Rabu, 04 Februari 2009

Ksatria Brandalan

Blog EntryKSATRIA BRANDALAN

KSATRIA BRANDALAN

BAB 1

Yo-kun memulai pembunuhan

Pedang api penuh bau amis darah

Di bawah terik matahari yang membakar.

Seseorang berdiri tegak di tengah lapang yang terlantar tanpa ada penutup atau penghalang, dia membiarkan matahari yang terik menyengat kulitnya, hingga mukanya penuh dengan keringat yang mengucur, jubahnya telah basah, tapi dia tetap berdiri seperti sebuah patung tembaga, sedikitpun tidak bergerak, sampai-sampai matanya pun tidak berkedip.

Di bawah sorotan matahari yang terus menerus, rambut dan jubahnya yang basah seperti ada uap air mengepul ke atas, sekujur tubuh orang ini seolah-olah dikepung uap air tersebut, jika di lihat sepintas orang tersebut seperti menguap ke udara bersama air, tetapi jika dilihat dengan seksama lagi tidak begitu sebenarnya.

Sudah 2 jam orang ini berdiri di bawah terik matahari, dia tetap seperti arca batu sedikitpun tidak bergerak, jubah yang basah oleh keringat sesudah kering basah lagi, kering basah lagi, tidak henti-hentinya serat-serat air itu menguap terus, dia seperti terbuat dari air saja, sebab bagaimanapun jika tubuh manusia sudah terpanggang begitu lama oleh panasnya matahari akan menjadi dendeng kering!

Hari ini adalah hari terpanas dalam 10 tahun terakhir ini!

Sampai burung-burung yang biasanya berkicau merdu, terbang tinggi dan rendah setiap hari, tidak lagi mengepakkan sayapnya, juga tidak berbunyi merdu. Semua bertengger di atas dahan di bawah rindangnya daun-daun pohon, lenyaplah kelincahan di hari-hari biasanya.

Tapi orang ini sekali berdiri di bawah terik matahari sampai 2 jam lamanya!

Mungkin orang ini orang aneh?

Setidaknya dipandang dari sudut manusia normal, dia termasuk orang aneh.

Tapi jika teliti sekali, dia sedikitpun tidak aneh.

Muka dia yang terjemur sudah menjadi merah, tapi wajahnya tampak biasa-biasa saja, sorotan matanya panas seperti matahari yang membakar, sama sekali tidak berkedip, melotot pada ujung jari kakinya.

Mendadak dalam tiupan angin yang lembut, ada suara kaki orang berjalan yang amat enteng. Seseorang seolah-olah pemain sulap, muncul begitu saja di tengah sinar matahari dan udara panas, cepat sekali sudah berdiri disisi orang aneh ini.

Orang yang berjemur tidak bereaksi sedikitpun terhadap kehadiran orang di samping dirinya, dia tetap tidak bergeming, sorot matanya masih seperti sediakala menatap ujung jari kakinya sendiri. Nyawanya pun seperti sudah meninggalkan tubuhnya mengikuti serat air yang tadi menguap ke udara.

Orang yang berjemur tidak bereaksi tapi orang yang datang malah tidak tahan.

Sepasang mata yang menyorot tajam dan dingin bagaikan jarum yang runcing menatap diri orang berjemur itu, dengan datar, pelan dan santai berkata:

Liu Yam-yo, sudah berapa lama kau berjemur disini? Kukira kau sudah mati dijemur oleh teriknya matahari!”

Liu Yam-yo yang berdiri di bawah teriknya matahari tetap tidak bergerak. Tapi sorotan matanya mulai bergeser dari ujung kakinya ke arah muka orang yang baru datang ini. Dengan pedas berkata:

Tong Kwee-seng, kau tidak datang pun aku tidak akan mati terjemur!”

Wajah Tong Kwee-seng yang putih bersih hanya sebentar saja sudah mengucurkan keringat sebesar butiran kacang kedelai. Dia menjulurkan tangannya menyeka keringat di mukanya, dia menyahut sambil tertawa ringan:

”Jika berdiri sebentar lagi, rasanya aku yang akan mati terjemur, mari kita berbincang-bincang disana saja!”

Sambil berkata, sepasang matanya menatap ke bawah sebuah pohon besar yang berjarak beberapa tombak jauhnya dari sana.

Pohon besar itu dahan dan daunnya amat subur, terasa rindang, dan kokoh berteduh disana, sebuah tempat yang sejuk dan nyaman!

Tapi Liu Yam-yo memandang pun tidak, sorot matanya yang panas seperti api tetap melotot pada wajah Tong Kwee-seng yang tidak berhenti mengucurkan keringat. Dia berkata dengan singkat:

”Bicarakan disini juga bisa.”

Sambil mengangkat tangan menyeka keringat di muka, Tong Kwee-seng berseru dengan tertawa getir:

”Kau bisa menahan tetapi aku sudah tidak tahan.” Dia berkata sambil berjalan menuju bawah pohon yang rindang itu.

“Tahan atau tidak bagimu sekarang sudah tidak penting lagi!” dalam sinar mata Liu Yam-yo seperti ada kilatan api berkilau, tiba-tiba dia bergerak maju selangkah.

Mendengar perkataan itu, Tong Kwee-seng terkejut, sambil menutarkan tubuhnya dia bertanya:

”Apa maksud perkataanmu?” sorotan matanya yang dingin dan tajam seperti 2 bilah pisau runcing, memandang muka Liu Yam-yo yang merah.

“Maksud perkataanku adalah…” Liu Yam-yo sengaja tidak meneruskan perkataannya.

Sorotan mata Tong Kwee-seng yang memandang Liu Yam-yo berubah menjadi pertanyaan.

Mendadak, Liu Yam-yo menyentak dengan suara keras:

”Sebab kau sudah menjadi orang mati!” belum habis perkataannya, tangannya bergerak, dari lambaian lengan bajunya, seberkas sinar merah yang menyilaukan mata tampak muncul dari dalam tangannya. Kilauan seperti api menyala menerjang masuk ke arah pinggang Tong Kwee-seng!

Sekejap saja sekujur tubuh Tong Kwee-seng seperti terbakar api, dia meloncat sekuatnya, sayang lompatannya tidak berhasil, dengan berat dia terhempas kembali ke permukaan bumi. Dan selamanya tidak akan bisa melompat lagi.

Sebilah pedang pendek yang berwarna merah telah menancap dalam-dalam di bagian pinggang Tong Kwee-seng, hanya menyisakan gagang pedang sebesar ibu jari yang berwarna merah seperti bola api, yang digenggam oleh tangan kanan Liu Yam-yo.

Darah segar segera mengalir keluar dari pinggang Tong Kwee-seng yang terluka, memerahkan sebagian besar baju panjang sutra putih yang dikenakannya.

Paras muka Liu Yam-yo muncul sebuah senyuman yang panas seperti api, dia tidak mencabut pedang pendek yang terbenam di dalam tubuh Tong Kwee-seng, sehingga Tong Kwee-seng tidak segera meninggal.

Tapi rasa sakit membuat wajah putih bersih Tong Kwee-seng bercucuran keringat seperti hujan, dia menyeringai tidak berupa lagi, tubuhnya bergoncang keras, dari dalam matanya menyorot sinar kemarahan, kebencian serta penuh ke tidak mengertian. Dia bertanya dengan suara parau:

”Kenapa kau membunuhku?”

Liu Yam-yo tidak menjawab malah balik bertanya:

”Apakah kau sekarang merasa lebih nyaman dan tidak panas seperti tadi lagi?”

Saat ini Tong Kwee-seng bukan saja tidak merasa panas, malahan seperti merasa kedinginan yang amat sangat, dia seperti terperosok ke dalam lubang es yang amat dingin.

“Kenapa kau membunuhku?” Tong Kwee-seng mengulang lagi pertanyaan semula, tubuhnya bergontai hampir roboh.

Sekujur tubuh Liu Yam-yo seperti segumpal bara api, dengan pedas menyentak:

”Kau masih bisa bertanya padaku?”

Dalam matanya terbesit rasa terkejut, mendesis dengan suara pelan dan getir:

”Kau sudah tahu semuanya?”

Sinar mata Liu Yam-yo seperti mau melumat-kan sekujur tubuh Tong Kwee-seng menjadi abu:

”Kau kira mampu mengelabui aku?”

Tong Kwee-seng yang mendengar, tubuhnya bergetar hebat, dia mengeluh:

”Ternyata kau selalu tidak mempercayaiku?”

Liu Yam-yo dengan suara keras menghardik:

”Kau kira aku bisa percaya dengan orang sepertimu?”

Kepala Tong Kwee-seng menunduk dengan lesu.

“Katakan! Sebenarnya kau telah membocorkan masalah ini pada siapa saja?” Liu Yam-yo menggoyang sedikit tangan yang memegang tangkai pedang, sekujur tubuh Tong Kwee-seng menggelepar kesakitan, kepala yang menunduk, tiba-tiba mengangkat memekik dengan mata mendelik:

”Kau kira aku akan memberitahu padamu. Tidak akan, selamanya tidak akan!” selesai berkata, kepala yang mengangkat sekali lagi menunduk lemas, sosok tubuhnya pun melorot ke bawah pelan-pelan!

Muka Liu Yam-yo berobah, dia segera meren-tangkan tangan, menopang kepala Tong Kwee-seng, terlihat ujung bibir Tong Kwee-seng yang terkatup rapat merembes keluar sedikit darah segar.

“Mampus kau jahanam!” Liu Yam-yo mencerca sambil mengangkat kaki, sebuah tendangan mengenai tubuh Tong Kwee-seng dan terbanglah tubuhnya jauh kesana.

Jasad Tong Kwee-seng menyemburkan hujan darah, jatuh terhempas jauh di bawah pohon besar seperti seonggok tanah becek.

Liu Yam-yo menghempaskan tangan kanannya yang memegang pedang, bercak-bercak darah yang menempel pada batang pedang seperti untaian manik-manik rontok semua ke tanah. Tangannya membalik dan pedang pendeknya sudah tersimpan kembali di balik lengan bajunya.

“Kau salah besar! Jangan kira dengan tidak memberitahu, aku tidak bisa melacak!” sorotan mata Liu Yam-yo seperti api, dengan puas menatap agak lama pada jasad Tong Kwee-seng yang terlentang di bawah pohon, dia lalu mengebutkan lengan bajunya dengan cepat berlalu dari tempat itu.

***

Hari ini perasaan hati Lok Cin-pek sedang nyaman, dia duduk seorang diri di tengah saung kecil yang berada di taman belakang, dangan santai sedang menikmati arak Soat-piau-hiang yang dibuat sendiri dan di simpan dalam guci beberapa tahun silam.

Beberapa tahun belakangan ini usahanya berkembang dengan pesat, masalah apapun dia selalu mengerjakan sendiri, dia juga mengingatnya dengan jelas. Selama beberapa tahun belakangan ini, untuk kedua kalinya dia bisa menikmati arak seorang diri sambil duduk dalam saung dengan santainya.

Pertama, dia telah mengalahkan lawan paling kuat dalam hidupnya, yaitu menjatuhkan ketua sanggar Golok kilat, Jauw Lam-san. Saat itu kekuatan mereka behutanng dalam segala bidang di kota ini.

Setelah mengalahkan Jauw Lam-san, lalu dia memporak porandakan sanggar Golok kilat, mengambil alih segala asset dan tanahnya, menyatukan dengan kekuatan yang dimilikinya, setelah itu semua usahanya mulai merangkak maju, 2 hari yang lalu kekuatannya telah mencakup ke setiap pelosok kota. Mulai saat ini, dia boleh membebaskan pikirannya, tanpa harus meng-khawatirkan ini itu lagi, sebab tidak ada lagi orang yang berani mengusik kumis macan ini kalau masih sayang pada nyawanya.

Itulah sebabnya, sejak pagi dia sudah berada dalam saung kecilnya untuk minum-minum.

Ini juga penyebab hatinya begitu lapang, senang, dan gembira.

Meneguk arak yang harum, menikmati ke indahan dalam taman yang dirancang dan ditata apik, penuh dengan gunung-gunungan, kolam ikan, air mancur, pepohonan, dedaunan, bunga, dan rumput-rumputan. Muka Lok Cin-pek mengembang sebuah senyuman puas yang mendalam!

Saat ini, saat dia minum arak, siapapun tidak boleh mengganggu, ini adalah kebiasaannya, juga merupakan peraturannya.

Tetapi ketika dia sedang meneguk cawan yang ke-6, kening dan kedua alisnya menjadi berkerut, sorotan matanya penuh dengan kemarahan.

Dia mendengar suara kaki berjalan dengan tergopoh-gopoh menuju ke taman belakang ini.

Siapa yang begitu berani menerobos masuk saat dia sedang minum-minum? Apa dia tidak takut mati?

Lok Cin-pek menggenggam keras cawan kemala putih di tangannya, sepasang matanya dengan seksama memandang pintu masuk taman, dia mau melihat, sebenarnya siapa yang begitu berani menerobos masuk saat dia sedang asyik minum arak!

Akhirnya dia dapat melihat orang itu.

Dia adalah anak buahnya yang paling bisa dipercaya, Su Li-yung, dia bukan saja pegawainya yang sangat membantu, juga orang paling cekatan, paling hebat pula.

Lok Cin-pek memandang Su Li-yung yang berlari tergopoh-gopoh masuk ke taman, kemarahannya memuncak sehingga tangan yang memegang cawan bergoyang disebabkan bertambahnya tenaga, “poppp” sebuah suara yang nyaring terdengar, cawan kemala putih dalam genggamannya hancur menjadi kepingan halus arak yang kental dan wangi mengalir bertetesan di atas meja.

Kalau orang lain, tentu Lok Cin-pek tidak ragu-ragu lagi sudah membunuhnya, sebab yang menerobos masuk ke dalam taman adalah Su Li-yung, dia tidak tega membantainya, kemarahannya yang tidak dapat ter-salurkan, membuat cawan antik kemala putih yang di-genggam di tangan yang menjadi sasaran pelampiasan nya.

Sepasang mata Lok Cin-pek terus mengikuti diri Su Li-yung yang menghampiri dengan berlarian, setelah langkah Su Li-yung berhenti di depan saung, sorotan matanya pun berhenti di atas sosok Su Li-yung.

Su Li-yung tidak sempat memperhatikan perasaan Lok Cin-pek, sebab di luar sudah terjadi masalah yang serius, dengan tangan terjuntai, dia membungkukkan tubuh memandang wajah murka Lok Cin-pek di dalam saung, dengan suara tersengal-sengal melapor:

”Ta-ya di luar ada orang yang menunjuk nama anda ingin bertemu!”

Amarah yang ditahan-tahan Lok Cin-pek akhirnya meledak, dengan suara tinggi nada marah membentak:

”Apa katamu? Apa kau sudah buta, tidak melihat aku sedang minum disini?”

Setelah mendengar suara bentakan, Su Li-yung baru sadar Lok Cin-pek sedang marah besar. Dia paham, semua ini disebabkan oleh dirinya yang berani menerobos masuk ke dalam taman, sehingga membuyar-kan kesenangan dia menengak arak seorang diri, Dengan gugup secepatnya dia memberi penjelasan:

”Tindakan orang itu amat kejam, sekalian pengawal sudah menahan dia sekuat tenaga, tetapi sekali dia mengayunkan tangan, beberapa orang sudah langsung terbunuh, melihat keadaan kurang yang menguntungkan, maka hamba memberanikan diri menerobos masuk untuk meminta petunjuk Ta-ya!”

Bagaimanapun Lok Cin-pek adalah orang yang pernah melakukan pekerjaan besar, setelah mendengar laporan tadi dia segera menenangkan diri, bertanya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar