Rabu, 23 Juli 2008

Laut Bersalju Sungai Berdarah

LAUT BERSALJU SUNGAI BERDARAH

Angin berhembus dengan kencang, membuat daun yang sudah layu dan masih tergantung di atas pohon disapu hingga bersih. Di luar sebuah kota terpencil disana tidak tampak ada seorang pun. Di tanah yang luas itu hanya terdengar suara hembusan angin yang menusuk hingga ke telinga.

San-hai-koan adalah sebuah kota, tampaknya tidak didirikan hanya dengan tujuan menahan serangan dari bangsa luar yang menyerang kota itu, jika kita keluar dari kota ini, kita akan merasakan cuaca berubah menjadi buruk dan angin berhembus sangat kencang.

Angin utara menghantarkan suara derit roda kereta yang terus berbunyi. Setelah beberapa detik berlalu, baru terlihat ada 7-8 orang laki-laki yang berjalan sambil mengapit sebuah kereta kuda. Mereka terus berjalan memasuki sebuah hutan.

Para lelaki itu segera menghentikan keretanya, kemudian dari dalam kereta mereka mengeluarkan sebuah papan tebal dan ranting-ranting pohon besar. Tampak mereka mulai menggergaji, memukul dengan palu besar, ada juga yang sedang mengayunkan kapaknya. Mereka bekerja di belakang kereta, tidak lama kemudian mereka telah membuat sebuah kurungan yang terbuat dari kayu. Lalu mereka membongkar kereta kuda itu, roda kereta dipasangkan di bawah kurungan kayu, ternyata mereka membuat sebuah kereta tahanan.

Dari dalam kereta mereka membopong seorang lelaki berambut acak-acakan.

Seorang lelaki setengah baya membentak:

”Buka celana dan baju orang ini, masukkan ke dalam kurungan!”

Mungkin karena jalan darah lelaki tahanan itu telah ditotok maka dia tidak bisa melawan perlakuan mereka. Hanya dalam waktu sebentar, dia telah ditelanjangi, yang tersisa hanya celana dalamnya saja. Kemudian dia dimasukkan kembali ke dalam kereta tahanan yang baru dibuat, kepalanya terjulur keluar di atas kurungan kayu itu, sedangkan tubuhnya berada di dalam kurungan.

Angin yang berhembus, membuat rambutnya berterbangan tertiup angin. Kali ini baru terlihat dengan jelas ternyata wajah tahanan ini sangat tampan, putih, dan tidak bercambang, dia tampak pintar dan lincah. Sama sekali tidak mirip orang yang telah melakukan tindak kejahatan.

Lelaki setengah baya itu membuka nadi yang tadinya membuat si tahanan tidak bisa bicara.

Kao Im-liong, bagaimana rasanya angin utara ini? Saat kau membunuh, apakah ingat siksaan seperti ini akan menantimu?”

Lelaki yang berada di dalam kereta tahanan itu menjawab:

Sung Ji-cu, aku sudah mengatakan berulang kali, aku tidak membunuh Kie Eng-leng, dengan cara apa lagi aku bisa membuatmu percaya?”

Seorang lelaki agak muda yang berdiri di sisi Sung Ji-cu tampak marah, dia membentak:

”Hei bocah tengik, kau benar-benar tidak tahu diri! Kau tidak boleh menyebut nama besar Kie Tay-ya secara sembarangan!”

Dengan nada ringan Kao Im-liong berkata:

”Masing-masing orang mempunyai prinsip, kalian menganggap dia sebagai dewa, orang lain belum tentu! Wajahnya seperti apa sampai sekarang pun aku tidak tahu!”

”Siau Liu, tidak usah banyak bicara dengannya! Yang penting setelah tiba di depan kuburan Kie Tay-ya, kita ambil jantungnya untuk dipakai sembahyang dan juga untuk membalas kebaikan Kie Tay-ya kepada kita! Ayo, kita berangkat sekarang juga!” kata Sung Ji-cu

Laki-laki muda itu naik ke punggung kuda umtuk menarik kereta tahanan. Angin utara sangat dingin meniup kulit tubuh. Walaupun Kao Im-liong mempunyai ilmu silat tinggi, dia tetap saja gemetar karena kedinginan.

Saat sore tiba, walaupun sudah menotok nadi untuk kebal terhadap cuaca dingin, tetap saja dia terus gemetar seperti orang yang sedang menampi beras.

Seorang laki-laki kurus bernama Cu Po, dengan suara kecil berkata:

”Lotoa, aku takut dia tidak akan bisa bertahan sampai malam!”

Sung Ji-cu melihat hari hampir gelap, dia berkata:

”Cari tempat yang anginnya tidak kencang, dan kita menginap di sana!”

Sesudah lama mencari, mereka baru berhasil mendapatkan sebuah tempat dekat gunung, kereta pun dihentikan di tempat itu. Sesudah lelaki-lelaki itu turun dari kuda, mereka sibuk menyiapkan segala sesuatunya, kemudian mereka mengumpulkan kayu bakar dan batu. Batu-batu itu untuk membuat tungku, dan mereka juga menggunakan bebatuan itu untuk mendirikan dinding setinggi pundak, dengan tujuan menahan hembusan angin kencang.

Kayu dibakar, dan keadaan merasa hangat, tapi karena ditotok mereka, aliran darah berjalan lebih lambat, bibir Kao Im-liong masih berwarna ungu kehijauan, tapi tubuhnya tidak gemetar lagi.

Cu Po dan yang lainnya mengeluarkan bakpao daging dan dipanaskan di atas api, setelah hangat siap untuk dimakan. Sung Ji-cu duduk di sebuah batu sambil melihat Kao Im-liong yang masih berada dalam kurungan, dia berharap Kao Im-liong minta makanan kepadanya.

Tetapi dia kecewa karena Kao Im-liong tetap duduk dengan diam di dalam kurungan, seperti seorang biksu yang sedang bertapa.

”Lotoa, jarak dari sini hingga ke kuburan Kie Tay-ya masih harus beberapa hari lagi? Cuaca begitu dingin, aku takut dia tidak akan bisa bertahan.” bisik Cu Po

”Mengapa kau begitu perhatian kepadanya?” tatap Sung Ji-cu

Sifat Sung Ji-cu sangat keras, Cu Po sangat mengerti keberatannya maka dia segera menjawab:

”Jangan salah paham, aku takut dia tidak bisa bertahan sampai di tempat tujuan...”

Sung Ji-cu tampak tidak sabar dia melambaikan tangan:

”Sudahlah, beri sedikit makanan padanya!”

Cu Po membawa sepotong daging yang diasin-kan, dia menotok nadi kaki dan tangan Kao Im-liong, dan membuka totokan di bagian pinggang kemudian menyuapi-nya.

Kao Im-liong tidak sungkan, daging dan 2 buah bakpao dimakannya dengan lahap, dia juga minum banyak air kemudian dia berkata:

”Aku mau buang air besar!”

Sung Ji-cu tertawa terbahak-bahak:

”Buang saja di dalam celanamu! Dorong kereta ini ke sebelah sana, jangan biarkan bau kotorannya sampai tercium olehku!”

”Jika aku buang air kecil atau besar di celana, besok saat mulai melakukan perjalanan baunya pasti akan tercium oleh olehmu!”

”Jangan macam-macam, aku sudah menghabis-kan banyak waktu dan tenaga baru berhasil menangkapmu, mana mungkin aku akan membiar kan kau melarikan diri begitu saja!”

Kao Im-liong tertawa terbahak-bahak:

”Siapa yang menyuruhmu melepaskanku? Kedua tanganku sudah ditotok, lariku pun tidak akan lebih cepat dari seekor kuda, apalagi kalian ada 7-8 orang!”

”Baiklah, Cu Po, kau yang bertanggung jawab menjaga dia!”

Cu Po mengomel sambil melepaskan Kao Im-liong keluar dari dalam kurungan, dia membawa 2 orang anak buahnya dan menyiapkan busur, lalu mengantar Kao Im-liong buang air besar.

Kao Im-liong tampak tidak berniat melarikan diri. Setelah selesai buang air besar, dia berjalan dengan langkah besar, lalu duduk di pinggir Sung Ji-cu dan bertanya:

”Aku ingin tanya kepadamu, harap kau mau menjawab dengan jujur!”

Cu Po dengan cepat menyela:

”Masuk ke dalam keretamu, kalau tidak jangan salahkan kami berbuat kasar kepadamu!”

Kao Im-liong menjawab dengan dingin:

”Apa kau takut aku kabur? Jika aku berniat kabur untuk apa aku kembali lagi ke sini?”

Cu Po terdiam, memang benar yang di katakan oleh Kao Im-liong tapi Sung Ji-cu tetap marah:

”Sekarang yang menjadi tahanan kau atau aku? Berani sekali kau bertanya kepadaku? Hm... Aku benar-benar ingin tertawa karena kau membuatku merasa lucu!”

Kao Im-liong menjawab dengan tegas:

”Aku hanya ingin mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya? Aku mohon kau mau mengatakan padaku, bagaimana Kie Eng-leng bisa terbunuh? Dan kapan dia meninggal?”

”Kau tidak boleh memanggil namanya dengan sembarangan!” kata Sung Ji-cu marah

Dengan dingin Kao Im-liong berkata lagi:

”Kalian mendapat kemurahannya, karena itu kalian memanggilnya dengan sebutan Tay-ya, aku tidak melarang, tapi mereka selalu melakukan aksi di luar San-hai-koan. Aku belum pernah keluar dari San-hai-koan dan aku tidak kenal dengannya, hanya kadang-kadang saja ada orang yang bercerita tentangnya. Kali ini dia membuatku tersiksa, apakah aku harus seperti kalian memanggil dengan sebutan Tay-ya?”

Wajah Sung Ji-cu berubah:

”Kau benar-benar tidak takut mati?”

”Tentu saja takut! Apakah di antara kita pernah ada permusuhan? Kau berniat membunuhku karena kau menuduh aku yang menjadi penyebab kematian Kie Eng-leng!”

”Bukan curiga tapi ini adalah sebuah kenyataan! Di dunia ini kecuali dirimu, siapa yang sanggup menggunakan pedang berbentuk ular?” Sung Ji-cu menyuruh anak buahnya mengeluarkan pedang Kao Im-liong yang berbentuk ular. Kedua sisi pedang itu sangat tajam seperti kepala ular yang sedang menjulurkan lidahnya bercabang dua, panjangnya berlidah sekitar 7.50 sentimeter, pedang itu tampak bercahaya. Sekali melihat dapat diketahui kalau pedang itu bukan pedang biasa!

”Apakah ada yang melihat kalau aku she Kao yang membunuh tuan besar kalian?”

”Polisi sakti bernama Oey Pho-yam mengatakan kalau Kie Tay-ya mati karena senjata berbentuk pedang ular! Selama puluhan tahun kecuali murid Siau-liong-bun, tidak ada yang menggunakan senjata seperti ini, dan kami telah menyelidiki kalau perkumpulan Siau-liong-bun, sampai generasi kakek gurumu selalu mewariskan pada pewaris tunggal!”

”Apakah polisi yang kau maksud adalah polisi yang bernama Oey Pho-yam dari San-hai-koan?”

”Betul! Dia sering memecahkan banyak kasus, jika dia berani berkata seperti itu, semua orang akan percaya kepadanya!” Sung Ji-cu tertawa terbahak-bahak, ”karena itu kau tidak bisa berbohong lagi, aku tidak akan mudah tertipu! Masuklah ke dalam keretamu! Pedang ini dan Siau-liong-bun akan mengiringi kematianmu! Setelah kau mati tidak ada yang merasa menyesal tapi orang seperti Kie Tay-ya jika mati di tangan siluman sesat sepertimu sungguh sangat disesal-kan!”

Kao Im-liong membentak:

”Kau belum memberitahuku kapan Kie Eng-leng mati?”

”Kau membunuhnya pada bulan 8 tanggal 10, sebelum hari Tiong-ciu (hari kue bulan).”

Kao Im-liong tertawa keras:

”Pada malam Tiong-ciu, aku sedang berada di Hang-ciu tepatnya di restoran Thian-hiang, waktu itu aku sedang mabuk berat. Jaraknya begitu jauh sampai ribuan kilometer, bagaimana aku bisa ada di sana?”

”Siapa yang sudi mendengarkan omong kosong-mu?” seru Cu Po.

”Aku punya 3 orang saksi!” bela Kao Im-liong.

”Siapa mereka?”

”Pertama Gouw In-hiang, kedua Kang Guan-tiang, dan ketiga Yo Sun!” Wajah Kao Im-liong sedikit kendur, sepertinya masih ada harapan hidup karena ketiga orang itu sangat terkenal di daerah Kanglam dan bila ingin mencari mereka pasti tidak akan sulit!

Kata-kata Kao Im-liong membuat tangan dan kaki mereka dingin seperti es:

”Ketiga orang yang kau sebut tadi tentu telah menjadi kaki tanganmu atau bisa dikatakan mereka membantumu membunuh Kie Tay-ya! Kami sudah menyelidiki, mereka bertiga juga telah terbunuh oleh senjata berbentuk pedang ular!”

Sung Ji-cu marah dan membentak:

”Kao Im-liong, kau mau membantah apa lagi!”

”Kami tidak ada permusuhan denganmu, untuk apa kami jauh-jauh datang dari Song-ciu, membawamu ke tempat dingin. Jika kami tidak menyelidiki dengan benar, siapa yang sudi berbuat hal bodoh seperti kami!”

Laki-laki kurus yang bernama Thi Su-hiong berkata:

”Kau tampak terpelajar, tidak disangka kau begitu kejam, sampai teman sendiri pun kau berani bunuh!”

Kao Im-liong hanya bisa bengong:

”Aku tidak mempunyai permusuhan kepada Kie Eng-leng, untuk apa aku membunuhnya?”

”Setelah kematian Kie Tay-ya, kami baru tahu ternyata di rumahnya banyak barang antik dan lukisan langka yang telah menghilang. Semua benda-benda itu sangat mahal harganya!”

”Apakah ketika Kie Tay-ya dibunuh tidak ada saksi yang melihat? Apakah semua keluarga Kie Tay-ya pun mati?” tanya Kao Im-liong.

”Keluarga Kie Tay-ya yang berjumlah 79 orang, semua mati terbunuh!” Sung Ji-cu sangat marah, ”Kau sangat kejam dan tidak berperi-kemanusiaan! Jika kau mengingin-kan harta benda untuk apa kau harus membunuh mereka juga!”

Kao Im-liong seperti sebuah bola kempis, dia terduduk di bawah, kali ini dia merasa seperti sedang meloncat ke Sungai Huang-ho, dia tidak bisa mengembalikan nama baiknya!

Setelah lama dia baru bertanya:

”Apakah benar ketiga orang itu sudah mati, kapan mereka terbunuh?”

”Sebelum kami menangkapmu, karena kami tahu kalau mereka bertiga adalah temanmu, maka kami pun mendatangi mereka dahulu untuk menyelidiki lebih lanjut, tidak disangka keluarga mereka pun menghilang. Tentu kau yang telah membunuh mereka, kami tahu kalau kau sudah pergi ke Song-ciu maka kami pun segera menyusul ke Song-ciu!” jelas Cu Po.

”Jika begitu kalian tidak bertemu mereka?”

”Istri mereka yang mengatakannya sendiri mana mungkin mereka berbohong? Apakah istri mereka bermusuhan denganmu?”

Kao Im-liong merasa kasus yang terjadi kali ini sangat rumit dan menyangkut kematian banyak orang. Dia juga tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, dia tidak pernah berbuat salah kepada banyak orang, mengapa dia dijebak dengan cara seperti ini.

Sung Ji-cu menyuruh mereka memakaikan baju untuk Kao Im-liong, dia tetap ditotok kemudian dilempar kembali masuk ke dalam kereta tahanan.

Api unggun yang dipasang belum dipadamkan, Sung Ji-cu dan lainnya sudah tertidur nyenyak, tapi Kao Im-liong semalaman tidak bisa tidur karena dia merasa kematiannya tidak perlu disesalkan, hanya saja dia tidak ingin menanggung dosa yang tidak diperbuatnya!

Nama Siau-liong-bun sedikit aneh, biasanya orang menyebutnya ular, tapi sering juga disebut naga kecil. Perkumpulan ini disebut ’Siau-liong-bun’ karena ilmu silat perkumpulan ini berhubungan dengan ular.

Perkumpulan ini hanya perkumpulan kecil, ketika sedang mengangkat nama, tiga generasinya pun tidak lebih dari 10 orang. Tapi karena perkumpulan ini selalu melakukan perbuatan yang semaunya, kalangan golongan hitam maupun putih selalu bermusuhan dengan mereka. permusuhan ini semakin lama semakin besar, dalam suatu pertemuan akhirnya anggota perkumpulan ini mati karena diracun melalui arak, hanya cucu murid yang bernama Thio Meng-ih yang lolos, waktu itu dia sedang sakit dan tidak bisa hadir akhirnya dia bisa lolos dari bencana ini, anggota lainnya mati semua karena keracunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar