Sabtu, 26 Desember 2009

Dua Musuh Turunan

Rating : ****
Judul asli : Ping Zong Xia Ying Lu
Pengarang : Liang Yusheng (Nio Ie Seng, 1922- )
Penerbit : PT Wastu Lanas Grafika ― Surabaya
Penerjemah : Oey Kim Tiang (O.K.T., 1904-1995)
Cetak terbatas : 2005 ― 400 eksemplar
Jilid : 3 (tiga) jilid

" Siapakah yang menyanyikan lagu-lagu Souwtjioe dan Hangtjioe ?, Bunga teratai harum sepuluh lie, bunga koei dimusim Tjioe. Siapa tahu, rumput dan kayu dasarnya tidak berperasaan !, menyebabkan sungai Tiangkang jadi laksa'an tahun kedukaan "

Syair di atas adalah modifikasi dari karyanya penyair Tjia Tjie Houw, seorang penyair terkenal di jaman kerajaan Song menceritakan tentang kejadian di sungai Tiangkang, satu peristiwa yang menyimpan laksa'an kedukaan, dan selalu dikenang sampai beberapa generasi setelahnya.

Masih menggunakan kejadian di sungai Tiangkang itu sebagai benang merah-nya cerita, Peng Tjong Hiap Eng (PTHE) ber-setting kira kira 50 tahun-an setelah peristiwa di Hoan Kiam Kie Tjeng (HKKT).

Nasib Tan Hian Kie ( In Hian Kie ) yang tragis di akhir kisah HKKT membuat banyak pembaca menjadi penasaran dan berharap dapat mengetahui nasib selanjutnya dari pemuda kita ini. Tan Hian Kie sendiri di PTHE sudah menjelma menjadi tokoh tua persilatan yang dihormati berusia 70-80an tahun dengan gelar "Thian hee Tee it Kiam-kek" atau " Ahli Pedang Nomer Satu di Kolong Langit ", orang menyebut namanya dengan Hian Kie It Soe. Peristiwa dan pukulan batin berat yang dialaminya (gadis yang dicintainya adalah ternyata adik satu ayah, baca HKKT) tidak lagi disinggung-singgung .

Seperti yang dikisahkan di HKKT, Thio Hok Tjoe, anak dari Thio Soe Seng, berhasil diselamatkan dari pertempuran sungai Tiangkang dan dibawa menyingkir ke luar perbatasan Tionggoan , tepatnya , ke negeri Watzu, dan dengan mengandal kepada kecerdasannya, ia mempunyai penghidupan mapan di negeri Watzu, tidak hanya itu, anak keturunan dari Thio Soe Seng ini lantas bersahabat erat dengan raja Watzu selama bertahun tahun, sampai malah puteranya sendiri yang bernama Thio Tjong Tjioe, diangkat sebagai perdana mentri muda di negeri Watzu.

Kala itu negeri Watzu adalah satu dari suku bangsa Mongol yang paling kuat, kekuatan pasukan negeri Watzu ini perlahan tapi pasti menjadi semakin kuat mendekat ke daerah perbatasan Tionggoan dan mulai mengancam keberadaan negeri bangsa Han di seberang perbatasan.

Meng-khawatirkan hal itu, kaisar kerajaan Beng mengirim satu utusan ke Negeri Watzu dengan membawa misi perdamaian bertujuan untuk mencegah peperangan di antara kedua bangsa, adapun si pembawa misi perdamaian dari kerajaan Beng ini dipercayakan kepada satu pejabat setia kerajaan Beng, bernama In Tjeng.

Pada mulanya, In Tjeng si pembawa misi perdamaian dari kerajaan Beng disambut secara kenegaraan, mendadak muncul Thio Tjong Tjioe di tengah acara kenegaraan tersebut menghasut raja Watsu agar In Tjeng ditangkap dan dipenjarakan, raja Watzu termakan hasutan dan sejak saat itu In Tjeng kemudian ditahan di negeri Watzu.

Rasa benci Thio Tjong Tjioe , mengingat dendam leluhur terhadap Tjoe Goan Tjiang, pendiri kerajaan Beng dan semua keturunannya, membuat ia gelap mata dan melanggar aturan lazim kenegaraan dengan menahan In Tjeng yang bertindak sebagai utusan kerajaan Beng. Belum cukup dengan ditahan, In Tjeng dipaksa bekerja sebagai tukang angon kambing sambil menjalani masa tahanannya.

Sebagai pejabat tinggi negara dari kerajaan Beng, dipekerjakan sebagai tukang angon kambing di negeri musuh adalah satu hal yang menghina dan menyiksa batinnya, walau begitu In Tjeng tetap tabah menjalani dengan harapan Kaisar negeri Beng saat itu segera mengirimkan pasukan perang untuk menyelamatkannya.

Waktu berlalu tahun demi tahun dalam penantian, In Tjeng terpaksa harus menerima kenyataan bahwa tidak ada satupun dari Kerajaan Beng yang peduli dengan nasibnya, sementara dendam untuk membalas perlakuan Thio Tjong Tjioe semakin kuat mengakar.

Sepuluh tahun berlalu, tak diduga, muncul In Teng, puteranya. Ketika In Tjeng datang ke negri Watzu sepuluh tahun yang lalu itu, In Teng baru saja lulus menjadi sioetjay, menyadari bahwa ayahnya menjadi tahanan di negeri Watzu tanpa ada satupun di pihak pemerintahan yang peduli, In Teng berhenti mempelajari ilmu sastra untuk belajar silat sampai akhirnya diterima sebagai murid oleh Hian Kie It Soe, belum lulus perguruan, In Teng pergi ke negeri Watzu untuk menjemput ayahnya, apa daya dengan ilmu silat yang masih belum sempurna usaha In Teng menemui kegagalan, malah kemudian ia juga terpaksa menyamar dan tinggal di negri Watzu sambil terus berupaya mencari daya untuk menyelamatkan ayahnya.

Menuruti saran ayahnya, In Teng menikah dengan gadis setempat semata demi untuk meneruskan keturunan marga In, kemudian lahir In Tiong, puteranya yang pertama, yang setelah dewasa lantas saja dikirim ke Tionggoan kepada kakak seperguruannya, dengan harapan agar In Tiong dapat belajar silat untuk membalaskan sakit hati dendam keluarga. Sebelum dikirim ke Tionggoan, terlebih dulu In Tjeng membuat satu surat darah dari kulit kambing dan menjahitkannya ke baju In Tiong, surat itu isinya mengingatkan kepada semua anak keturunannya untuk membunuh semua anak keturunannya Thio Tjong Tjoe dan membakar semua tulang tulang dari semua keturunan Thio Tjong Tjoe menjadi abu tidak pandang laki atau perempuan, ... itulah sebuah surat darah yang sangat kejam.

Diceritakan karena suatu hal, masih di tanah pengasingan , In Tjeng terpaksa harus berpisah dengan anaknya. Sebelum berpisah, In Teng mengabari ayahnya bahwa dia sudah memperoleh lagi anak yang kedua, seorang anak perempuan yang diberi nama In Loei. Sampai tak terasa....., sepuluh tahun lagi berlalu.

Sepuluh tahun lagi berlalu, In Teng sebagai anak berbakti , tidak hanya diam tanpa berusaha. Kali ini , dua saudara seperguruannya dengan sekalian anak muridnya datang ke negeri Watzu, dilengkapi dengan rencana yang lebih matang, In Teng berhasil membebaskan ayahnya dan membawanya kabur pulang menuju Tionggoan.

Di dalam perjalanan melarikan diri pulang ke Tionggoan, In Teng bersama salah satu keponakan muridnya harus terpisah dari rombongan, dan dikabarkan gugur di tangan pasukan bangsa Watzu, tinggalah In Tjeng dan In Loei disertai oleh dua kakak seperguruan In Teng, meneruskan perjalanan melarikan diri menuju ke daerah perbatasan, Gan Boe Kwan.

Seperti mendapat firasat bahwa nasib buruk sedang menanti, In Tjeng menceritakan kisah hidupnya kepada In Loei, saat itu masih gadis cilik berusia tujuh tahun. Selesai bercerita, In Tjeng memberikan suratnya lagi yang kedua, sebuah surat wasiat darah yang mengharuskan In Loei membunuh semua anak keturunan Thio Tjong Tjioe dan membakar semua tulang keturunan Thio Tjong Tjioe menjadi abu...!!, sudah dirasakan oleh In Loei sejak pertama kali menerimanya, surat darah itu benar menyebabkan dia mengalami banyak penderitaan dalam kehidupan selanjutnya.

Benar firasat In Tjeng, baru saja masuk kedalam benteng perbatasan Gan Boe Kwan, terjadi peristiwa di luar dugaan, In Tjeng mati penasaran, masih untung In Loei bisa diselamatkan, sambil membawa surat darah dari kakeknya, In Loei diselamatkan dan dididik oleh kakak seperguruan ayahnya., Yap Eng-Eng – Hoei Thian Liong Lie.

Setelah peristiwa di benteng Gan Boe Kwan itu, maka kisah Peng Tjong Hiap Eng ini dimulai !.

Sepuluh tahun berlalu sejak peristiwa Gan Boe Kwan, In Loei turun gunung, dengan bekal ilmu silat yang dipelajari dari Yap Eng Eng (murid nomer empat dari Hian Kie It Soe), ia memulai petualangannya.

Perjalanan In Loei dalam dunia kang-ouw kemudian menyeretnya masuk ke dalam kelompok pergerakan pembela bangsa yang terombang ambing, antara membela negara Beng dari ancaman bangsa Mongol, atau mencoba menjatuhkan kerajaan, lantaran mereka juga sudah sangat muak dengan situasi pemerintahan negara Beng yang sangat lemah dipenuhi oleh para pembesar bejat dengan kaisar yang lemah pula.

Tapi dari semua peristiwa yang dialami In Loei di dunia kang-ouw, yang paling berat adalah yang menyangkut hubungan asmara. Nasib mempertemukan dengan seorang pemuda tampan misterius dengan ilmu silat cukup tinggi, setelah lama menjalin persahabatan, kedua nya lantas saling jatuh cinta, sampai belakangan diketahui kalau pemuda itu bernama Thio Tan Hong, yang tak lain adalah putera tunggal dari Thio Tjong Tjioe, musuh besar keluarganya !!.
Apakah sampai hati In Loei membunuh Thio Tan Hong dan membakar tulang tulangnya menjadi abu sesuai dengan wasiat dari kakeknya ?

Sementara Thio Tan Hong sendiri sebagai putera dari Thio Tjong Tjioe , sedari kecil sudah memutuskan untuk kembali ke Tionggoan, walau lahir dan dibesarkan di negeri Watzu, Tan Hong memiliki rasa patriotisme sebagai bangsa Han. Beranjak dewasa, Tan Hong mengembara ke Tionggoan, selain untuk mencari pengalaman, Tan Hong juga berencana untuk mencari harta peninggalan kakeknya yang ditimbun di suatu tempat sebagai bekal untuk meneruskan perjuangan melawan Tjoe Goan Tjiang, bagi anak keturunannya.

Sementara kerajaan Beng yang bobrok semakin terancam jatuh oleh serbuan dari bangsa Watzu, gantian Tan Hong sebagai seorang patriot mempunyai dilema, darah yang mengalir pada tubuhnya adalah darah bangsa Han, kecintaannya akan negeri Han , membuatnya bersemangat untuk membela bangsa Tionggoan, tapi kadang dia masih tidak sampai hati untuk melawan negeri Watzu , tempat dimana dia dilahirkan dan dibesarkan, bahkan ayahnya sendiri menjadi pejabat yang dihormati di negeri Watzu. Apakah dia sampai hati untuk melawan kawan dan saudara-saudaranya sendiri apabila dia memutuskan untuk membela kerajaan Beng ?, Sementara itu sudah jelas dari silsilahnya kalau Tjoe Goan Tjiang si pendiri kerajaan Beng, adalah musuh besar keluarga, bagaimana mungkin ia kemudian membela kerajaan Beng dari serbuan bangsa Watzu, karna dengan demikian, jelas dia akan menjadi seorang pendosa keluarga dan durhaka ?, nasib Tan Hong memang sungguh pelik, belum lagi ditambah hal yang menyangkut dendam turunan dari keluarga In terhadap ayahnya, gadis yang dicintanya diharuskan untuk membunuhnya. Mengalami depresi , Tan Hong sempat kemudian menjadi gila dan tidak waras.

ooo000ooo

Liang YuSheng dalam membuat cerita ini terasa benar menumpahkan semua kreativitasnya. , muncul pertama kali di koran Hongkong Dagong Bao (Taykong Poo) pada medio 1 January tahun 1959, PTHE tidak membutuhkan waktu lama untuk memikat para pembaca koran Dagong Bao sampai tamat pada tgl. 18 Desember 1960. Yang unik, belum lagi PTHE ini tamat , Liang Yusheng sudah memunculkan lagi karyanya yang lain secara bersambung, yaitu Hoan Kiam Kie Tjeng ( HKKT ) di koran Xianggang Shangbao (Hiangkang Siangpoo) pada bulan November 1959, HKKT ini ditulis dan dimaksudkan sebagai cerita pendahuluan (prequel) dari PTHE.

Menulis dua cerita berbeda hampir secara bersamaan dimana salah satu ceritanya adalah pre-quel dari cerita satunya, tentu membutuhkan ketelitian yang luar biasa agar cerita tetap selaras antara prequel dan sequelnya. Dalam hal ini Liang Yusheng membuktikan kehebatannya sebagai penulis, tidak terjadi kesimpang siuran sejarah yang fatal antara HKKT dan PTHE.

Liang YuSheng juga sangat pandai sekali merangkai cerita, PTHE berjalan mengalir lancar membuat pembaca tidak bisa berhenti membaca sebelum tamat, dalam beberapa bagian cerita muncul sub-sub cerita dengan tokoh utama lain sehingga cerita tidak melulu bercerita tentang In Loei dan Thio Tan Hong, walau dengan adanya sub-sub cerita ini durasi cerita menjadi lebih lama, tapi sama sekali tidak sampai membuat pembaca menjadi lelah mengikutinya, karena sub-sub cerita yang muncul akibat dari pengembangan cerita itu masih berada dalam bingkai utama keseluruhan cerita. Sebaliknya, sub-sub cerita itu malah membuat PTHE menjadi lebih asyik dan seru untuk diikuti.

Dimasukkannya beberapa kejadian sejarah hikayat rakyat (folklore) ke dalam cerita ini juga menjadikan PTHE lebih menarik untuk dibaca, diantaranya dikisahkan Thio Tan Hong dan In Loei terjebak pada peristiwa tertawannya kaisar Kie Tin dari kerajaan Beng oleh pasukan bangsa Watzu dalam satu pertempuran. Kaisar Kie Tin dari kerajaan Beng, dikhianati oleh orang kepercayaannya sehingga harus rela ditawan oleh pasukan bangsa Watzu, tidak seperti para pengawalnya yang rela mati daripada tunduk ditawan, kaisar Kie Tien yang pada dasarnya dikisahkan sebagai penakut, terlalu sayang jiwa sehingga rela dan mandah ditawan, sementara di lain tempat para pengawal setia kaisar berperang habis-habisan sampai mati, " Raja terhina, Mentri binasa ". Kejadian yang selalu dikenang sebagai kejadian memalukan dalam hikayat kerajaan Beng ini dikenal dengan nama " Peristiwa Touw-Bok ".

Berkaitan dengan para tokoh yang muncul di HKKT, ikut diceritakan mengenai perselisihan lanjutan yang timbul antara Siangkoan Thian-Ya , Siauw Oen Lan dan Tan Hian Kie yang menurun kepada semua anak murid dari ketiga orang tersebut di PTHE. Memang sedikit mengherankan apabila ketiga orang ini masih saja berselisih setelah lewat 50 tahun, malah diceritakan kalau Siangkoan Thian-Ya jadi dikenal sebagai iblis nomor satu, tidak jelas putih atau hitam nya, berebut predikat gelar pendekar nomer satu dengan Tan Hian Kie, padahal di HKKT, perselisihan antara mereka dengan jelas telah selesai secara baik baik, terutama hal yang menyangkut dirinya Siauw Oen Lan. Jadi agak mengherankan dan terasa mubadzir apabila Liang YuSheng masih menampilkan ketiga orang ini bermusuhan dengan alasan yang sebenarnya telah selesai di HKKT Tanpa harus menampilkan ketiga tokoh itu, hubungan prequel dan sequel antara HKKT dan PTHE sudah terasa dengan benang merah peristiwa di sungai Tiangkang dan keberadaan dari keturunan para pengawal setia Thio Soe Seng di HKKT.

Berkembangnya konflik dan cerita yang berkepanjangan, walaupun masih seru untuk diikuti , terasa oleh penulis kalau Liang YuSheng mengalami kesulitan untuk mendapatkan ending yang memuaskan, konflik dan dilema yang menimpa In Loei maupun Thio Tan Hong memang tidaklah mudah untuk diselesaikan, .....seakan terjebak oleh konflik yang diciptakannya sendiri, Liang YuSheng kemudian memilih ending yang paling mudah, yaitu ...kematian.

Memang hanya kematian satu satunya jalan keluar guna mengakhiri dendam dunia antara keluarga In dan Thio, hanya dengan kematian orang akan menjadi sadar akan pentingnya kebahagiaan di dunia dan melupakan dendam.

Di Indonesia, pertama kali PTHE diterjemahkan oleh Oey Kiam Tiang (OKT alm.), dan diterbitkan oleh penerbit Keng Po, Jakarta tahun 1959, 11 jilid. OKT menerjemahkan PTHE secara indah dengan gaya bahasa yang sudah menjadi ciri khas beliau. Tidak ketinggalan puisi puisi yang bertebaran sepanjang cerita ini tidak luput di terjemahkan oleh beliau secara indah tanpa harus mereduksi maknanya, sehingga menambah unsur romantisme cerita menjadi makin kental. Di dalam cerita, Tan Hong memang seorang ahli sastra dan terpelajar, selain itu perasaanya halus dan perasa, dalam segala situasi Tan Hong mengungkapkan perasaannya melalui puisi, jadi tidak heran kalau kemudian bertebaran puisi-puisi indah sepanjang cerita. Belum lagi, OKT memberi judul " Dua Musuh Turunan..... ", judul yang indah dan sangat sesuai sekali dengan isi ceritanya !!.

Tidak kalah dengan sambutan di negeri asalnya, di dalam negeri sendiri nampaknya sambutan para peminat cerita silat terhadap PTHE boleh dibilang juga cukup baik. Terbukti setelah diterbitkan Keng Po, muncul di tahun yang sama PTHE hasil terjemahan dari Chin Yen, diterbitkan oleh penerbit Kisah Silat – Jakarta. Kemudian di tahun 1980, dari Semarang muncul Gan KL (alm) yang juga menerjemahkan PTHE ini dengan judul " Pahala dan Murka – 28 jilid " diterbitkan oleh Panca Satya. Masih belum cukup, di tahun 1996, sastrawan Ajip Rosidi , ahli bahasa yang juga seorang pembaca cersil, meng-edit " Dua Musuh Turunan.... " terjemahan OKT yang masih dalam ejaan lama, ke dalam bahasa Indonesia dan menerbitkannya kembali dengan judul " Dua Musuh Turunan " oleh penerbit Pustaka Jaya. Walau terbit tidak tamat , hanya tiga jilid, kenyataan ini menggambarkan dengan jelas betapa populernya PTHE sehingga sampai tahun 1996 pun masih saja dicoba untuk diterbitkan lagi. Kemudian terakhir di tahun 2005 ini, atas inisiatif Masyarakat Tjerita Silat, naskah " Dua Musuh Turunan..... " milik OKT , diterbitkan kembali.

Sebuah karya atau cerita yang bagus, tak akan lekang dimakan jaman, sampai kapanpun orang akan selalu membaca dan mengingatnya, dan untuk hal ini kita patut berterima kasih kepada penerbit yang telah menghadirkan kembali satu cerita dan karya indah ini ke dalam koleksi pustaka kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar