuk binatang, ada yang berkepala kerbau ada pula yang berkepala rusa, mereka menari dengan kalapnya, seperti orang kesurupan saja.

Sambil menghela napas kembali Gui Cu-im berkata:

“Aku sendiripun dibuat tidak habis mengerti, tahukah kau jagoan senjata rahasia beracun nomor wahid di kolong langit, Tong bersaudara dari Siok-tiong pun telah menemui ajalnya oleh panah kekasih pada tiga bulan berselang. Dalam dunia persilatan bukannya tidak ada orang yang bisa memunahkan racun jahat itu, sayang yang mampu hanya satu orang saja. Bila tiga jam setelah terkena panah itu sang korban segera dihantar ke rumah orang tersebut, ditanggung dalam sepuluh hari, kesehatannya akan pulih kembali. Sayangnya jejak panah kekasih sukar dilacak, hari ini berada di timur, mungkin esok sudah di barat, akhir-nya sampai sekarang hanya tiga sampai lima orang saja yang berhasil tertolong nyawanya”

Kakek berkopiah kain itu menghela napas sedih, kedua orang itupun saling bertatap muka tanpa berbicara lagi.

Sementara itu suara tambur dan gembrengan sudah makin lirih, senja lewat malampun menjelang tiba, di balik kegelapan malam yang mencekam terlihat bulan purnama muncul dari balik awan.

Di bawah cahaya rembulan yang redup, di tengah irama musik yang berat, empat orang bertopeng tengkorak muncul di tengah ruang aula sambil meng-gotong sebuah kotak kayu, di tengah kotak terdapat sebuah patung manusia yang dibuat seakan siap menerima hukuman pacung.

Begitu kawanan manusia bertopeng tengkorak munculkan diri, tarian pemujaan berlangsung makin memuncak, irama musik pun berubah jadi semakin lambat dan berat.

Waktu itu, walaupun Gui Cu-im dan kakek berkopiah itu sedang sedih dan risau memikirkan keselamatan dunia persilatan, tidak urung mereka menengok juga ke tengah aula.

Dari balik ruangan kembali berjalan keluar empat orang Kim-kong, delapan belas Lohan, dewa kerbau, dewa menjangan serta ‘dewa” lainnya ditambah dua orang kakek bertopeng yang muncul sambil meng-gandeng lima orang bocah yang mengenakan topeng juga.

Setelah rombongan ‘manusia’ tadi, di belakangnya mengikuti seorang berkepala kerbau berjubah berkilat yang berdandan sebagai Ciang-mo Goanswee (Jenderal penakluk iblis),

Pada bagian kepalanya terdapat sepasang tanduk dari emas yang berkilauan, sementara di tangannya menggengam sebilah golok baja yang sangat mencolok mata.

Dalam waktu singkat suara musik ditabuh makin kencang, kawanan iblis dan setan pun menari makin menggila, sementara ke empat setan tengkorak dengan membawa kotak kayu perlahan-lahan berjalan menuju ke hadapan sekawanan lhama yang berdiri dengan wajah serius itu.

Bersamaan dengan itu, puluhan batang obor di angkat bersama-sama dari empat penjuru, menerangi ruang tengah itu.

Berbareng dengan berkilaunya cahaya obor, tiba tiba dari balik mata ke empat tengkorak itu memancar-kan sinar kehijau hijauan yang menyeramkan.

Irama musik ditabuh semakin keras, Ciang-mo Goanswee membalikkan tubuh sambil berjalan menuju ke depan kotak kayu, dengan sekali tebasan golok, boneka berbentuk manusia itu sudah dibacok hingga terbelah jadi dua.

Tempik sorak segera bergema menggetarkan udara.

Mendadak Gui Cu-im merasakan hatinya bergetar keras, ternyata di saat tadi golok itu berkilat, ia telah menyaksikan selembar kartu undangan berwarna merah darah tertempel di atas boneka manusia itu.

Dalam kagetnya Gui Cu-im berteriak keras, tubuhnya melejit ke udara dan menyambar ke tengah aula bagaikan seekor alap-alap yang menyambar mangsa.

Tapi pada saat itulah dua batang anak panah pendek telah menancap di ulu hati ke sepuluh lhama berjubah kuning itu.

Seketika suasana berubah jadi kacau, kawanan setan dan iblis berlarian tercerai berai, semua orang berebut menyelamatkan diri.

Gui Cu-im membentak keras, sekarang dia telah mengincar seorang setan tengkorak yang berada di hadapannya, sambil menubruk langsung dari udara, hardiknya:

“Hendak kabur ke mana kau!”

Tiba-tiba setan tengkorak itu membalikkan tubuh, sinar kehijau-hijauan yang mengerikan memancar keluar dari balik matanya.

Kembali Gui Cu-im membentak keras, dengan jurus Hui-eng-pok-touw (alap-alap menyambar kelinci) sepasang telapak tangannya menyambar ke bawah mengancam batok kepala tengkorak itu.

Ketika kakek berkopiah kain itu baru melambung ke udara, dia menyaksikan serangan maut dari Gui Cu-im telah menghajar telak di tubuh setan tengkorak itu.

Jeritan ngeri yang menyayat hati bergema di udara, jeritan itu bukan berasal dari setan tengkorak melain-kan dari Gui Cu-im.

Tampak tubuh jagoan tua itu mencelat ke udara sambil kejang-kejang keras lalu roboh terkapar di tanah dan tidak berkutik lagi.

Sambil menjerit kaget kakek berkopiah kain itu berlarian mendekat, tampak dua batang anak panah pendek, satu berwarna merah, yang lain bertwarna hitam telah menancap telak di ulu hati Gui Cu-im.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar