Rabu, 06 Februari 2008

Senyuman dewa pedang

Perasaan seseorang kadang mirip penutup mata, seringkali menutupi mata agar tak bisa melihat hal-hal yang seharusnya dapat disaksikan dengan jelas.
Untung sekarang ia telah melihatnya, yang tidak beruntung pun kini terlihat semua.
Jarak antara untung dan tidak untung seringkali merupakan sebuah halaman kosong.
Saat kosong adalah saat tertegun, saat terkesima.
Ketika tertegun, itulah kesempatan emas bagi orang lain.
Mendadak semua orang yang tadinya tak berkutik, telah dapat bergerak dengan bebas, bahkan gerakan mereka cepat, juga ganas, telengas dan tepat sasaran.
Gerakan macam ini mustahil bisa dilakukan oleh sekawanan manusia pribumi yang sejak lahir hidup di kota kecil yang terpencil itu.
Bila serangan itu begitu cepat, tepat sasaran dan telengas, bisa dipastikan mereka termasuk di antara lima puluh jagoan tangguh dunia persilatan.
Pada saat itulah mendadak Siau-hong roboh terkapar.
Bila ada orang yang tidak roboh ketika dikerubut banyak jago tangguh dalam situasi dan kondisi yang sama sekali tak terduga ini, maka di dunia ini mungkin tak ada lagi orang yang bisa roboh terkapar.
Bagi seorang yang sudah lama berkelana dalam dunia persilatan, memiliki nama besar, punya banyak teman dan musuh, roboh terkapar artinya mati.
Benarkah Liok Siau-hong mati?
Tidak seorang pun percaya Liok Siau-hong mati, sekalipun ada orang melintangkan golok di atas tengkuknya, tak ada yang mau percaya bahwa Liok Siau-hong telah menemui ajalnya.
Tapi kali ini Liok Siau-hong benar-benar telah tewas, berangkat ke langit barat.
Sebenarnya apa yang telah terjadi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar