Sejarah selalu berulang.
Kata-kata tersebut rupanya betul.
Hiruk pikuk cetak ulang cersil dan penerbitan baru akhirnya
memunculkan pengarang-pengarang lokal baru.
Serupa dengan kejadian tahun 60 tahun yang lalu,
ramainya penerbitan cersil terjemahan melahirkan
pengarang lokal seperti Kho Ping Hoo.
KKabeh bukanlah yang pertama,
beberapa tahun yang lalu sudah muncul Chen Wei An,
yang melahirkan Lung Hu Wu Lin.
Kemunculan Chen Wei An sebenarnya agak aneh,
karena dia bukanlah penikmat cerita silat, tapi penikmat film silat.
Jadi istilah suhu untuk guru, tidak bakal kita jumpai dalam bukunya.
Meskipun begitu, buku-buku Chen cukup laris di pasaran.
Sedangkan KKabeh memang memiliki latar belakang pembaca cersil.
Jadilah membaca karyanya tidak ada bedanya dengan membaca cerita
silat terjemahan.
Kalau tidak diberi tahu, kita tidak bakal tahu kalau itu karangannya,
bukan terjemahan.
Bu Kek Kang Sinkang sebagai karya pertamanya muncul dari iseng-iseng.
Iseng-iseng menulis satu dua bab di serialsilat. com,
ternyata sambutannya bagus, banyak yang minta untuk diteruskan.
Jadilah bab demi bab ditulis, sampai akhirnya 20 bab.
Dari komentar-komentar pembaca, muncullah ide untuk membukukan karya tsb.
Supaya bisa dinikmati lebih luas.
Begitulah ceritanya sampai muncul buku yang berjudul Bu Kek Kang
Sinkang (Jejak Naga Sembunyi)
KKabeh tidaklah sendiri, sudah muncul beberapa pengarang baru lainnya.
Setelah KKabeh, WLG bakal menerbitkan dua karya pengarang lokal,
Marshal dengan Kisah Para Naga di Pusaran Badai,
John Halmahera dengan Wisanggeni.
Tidak tertutup kemungkinan pengarang-pengarang baru lainnya menyusul.
Kita tunggu kelanjutannya.
Akankah muncul generasi Kho Ping Hoo baru?
Akankah mereka memberi warna baru dalam dunia cersil Indonesia?
Akankah Khu Han Beng menjadi the next Bu Kek Siansu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar