Rabu, 24 Juni 2009

Lencana Tujuh naga

inilah sedikit cerita sambungan Lencana Tujuh Naga bagian ke 2, yang cayhe dapat naskah nya dari O K T.

“Maka itu, akupun harus dapat merubah kebiasaanku.” Demikian pikirnja. “Tanpa sikap halus, pertjuma andaikata aku bisa menjingkirkan Bouw Kun serta membubarkan Ho Lok Paj. Orang bisa mengatakan aku galak tidak karuan..”

Demikian anak muda ini membuat perdjalanannja dengan sifatnja bagaikan telah berubah. Hari itu ia tiba di Kho Pie Thiam. Lantas ia mentjari TJiu Tiam, atau rumah makan. Dimana ia mengisi perutnja sambil minum arak. Tjawan demi tjawan diminum perlahan-lahan. Inilah karena ia sambil berpikir, ‘di Jan San nanti, dimana aku akan tjari adjah dan bundaku?’ ia berpikir keras hingga tanpa merasa, ia telah menenggak habis satu potji arak. Hingga tanpa merasa, ia mendjadi sedikit pusing. Baru setelah itu, ia ingat akan mentjari penginapan.

Habis membajar kepada pelajan, selagi keluar dari rumah makan, Sie Kiat berdjalan dengan terburu-buru. Hampir dia bertabrakan dengan seorang jang berdjalan didepannja. Sjukur karena kelintjahannja, dapat ia lantas mengegoskan tubuh. Namun, berbareng dengan itu, ia mendengar tjatjian ,Oh, orang buta beribu andjing!...” dibarengi totokan ke djalan darah Khie-haj!

Perasaan terperandjat, heran dan mendongkol bertjampur mendjadi satu dibenaknja. Sjukur dia bermata djeli dan gesit pula. Terus ia menoleh akan melirik penjerangnja jang mulutnja kotor.

Disana berdiri tegak seorang dengan roman bengis, dia itulah jang disebut orang berkepala matjan tutul dan bermata roda. Mata jang bersinar sangat tadjam. Usianja mungkin baru kira-kira 27 tahun. Tegas dia bertubuh kekar, mirip dengan seorang ahli tenaga dalam.

Mulanja hatinja panas, dilain detik Sie Kiat ingat akan harga dirinja. Maka sebaliknja daripada bergusar dan menegur, ia djusteru merangkap kedua tangannja memberi hormat seraja berkata merendah:

”Maaf sahabat! mengingat siapapun dapat keliru mengambil djalan, maka tak usahlah kau datang-datang memaki orang!”

Di dalam hati, Toan Leng menjesal ia tidak tahu ilmu kepandaiannja orang ini. Iapun menjesal sudah tidak ingat meminta peladjaran ilmu kegesitan Kiu Liong Lian Hoan Pou dari Bu Tong Pai dari kakeknja. Barusan itu, hampir ia tak dapat menjelamatkan dirinja.

Orang tidak dikenal itu mendjadi gusar. Terang dia tidak puas mendengar teguran.

“Hai botjah!” bentaknja, “Apa kau tidak tahu siapa tuan besarmu ini? Bagaimana kau berani menegur aku? Oh, kau rupanja sudah menjesal usiamu jang telah diperpandjang. .?”

Habis sabarnja Sie Kiat, atau mungkin ia terpengaruhkan air kata-kata satu potji jang telah ditenggaknja. Maka djuga, ia lantas berkata keras:

”Sahabat, apakah dengan kata-katamu ini kamu mau artikan aku tak bakal hidup sampai pada djam ketiga?”

Orang itu mundur satu langkah. Si pemuda menanjanja dengan sinar mata berpengaruh. Tapi dia bukannja mau menjingkirkan diri, hanja sembari menunduk kearah belakangnja. Dia berkata keras:

“Oh, botjah jang baik, djikalau kau tidak dihadjar, nistjaja kau tidak akan merasa puas. Baiklah. Mari kita pergi keluar dusun ini, ke tandjakan Hong Jap Po. Disana aku akan menghadjar adat kepadamu!”

Sepasang alis Sie Kiat terbangun.

“Kau djalanlah kalau kau suka!” sahutnja gagah.

Orang itu tidak menjawab. Sebaliknja, segera dia mengangkat kakinja berdjalan pergi. Sie Kiat bertindak mengikuti.

Tatkala itu gunung disinari tjahaja matahari lohor. Mega berwarna kekuning-kuningan. Tandjakan Hong Jap Po tampak sunji sekali. Rumputnja putih. Di tempat jangsepi itu djusteru berdiri berhadapanlah dua orang jang hendak bertempur itu, si galak dan si berbudi pekerti halus.

“Tuan, apakah she dan nama besarmu?” Sie Kiat masih bertanja sambil memberi hormat.

“Liok Beng!” sahut orang jang ditanja, singkat. Suaranja ketus, dan terus dia balik bertanja: ”Botjah, kau djuga menjebutkan namamu buat tuan besarmu mendengar-nja!”

Hati Sie Kiat panas, akan tetapi, ingat harga dirinja, ia mengekang diri. Ia memberi hormat pula:

“Aku jang rendah Liu Sie Kiat dari Siang Jang,”sahutnja sabar.

“Liu Sie Kiat dari Siang Jang..?” pikir si orang galak, hingga dia mengerutkan alisnja. Lantas menanja pula, ”Kau kenal Hui Thian Giok Liong Liu Kiam Hiong atau tidak?”

Sie Kiat berdiri tegak, sikapnja gagah.

“Ia adalah ajahku!”sahutnja terus terang, suaranja gagah.

Mendadak sontak Liok Beng tertawa tergelak-gelak, seterusnja berkata njaring:

”Ini dia jang dibilang, mentjari sampai sepatu besi petjah, tidak djuga dapat diketemukan, sekali ketemu, mudah sekali! Aku termasuk orang muda, tjuma aku mendengar sadja halnja Liu Kiam Hong bagaimana gagah luar biasa, tetapi setelah aku tjari dia di tigabelas propinsi, tak dapat aku menemukannja! Sajang, sungguh sajang!... entahlah habis dihadjar Bouw Kun, dia telah pergi entah kemana.. atau..!”

Sie Kiat mendjadi tidak puas sekali. Mulut orang itu kotor sekali!

“Sahabat she Liok!” ia memutus, “Tentang ajahku, umumlah jang nanti memberikan penilaian, kelak di kemudian hari, kaum Bulim nanti akan mengetahuinja sendiri! Perihal dirimu, apakah maksudmu mentjari ajahku? Sekarang aku belum sempat menemuinja, djangan kau menjesal, sekarang didepanmu berdiri aku si orang she Liu! Apakah kehendakmu? Kau sebutkan sadja. Asal kau dapat merebut kemenangan dari aku, Liu Sie Kiat, sama sadja, namamu bakal sama tersohornja!”

Kembali si orang she Liok tertawa, dia sangat djumawa.

“Botjah, kau sungguh gagah!” katanja mengedjek. “Sajang kau seorang bu beng siauw tjut! Bertempur denganmu mana dapat disamakan dengan aku menempur ajahmu?”

Sie Kiat tertawa:

“Sahabat she Liok, kau terlalu menghargakan dirimu sendiri, terlalu berlebihan!” demikian katanja. “Sudah, tidak usah kau mengatakan apa-apa lagi jang tidak ada sangkut pautnja! Paling benar kau sebutlah kehendakmu! Kau ingin kita bertempur dengan tjara apa? Asal aku kalah, akan aku adjak kau menemui adjahku! Supaja ajahku dapat memohon pengadjaran beberapa djurus dari kau! Sebaliknja, djikalau apa latjur kaulah jang gagal…”

Liok Beng menepuk pahanja.

“Asal aku kalah!” katanja njaring,” Aku akan mentjutji tangan, aku akan mundur dari dunia kang ouw, untuk kembali ke Jan San, guna beladjar terlebih djauh, buat nanti turun gunung lagi kedua kalinja! Nah, botjah, itu waktu aku akan tjari kau, guna mengambil batok kepalamu dari batang lehermu!...”

Sie Kiat mendjadi berpikir mendengar orang menjebut Jan San-gunung Jan San. Ia djadi ingat, djikalau demikian, mungkin adjah bundanja tidak berada di gunung itu, dan orang kasar ini entah ada hubungannja apa dengan Jan San DJie-loo, kedua orangtua kosen dari Jan San…

“Jan San Djie-loo tinggal dilembah Keng Liong di puntjak Biauw Hong San,” pikirnja lebih djauh, ”Maka itu, andai kata ajah bundaku benar hidup menjendiri di Jan San, tentulah dibagian selat jang mentjil dan sunji. Bukankah Jan San luasnja ribuan lie? DJie-loo bukan dari kalangan lurus, tidak nanti ajah bundaku sudi bergaul dengan mereka berdua, maka itu kalau aku tjoba pergi kepada mereka, mereka tentulah tidak tahu menahu tentang ajah dan kedua ibuku..”

Oleh karena memikir demikian, anak muda ini mendjura kepada si kasar dan garang untuk berkata sembari tertawa:

”Sahabat, urusan di belakang adalah urusan di belakang hari! Siapakah dapat meramalkan apa jang bakal terdjadi? Aku sendiri, sekarang ini, aku merasa sangat berbahagia bakal berkenalan ilmu kepandaian jang liehaj dari Jan San DJie-loo!”

Sengadja Sie Kiat mengutjap demikian, guna memantjing Liok Beng menjangkal atau membenarkan hal dia mempunjai hubungan tidak dengan DJie-loo, dan kalau ada, apa hubungannja itu guru dengan muridkah?

Liok Beng benar-benar djumawa! Mendengar orang menjebut-njebut Jan San DJie-loo. Dia tidak kaget, dia djusteru bergembira. ja, dia sangat puas! Maka dia tertawa berkakakan. Lalu katanja keras:

”Hari ini aku akan membuat kau dapat mementang matamu! Nah, mari kita mentjoba-tjoba satu dengan jang lain!”

Toan Leng (Sie Kiat) mendongkol, sampai tidak mau mengatakan sesuatu. Dia tjuma terbangun sepasang alisnja. Habis itu, dia kata njaring:

”Sahabat Liok, baiklah, aku akan mengiringi kehendakmu!”

Lagi-lagi Liok Beng tertawa berkakakan. Hanja kali ini tawanja itu diteruskan dengan tangannja dibawa kebelakang punggungnja, guna menghunus sebatang golok-nja jang terang berkilauan. Selagi ditjabut, golok itu bersuara njaring ”srettt!” itulah golok kong too, jang segera dipakai menuding lawan!

“Nah, botjah, hajo, kau pun keluarkan sendjatamu! Bentaknja.

Sie Kiat mengawasi dengannja membawa lagak angkuh, terus tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia meng-hunus pedangnja…pedang Ang Hui Pookiam jang tua itu…hingga suara pedang terdengar bagaikan auman naga…

Pedangnja djuga mengeluarkan tjahaja berkilau..

Melihat pedang lawan, Liok Beng sendirinja mundur lima tindak!

“Pedang djempolan!” teriaknja, kagum dan heran.

Sementara itu, banjak orang mulai menonton dari kedjauhan, namun mereka itu berdiam semuanja. Hingga sunjilah diantara mereka semua.

Sie Kiat berlaku tenang.

“Sahabat she Liok,” katanja sabar, “Djikalau kamu menganggap pedangku pedang luar biasa, tak apalah suka aku mengalah, suka aku menjambut beberapa djurusmu dengan bertangan kosong!...”

“Hm! Liok Beng berseru tawar. Dia mendjadi gusar sekali, ”Oh, botjah, bagaimana djumawamu! djikalau benar kau tak menggunakan sendjata tadjam, ingin kau menjambut golok kong too ku dengan tanganmu jang berdarah daging, baiklah, akan aku melajanimu!

Aku djandji, asal selama lima puluh djurus aku tetap tidak sanggup membereskan kau maka hendak aku menepuk pahaku buat terus pergi mengangkat kaki!”

Matanja Sie Kiat berputar, otaknja berpikir tjepat, ”Manusia ini sangat takabur, djikalau dia tidak diadjar adat, mungkin kelak dibelakang hari dia dapat melakukan sesuatu jang buruk!”

Setelah berpikir demikian, Toan Leng tertawa, pedangnja dimasukkan pula ke dalam sarungnja. Segera ia memasang kuda-kudanja seraja terus berkata:

”Nah, sahabat she Liok, beginilah aku bersiap sedia menjambutmu!” dan kata-kata itu ditutup dengan satu rangkapan tangan tanda memberi hormat!”

Liok Beng tertawa tergelak-gelak. Tidak ajal lagi, dia menjerang dengan goloknja! Sie Kiat bersikap dengan sikap Tong Tju Paj Hud-katjung memudja sang buddha. Terus ia berkelit dari batjokan, menjusul mana, ia membalas dengan satu gempuran ke arah dada si djumawa.

Itulah serangan hebat, si Liok ketahui itu, maka didalam kaget, dia segera berlompat mundur. Tidak sempat dia menangkis, terpaksa dia mesti berkelit mengalah.

DJusteru orang mundur, djusteru si anak muda merangsak terus. Hanja kali ini serangan berupa hadjaran kepada golok lawan. Agar golok itu bisa dibikin terlepas dari tjekalan dan djatuh ke tanah!

Liok Beng mau mengandalkan tenaganja jang besar, dengan kedua tangannja, ia memegang keras gagang goloknja. Diluar dugaannja, serangan lawanpun keras sekali. Maka mau atau tidak, goloknja kena tertolak, lantaran mana, dengan djurus “Poan Liong Tjie How-naga melingkar menerkan harimau”. Ia menggunakan kedua lengannja dengan berbareng, tangan kanan mendjurus kedada, tangan kiri menjambar kebawah, kearah perut lawan, menjusul mana, kedua kakinjapun menendang dengan bergantian!

Tidak ampun lagi, Liok Beng lantas mendjadi sasaran. Sjukur untuknja, lawan masih mengingat akan kewelas-asihan, lantaran mana, tenaga serangan itu diperkurang. Dengan demikian, dia tertolak mundur tiga langkah, tetapi dia beradat keras, bukannja dia sadar dan insaf, dia menuruti kemarahannja. Habis terpaksa mundur itu, dia lantas madju pula berlompat menjerang dengan maksud membuat pembalasan. Dia menggunakan tipu silat “Toat Pauw DJiang Wie,”—“Meloloskan djubah menjerahkan kedudukan.”

Terkedjut djuga Sie Kiat menjaksikan lawan masih demikian tangguh dan gesit. Ia pun menjesal kebaikannja terbalas kedjahatan. Di detik itu djuga, panaslah hatinja. Maka ia segera membentak:

”Oh, orang tak berbudi! Orang tak tahu selatan!” sedangkan kedua tangannja dibarengi dipakai menjerang sambil kakinja pun bekerdja sama!

Itulah salah satu djurus dari Liong Houw Hian Jang TJiang jang dinamakan “Teng San Kan Goat,”—Mendaki Gunung, mengedjar rembulan.”

Liok Beng terkedjut dan repot. Tak sempat ia menggunakan goloknja, bahkan sendjatanja itu kena tersampok hingga tubuhnja turut miring, karena mana ia mendjadi terhujung mundur lima tindak pula. Kaget dan gusar tertjampur mendjadi satu, dan napaspun memburu keras. Dipihak lain, mukanja pun mendjadi merah bahkan mendongkol dan malu!

“Orang she Liu, kau benar hebat!”serunja kemudian. “Kepandaianku benar tidak berarti akan tetapi, hendak aku menanja kau, kau berani atau tidak memasuki selat Keng Liong Kok?”

“Hahaha!” Sie Kiat tertawa, sedangkan matanja menatap lawan itu: ”Jan San toh bukannja gunung golok! Atau taruh kata benar, mustahil aku ngeri mendatanginja? Sahabat, hendak aku menitip kata-kataku kepada gurumu, dalam waktu setengah bulan, aku bakal pergi berkundjung kesana!”

Baharu Sie Kiat mengutjap demikian, ia menjesal sendiri. Ia sadar pengaruh arak membuatnja bitjara demikian sembarangan.

Liok Beng menggertak gigi. Dia mengepal keras tangannja, ia atjungi.

“Oi botjah tjilik!” serunja. “DJangan kau takabur! Baiklah, tuanmu akan menantikanmu di Jan San!”

Sie Kiat terpaksa tertawa. Tak dapat ia mundur pula.

“Baiklah, begini djandji kita!” sahutnja.

Liok Beng mendelik, terus ia memutar tubuh, akan mendjemput goloknja jang terbang djatuh ke tanah, untuk seterusnja menangkat kaki tanpa menoleh pula..

Karena pertempuran berhenti, banjak penontonpun lantas bubaran. Mereka itu agak menjesal tidak dapat menjaksikan lebih lama dan lebih seru.

Sie Kiat mendongak, melihat langit. Ia menarik napas perlahan.

“Pergi ke Jan San?” pikirnja kemudian. “Disana aku mentjari adjah bundaku atau buat menempur Jan San DJie-loo si dua orang tua aneh?..”

Tak dapat anak muda ini bersangsi lama-lama. Segera dia mengambil keputusan, segera ia mulai berangkat. Maka itu selang lima hari, ia sudah tiba di kota Peng TJiang di mana ia terus memasuki pintu kota. Paling dahulu ia mentjari penginapan, karena itu waktu sang sore sudah tiba.

Pengurus hotel menjambut ramah dan dengan hormat menanjakan she dan nama orang.

“Liu Sie Kiat!” sahut Sie Kiat terus terang.

“Ada seorang tamu jang terhormat, lekas tundjukkan kamar kelas satu!” kata pengurus hotel itu, jang berpaling ke dalam dan suara njaring.

Lantas terdengar satu suara menjahut, terus muntjul orangnja, seorang pelajan, jang menjambut tamunja dengan hormat.

Heran si anak muda menjaksikan tuan rumah demikian ramah dan telaten.

Pelajan tahu tugasnja. Segera dia menjiapkan air buat mentjutji muka dan tangan. Habis mana terus dia menjediakan barang hidangan.

Sie Kiat lantas membersihkan diri, setelah selesai, iapun duduk akan bersantap. Ia malah minum arak pula.

Habis tamunja bersantap, pelajan menjuguhkan teh wangi.

“Sempurna perlajanan penginapan ini,” pikir Sie Kiat. Ia anggap, itulah tentu disebabkan pengaruh uang.

Tak lama, muntjul pula si peladjan. Dia mendjura dan kata:

”Tuan, madjikan kami mengirim salam!”

Kali ini Sie Kiat heran djuga. Penghormatan buat apakah itu? Tengah ia berdiam, dari luar kamar terdengar langkah kaki, disusul muntjulnja seorang pria bertubuh kekar dengan kumis kaku. Dia bersenjum manis dan sembari memberi hormat lantas berkata ramah:

”Tuan Liu telah berkundjung, bagi gubuk kami, sungguh suatu kehormatan!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar