Rabu, 30 Juli 2008

Badai Persilatan

JILID KE SATU

BAB 1

Malam yang mengejutkan hweesio kecil

Matahari baru saja terbit, Siong-san yang juga bernama Tiong-hiat merupakan gunung yang sambung menyambung menjadi satu, di sana sini terlihat jurang yang terjal dan sangat berbahaya. Siauw-lim-sie yang sangat terkenal pun berada di tempat ini.

Puncaknya yang tinggi seperti masuk ke dalam awan, di sana ada sebuah dataran luas sekitar ratusan kaki persegi, walaupun sekarang ini baru pukul 5 dini hari, tapi hweesio-hweesio Siauw-lim-sie sudah mem-baca kitab suci, lonceng pagi dari Siauw-lim-sie terus berdentang, ditambah dengan suara hweesio yang mengetuk ikan kayu (Bokhi) serta suara hweesio yang sedang membaca kitab suci, membuat siapa pun semakin merasa tempat ini sangat tenang dan tentram.

Di tempat datar itu, berbaring seorang hweesio kecil usianya baru sekitar 15-16 tahun. Dia terlihat sehat, alis matanya besar, hidung mancung, mulut persegi, sewaktu dia tertawa, dari sudut mulutnya terlihat dia masih polos. Sekarang dia sedang melihat sekitarnya sambil menggosok-gosok mata, dia baru terbangun dari tidurnya dan berkata pada dirinya sendiri, ’Dari pagi sampai malam suara berisik tidak henti-hentinya membaca O-mi-to-hud, aku benar-benar benci sebab sudah mengganggu tidurku.”

Dari raut wajahnya terlihat dia tidak suka diganggu, tangan kanannya menutupi alis untuk melihat ke arah kuil Siauw-lim-sie yang terlihat dari jauh dan megah.

Waktu itu seorang hweesio berwajah merah dan berbentuk kotak serta bertelinga besar sedang berjalan dengan perlahan ke arah hweesio kecil itu. Dia mengerutkan alisnya yang panjang juga putih, dia berjalan dengan tidak tenang.

Begitu hweesio kecil itu melihat ada yang datang, dia terkejut dan hampir berteriak, ternyata orang yang datang adalah hweesio tua yang merupakan salah satu dari 3 hweesio yang punya kedudukan tinggi di Siauw-lim-sie di panggil Leng In Taysu. Kedudukannya cuma berada di bawah ketua Siauw-lim-sie, Leng Te taysu.

Awalnya Leng In Taysu adalah murid yang bukan hweesio, murid dari ketua Siauw-lim-sie sebelumnya. 3 tahun yang lalu, tiba-tiba Leng In kembali ke Siauw-lim-sie dan mencukur rambutnya dengan suka rela. Ilmu silatnya sangat tinggi sebab dia mendapat warisan ilmu silat secara langsung dari ketua terdahulu, maka setelah dia kembali ke Siauw-lim-sie dia sangat diperhatikan oleh Leng Te Taysu. Sehingga dia tinggal di tempat penting di Siauw-lim-sie yang bernama Tan-lim-goan.

Jadi Leng In Taysu mempunyai kedudukan tinggi di Siauw-lim-sie, hweesio kecil itu biasanya sangat nakal, kenakalannya terkenal di seluruh kuil ini, kecuali berlatih ilmu silat, sisa waktu digunakannya untuk tidur. Pikirannya dipenuhi dengan khayalan, kalau tertidur di siang hari dia juga sering bermimpi. Orang-orang Siauw-lim-sie menjuluki dia ’Bong-cin’ (hweesio pemimpi) kepadanya.

Leng In Taysu sudah semakin mendekat, hweesio pemimpi sudah terbangun, gerakan tubuhnya ringan seperti seekor burung walet, dia ingin menyambut paman gurunya, tiba-tiba dia melihat sesuatu. Di otaknya berkelebat sesuatu pikiran, dia segera membalikkan tubuh dan lari sekitar 6 meter ke samping, kemudian dia bersembunyi di balik sebuah batu besar.

Tampak Leng In Taysu sedang memikirkan sesuatu. Gerak-gerik hweesio pemimpi ini tidak diketahui olehnya. Terlihat Leng In Taysu sedang mengerutkan alisnya, seperti sedang khawatir, terlihat bibirnya bergerak, ”Hhhhh!......”

Hweesio pemimpi terkejut dia menggeser tubuhnya untuk melihat lebih jelas dari sisi batu besar itu. Terlihat wajah Leng In Taysu sedang penuh khawatir, dia menatap langit, kemudian menarik nafas panjang! Hweesio pemimpi curiga dan berpikir, ’Apa yang sedang dipikirkan oleh Leng In Supek?’

Tidak lama kemudian, sikap Leng In Taysu eperti bertambah bengong, sorot matanya memancarkan kebencian, bibirnya terus bergerak, alis kirinya ditarik ke atas, sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu. Tapi mulutnya tidak mengeluarkan suara. Dia mempunyai kekesalan yang sulit diungkapkan, walaupun di tempat ini dia anggap tidak ada orang!

Lama Leng In Taysu menggoyang-goyang kepala nya, dia juga menghela nafas.

”Aku telah gagal, seharusnya ’dia’ sudah datang kemari!”

Hweesio pemimpi benar-benar terkejut dan berpikir, ’Siapa ’dia’ yang dimaksud? Apa yang dimaksud gagal oleh Leng In Supek?’ dia berjongkok di balik batu, hatinya penuh kebingungan, dia juga tidak berani menggeserkan tubuhnya karena takut mengejut-kan Leng In Taysu.

Leng In Taysu sudah kembali seperti semula, dia hanya menarik nafas dan dengan pelan berkata:

”Hal yang sudah jelas seperti ini, apa boleh dikata... kalau malam ini dia tidak kemari, besok pagi aku yang akan pergi ke sana, aku akan menerima apa yang seharusnya kudapatkan, lebih baik mati di tangan ketua dari pada mati di tangan kakak sendiri!”

Wajah Leng In Taysu seperti kram dan terlihat kesakitan, pelan-pelan dia memutar tubuhnya, dia berjalan ke atas gunung.

Begitu sosok Leng In sudah tidak terlihat, hweesio pemimpi baru berani keluar dari balik batu, dia terkejut dan menaruh curiga, dia sendiri pun bingung.

Leng In Supek yang sangat dia sukai sepertinya mempunyai kesulitan, dia berpikir semua ini tidak ada hubungan dengannya tapi yang membuatnya aneh adalah kata-katanya yaitu ’lebih baik mati di tangan ketua dari pada mati di tangan kakak sendiri!’

”Siapakah ketua yang dimaksud oleh Leng In Supek? Apakah yang dimaksud dengan kakak sendiri adalah kakak kandung Leng In Supek?”

Hweesio kecil itu melihat langit dan melamun, diam-diam dia berpikir lagi, ’Susiok sepertinya sedang menunggu seseorang... siapa yang ditunggunya?’

Tiba-tiba dia teringat pada kata-kata Leng In... ’kalau malam ini dia tidak datang, besok pagi, aku akan....’

Hati hweesio pemimpi bergetar begitu pun dengan alisnya, dia bicara sendiri, ’Malam ini dia tidak datang, apakah Leng In Supek tahu malam ini akan ada yang datang, apakah orang yang datang itu adalah ’dia’? yang dimaksud oleh paman guru? Aku juga ingin menunggunya....’

Dari kuil terdengar suara lonceng berdentang, lonceng berdentang 3 kali, hweesio pemimpi berteriak dengan senang:

”Waktu makan hampir tiba!” dia lari seperti asap ke arah kuil....

Malam yang gelap menutupi gunung, suara lonceng yang nyaring terdengar melalui gunung-gunung, suara lonceng bergema mencapai puluhan li jauhnya.

Siauw-lim-sie yang terkenal terlihat di bawah sinar bulan yang redup, bangunan yang sambung menyambung mencapai puluhan. Setelah lonceng berdentang, kuil menjadi sepi, ribuan hweesio dengan iringan dentang lonceng masuk ke alam mimpi.

Tiba-tiba di jalan naik sebuah gunung, muncul seseorang dengan wajah yang ditutup dengan kain hitam. Di punggungnya terselip sebuah pedang panjang, dia mengenakan baju ketat. Matanya melirik ke kiri dan kanan kemudian dia lari ke gunung itu. Gerakannya cepat juga lincah, dengan cepat dia melewati jalan gunung itu.

Di depan pintu utama kuil, orang itu berhenti, dia tidak ragu hanya berhenti untuk melihat keadaan sekitarnya. Dia meloncat ke atas dinding pagar seperti seekor kucing, begitu pundaknya bergerak dia sudah berjalan ke kuil.

Setelah kira-kira berjalan 10 menit, di dalam kuil dengan gerakan tubuh yang lincah dia berhasil menghindari penjagaan hweesio kuil.

Sekarang dia berhenti di depan sebuah rumah yang berdiri sendiri, di bawah sinar bulan tampak matanya terus berputar, matanya terang seperti bintang menatap langit.

Di pekarangan, pohon-pohon bambu baru saja ditanam, pohon-pohon bambu itu mengeliling dua kamar bagian luar, terlihat kamarnya sepi tapi masih terang.

Tiba-tiba orang itu menarik sorot matanya yang dingin, tanpa rasa takut dia melangkah masuk, langkah-nya besar-besar tapi tidak mengeluarkan suara.

Pintu kamar masih terbuka lebar, di dalam kamar ada 2 lilin yang masih menyala, di tengah kamar ada sebuah meja persegi, meja itu biasanya digunakan untuk sembahyang, di belakang meja ada seorang hweesio tua yang sedang duduk bersila. Tangannya memegang sebuah tungku setinggi setengah meter, di dalam tungku ada kayu wangi Tan-hiang yang sedang terbakar, asap memenuhi seluruh ruangan.

Hweesio tua yang sedang duduk bersila seperti mendengar suaranya, dengan cepat dia mengangkat kepala, kedua matanya yang terang melihat ke tempat di mana orang yang baru masuk itu berdiri. Apakah dia tahu siapa orang yang masuk itu? sebab setelah melihat, hweesio itu memejamkan matanya lagi tapi terlihat wajahnya terus bergerak-gerak, kemudian dia menun-dukkan kepalanya lagi.

Orang yang datang malam-malam ini terkejut dan berpikir, ’Dia tahu kalau aku ada di sini, mengapa dia masih diam? Apakah dia tahu siapa aku? Maka....’

Tapi hweesio tua yang sedang menundukkan kepala itu berkata dengan pelan:

”O-mi-to-hud, malam larut seperti ini Tuan masuk ke kuil, kalau orang yang tidak mempunyai ilmu silat tinggi mana mungkin bisa masuk kemari? Silakan masuk dan duduk mengobrol denganku.”

Orang yang baru datang itu tertawa, dia sedikit bergerak dan sudah berada di depan hweesio tua itu. Kemudian pelan-pelan mengangkat tangan kanannya, sewaktu dia akan membuka penutup wajahnya, tiba-tiba hweesio tua itu menghela nafas:

”Nanti..... aku tahu kau pasti akan kemari!”

Dengan angkuh orang itu mengangguk.

Kedua mata hweesio itu terbuka, matanya memancarkan cahaya aneh, wajahnya terlihat seperti kesakitan, kemudian berkata:

”Hai-ceng... apakah itu engkau?”

Orang yang datang itu memutar pergelangan tangannya yang memegang pedang, dia tertawa:

”Selain aku, siapa yang berani dan sanggup masuk ke Siauw-lim ’Tan-lim-goan’?”

Cahaya pedang terlihat dingin dan berwarna hijau menyinari baju hitam yang dikenakan oleh orang yang baru datang itu, di baju orang itu terlihat ada gambar burung merpati yang disulam, burung itu berwarna putih bersih.

”Hai-ceng......... apakah benar kau ingin mem-bunuhku....”

Orang yang baru datang itu menjawab dengan:

”He!”

”Berikan Giok-teng itu kepadaku!” (Giok-teng = tungku berkaki 3), kata-katanya belum selesai, kedua matanya melotot, bersamaan waktu itu sorot matanya manjadi ganas, dia berteriak, ”Ada orang!”

Tubuhnya bergerak secepat kilat, dia berlari keluar dari Tan-lim-goan, bayangan orang itu seperti sebuah roda berputar di udara.

Wajah Leng In Taysu berubah, dengan suara berat dia berkata:

”Hai-ceng, kembalilah! Tidak ada orang yang kemari!”

Dengan hati sedikit tenang, orang tadi kembali lagi ke ruangan, dia berdiri di depan Leng In Taysu, sikapnya tetap dingin, kejam, dan angkuh.

Di sisi pepohonan bambu yang berwarna hijau seorang hweesio kecil berbaju hitam tampak sedang berjongkok, dengan terkejut dan ketakutan dia terus melihat ke arah Tan-lim-goan.

”Leng In Supek mengenali orang itu, tadi aku tidak sengaja bergerak, hampir saja dia melihatku. Siapakah dia? Kelihatannya sangat lihai.”

’Apakah aku sedang bermimpi?’ hweesio pemimpi dengan gelisah melihat Leng In Taysu, dia teringat pada kejadian siang tadi, gerak gerik Leng In Taysu membuat siapa pun tidak mengerti.

Baru saja berpikir sampai di sana, terdengar Leng In Taysu menghela nafas lagi:

”Apakah tujuanmu hanya ini?”

”Betul, kau memang pintar, selain Giok-teng yang kuhendaki...”

”Apakah kau menginginkan nyawaku juga?”

”Ha ha ha!... tidak perlu kujawab, apa yang kau katakan tadi tidak salah!”

Pedang panjang di tangannya diputar, bunga-bunga pedang terus berkelebatan, angin dingin dari pedang terasa di permukaan kulit.

Leng In Taysu meletakkan Giok-teng di atas meja sembahyang, kemudian kedua tangannya dikatupkan menjadi satu, dengan pelan dia berkata:

”O-mi-to-hud....” Menghadapi tamu yang penuh nafsu membunuh di depannya dia seperti tidak melihat.

Pedang diangkat, hal ini membuat hweesio pemimpi yang sedang bersembunyi hampir saja berteriak karena terkejut, sewaktu dia berada dalam keadaan terkejut, pedang yang diangkat oleh orang itu berhenti di tengah udara.

Leng In Taysu membuka kedua matanya, dengan suara bergetar dia menangis:

”Mengapa kau tidak membunuhku?”

”Membunuh? Hei..!”

Orang itu tertawa dingin.

”Bukankah kalau kau bunuh diri, lebih tidak merepotkanku?”

Leng In Taysu seperti orang lemah, dia benar-benar terlihat lesu, dia melihat orang itu dan dengan pelan berkata:

”Hai-ceng, kau benar-benar kejam, hatiku sudah mengenal Budha, selama 3 tahun ini aku belum pernah membunuh lagi! Awalnya aku menjadi hweesio dan mengenakan baju hweesio bukan dengan hati benar-benar ingin menjadi hweesio, tapi selama 3 tahun ini hatiku sudah berubah total, sekarang aku adalah Leng In bukan...”

Orang yang datang itu bernama Hiang Hai-ceng, dengan dingin dia berkata:

”He!...Bukan apa lagi?”

Wajah Leng In Taysu memancarkan kesedihan yang sangat dalam.

”Sudahlah, jangan dibicarakan lagi...”

”Mana mungkin tidak dibicarakan? Yang ingin kuketahui adalah hasil kerjamu selama 3 tahun ini!”

”Jangan banyak bicara, cepat bunuh saja aku!”

Hiang Hai-ceng masih mempertahankan sikap-nya.

’Sebelum kau mati, beritahu dulu hasil kerjamu selama 3 tahun ini!”

”Apakah aku harus memberitahumu?”

”Kalau kau tidak mau memberitahu, kau mati akan lebih sakit lagi!”

Tubuh Leng In Taysu bergetar.

”Lebih sakit? Lebih sakit, tidak, aku rasa aku tidak akan merasa sakit....”

Tiba-tiba wajah Leng In Taysu muncul sikap sinis:

”Aku akan bunuh diri!”

Tiba-tiba tangan kanan Hiang Hai-ceng diangkat, jari-jarinya mengeluarkan jurus ’Coan-in-koan-jit’ (Melewati awan menghadap matahari). Angin jari melesat keluar, terdengar Leng In Taysu mengeluarkan suara ringan, kemudian dengan suara serak dia berkata.

”Hai-ceng, kau benar-benar jahat!”

Hiang Hai-ceng dengan senang berkata:

”Maksudku memang seperti itu, kau bunuh diri saja!”

Setelah berkata seperti itu, tubuhnya condong ke depan, tidak melihat dia menggeser kakinya, tangan kirinya sudah bergerak!

Hweesio pemimpi hanya merasa saat matanya berkedip Giok-teng yang berada di atas meja sembahyang sudah berada di tangan Hai-ceng, dan mata Hai-ceng memancarkan cahaya serakah.

Hweesio pemimpi hanya bisa menahan nafas melihat keadaan di dalam, dia terus bertambah curiga, tapi belum selesai dia berpikir, dia merasa bulu kudunya merinding sebab dia melihat kejadian yang terjadi di depan matanya, mulut Leng In Taysu terbuka dan memuncratkan darah seperti panah yang ditembakkan.

Di dalam darah seperti ada suatu benda kecil, hweesio pemimpi adalah anak yang pintar, dia menahan teriakannya, kemudian berpikir.... dia langsung mengerti apa yang sedang terjadi, ternyata Leng In Taysu menggigit lidahnya sendiri sampai putus untuk bunuh diri.

Dia memejamkan matanya tapi telinganya terus mendengar tawa Hiang Hai-ceng yang datang entah dari mana, dalam hati dia terus berteriak,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar