BUKU PUSAKA
BAB 1
Tewas di perbatasan
Hawa dingin menembus sepatu, udara mendung sampai batu pun tumbuh lumut, angin utara meniup lapangan liar yang luas, salju menindih
Perkampungan she Liu adalah sebuah kota kecil di bawah gunung Liu-pan di perbatasan, sekarang sore hari di musim dingin, bukan hari pasar, dan bukan hari pertemuan, jangan dikatakan lagi dijalan sedikit sekali orang yang berjalan, sampai yang biasa menjual arak khusus buatan sendiri, di dalam warung arak tua Gentong arak Liu-sam, juga hanya ada dua tiga tamu.
Liu-sam yang menjadi pemilik toko ini merangkap sebagai pelayan, tampak sedang memanaskan arak untuk seorang tua berbaju kuning yang duduk sendirian ditempat khusus sebelah jendela selatan, tiba-tiba, berkelebat sebuah bayangan orang berbaju hijau, seorang tamu masuk lagi ke warung arak.
Tidak menunggu Liu-sam menyambut, orang tua baju kuning yang duduk sendirian itu, sudah berdiri lebih dahulu, mengepal tangan sambil tertawa berkata:
”Ciam-heng, tidak kuduga dalam cuaca begini dingin kau masih mau datang, apa kau ada minat minum arak bagus?”
Orang yang baru masuk kedalam toko, adalah seorang sastrawan berbaju hijau yang tampangnya sangat gagah, berusia sekitar empat puluhan, mendengar ada yang berkata padanya maka dia segera mengepal tangannya membalas hormat, sambil tertawa, katanya:
”The Lo-siu, kau juga sama…”
Kata-katanya belum habis, orang yang dipanggil The Lo-siu itu, menggelengkan kepala:
”Karena cucu ku sakit berat, anak perempuan ku mengutus orang menjemput istriku untuk membantu, diakhir tahun yang dingin ini aku sendirian jadi tidak ada kerjaan, aku baru datang ke warung Gentong Arak Liu Lo-sam ini, minum sedikit arak untuk menghilangkan kekesalan, tidak diduga kedatanganku tepat waktunya, beruntung sekali aku bisa bertemu dan minum arak dengan Ciam-heng, mari…aku akan mentraktirmu, mari kita habiskan arak setengah gentong ini, untuk memuaskan kesenangan ini!”
Sastrawan berbaju hijau dengan orang tua baju kuning yang bernama The Ih-hui adalah teman minum tahunan, makanya tanpa sungkan lagi, dia maju kedepan dan duduk, dia mengangkat alis sambil bertanya:
”The Lo-siu, warung Gentong Arak Liu Lo-sam ini adalah tempat yang sering kita kunjungi, kau tadi mengatakan tepat waktu dan beruntung apa maksud kata-kata ini…”
The Ih-hui tidak menunggu sastrawan berbaju hijau melanjutkan pertanyaannya, dia menunjuk pada seteko arak dan dua piring sayur asin yang disajikan oleh warung Lo-sam, sambil tertawa:
”Ciam-heng tidak tahu, Lo-sam kedatangan teman baiknya dari Kanglam, dia membawakan barang sangat bagus…”
Berkata sampai disini dia menatap pada pemilik warung, katanya:
”Liu Lo-sam, Ciam Loya juga berasal dari Kanglam, tentu penggemar Ni-ji-hong juga, hayo cepat panaskan arak sepuluh kati lagi! dan tambah lagi satu porsi daging kambing!”
Begitu sastrawan baju hijau mendengar kata Ni-ji-hong, dia sudah menelan air liurnya duluan, tidak menunggu dipersilahkan oleh The Ih-hui, dia sendiri menumpahkan satu gelas arak, dan sedikit mencobanya, pujinya:
”
Dia mengangkat gelasnya dan meminum habis araknya, lalu mengangkat teko arak, mengisinya lagi, dia tertawa pada The Ih-hui:
”The Lo-siu, apakah kau tahu arak Ni-ji-hong ini…”
The Ih-hui menganggukan kepalanya tertawa:
”Aku tahu, di daerah sekitar Sauw-seng di Kanglam, setiap kali ada yang melahirkan seorang putri, mereka selalu membuat arak ini, menimbunnya dibawah tanah, setelah putrinya besar, dia baru menggalinya untuk dijadikan sebagai arak pernikahan, sehingga umur arak ini paling sedikit sudah berumur delapan sembilan belas tahun, tentu saja wangi dan murni cocok untuk di minum dan termasuk arak kelas satu!”
Ciam Thian-peng tertawa:
”The Lo-siu ternyata seorang yang pengetahuannya luas sekali…”
The Ih-hui melihat sekali pada Ciam Thian-peng, dia mengangkat alisnya melanjutkan perkataannya:
”Ciam-heng, walau pengalaman dan pengetahuanku luas, tapi ada satu hal, yang sama sekali tidak ku mengerti…”
Ciam Thian-peng mengisikan araknya sendiri dan minum lagi:
”Masalah apa yang kau tidak mengerti?”
The Ih-hui melihat kesekeliling, melihat di dalam warung kecuali dirinya dan Ciam Thian-peng, ada dua tamu lainnya juga sedang membayar rekening setelah minum, maka tanpa khawatir lagi dia tersenyum katanya:
”Menurut pandanganku, kau adalah seorang dari keluarga terhormat di Kanglam, juga memiliki ilmu silat tinggi, kau dijuluki Thian-he-te-it-kiam (Jago pedang tanpa tanding), dengan Pak-mo (Setan utara) Thi Pa-thian, di Bu-lim, diakui sebagai yang paling hebat di utara dan selatan, jago silat terhebat sepanjang masa, tapi…kenapa kau tidak suka nama besar, malah meninggalkan Kanglam yang indah, membawa istri dan anak, lebih suka tinggal jauh di kota kecil di daerah perbatasan ini, hidup sebagai orang biasa, dan hidup di dalam cuaca dingin perbatasan…”
Baru saja berkata sampai disini, dia melihat wajah Ciam Thian-peng berubah, The Ih-hui segera menghentikan perkataannya, bisiknya:
”Ciam-heng harap maafkan aku, kita berteman memang belum lama, tapi kata-kataku agak dalam, karena selama ini aku merasa cocok denganmu, dan juga hari ini didalam warung tidak ada orang lain, maka aku berani menanyakan nya, saudara kalau ada masalah yang tidak ingin dikatakan, tidak perlu…”
Sepasang alis Ciam Thian-peng tiba-tiba mengendur, dia menggoyangkan tangannya:
”The Lo-siu, Ciam Thian-peng lebih suka hidup biasa diperbatasan yang liar ini, bukan untuk menghindarkan musuh, juga bukan karena telah melakukan hal yang memalukan, semua terjadi karena peristiwa tiga belas tahun yang lalu, setelah pertempuran berdarah yang dahsyat itu, tiba-tiba aku merasa bosan dan jenuh dengan perselisihan di dunia persilatan, maka aku membawa istri dan anakku pergi jauh meninggalkan Kanglam, menghindar dari orang-orang yang merepotkan, tinggal dikota kecil perbatasan yang damai dan sepi ini, melanjutkan sisa hidup kami.”
The Ih-hui berpikir sejenak, sorot matanya bersinar:
”Pertarungan berdarah yang dahsyat pada tiga belas tahun lalu? Betulkah kalian suami istri dengan sepasang pedang, di dataran rendah Ta-lung di Yam-kang, telah menghabisi Kiu-mo-lam-thian (Sembilan iblis buruk dari langit selatan)…”
Ciam Thian-peng yang mendengar, jadi tersenyum pahit, katanya:
”Sejak dulu aku sudah merasa The Lo-siu bukan orang biasa, benar saja ternyata adalah orang sealiranku…”
The Ih-hui tertawa:
”Ketika muda aku juga pernah berkelana di dunia persilatan tapi tidak lama, aku tahu diriku tidak hebat, maka segera mengundurkan diri dari dunia persilatan, hanya kadang-kadang aku masih mendengar dari teman lama, sedikit cerita tentang dunia persilatan, Ciam-heng harap jangan memandang aku terlalu tinggi, ilmu silatku tidak ada artinya, untuk membawakan pedangmu juga tidak pantas?”
Ciam Thian-peng mengeluh, dia terdiam sesaat, lalu menatap The Ih-hui lagi:
”Baiklah, karena kau telah menanyakannya, aku akan menceritakan tentang kejadian lama yang terjadi pada tiga belas tahun lalu, untuk obrolan sambil minum arak, bagaimana?”
The Ih-hui sangat gembira, katanya:
”Bagus! Bagus! memang aku tidak tahu detailnya tentang masa lalu itu, kejadian ini lebih hebat ratusan kali dibandingkan makan daging kambing panggang, daging sapi asin untuk teman minum arak!”
Ciam Thian-peng yang gelasnya sudah kosong, setelah dipenuhi arak lagi, pelan-pelan meminum habis kembali, matanya bersinar menyorot, dia mengangkat alis berkata:
”The Lo-siu, apakah kau tahu, tiga belas tahun yang lalu aliran hitam meraja lela didunia persilatan, mereka sering merampok dan membunuh orang, merupakan mala petaka dunia persilatan utara dan selatan!”
The Ih-hui mengangguk berkata:
”Aku tahu, mereka di utara adalah Pak-mo (Setan utara) Thi Pa-thian, sedang yang mengacau di selatan adalah Kiu-mo-lam-thian yang telah dihabisi oleh kalian suami istri!”
Ciam Thian-peng tertawa pahit:
”Pertama, daerah utara sangat jauh, kedua, Pak-mo Thi Pa-thian tidak menentu tempatnya, jejaknya tidak tetap disatu tempat, kami suami istri selalu berusaha menolong rakyat, kami ingin menghancurkan segala macam kejahatan dan menentramkan rakyat, untuk itu kami membuat janji pertemuan dengan Kiu-mo-lam-thian di dataran rendah (rawa) Ta-lung di Yam-kang…”
The Ih-hui mengangkat gelas:
”Tindakan berbudi Ciam-heng dengan istrimu Wi-hui-hek-ie (Pengawal terbang baju hitam), membuat nama kalian sangat harum di dunia persilatan, membuat orang sangat kagum, hanya tidak tahu saat itu…”
Di dalam sepasang mata harimau Ciam Thian-peng menyorot sinar semacam nostalgia, perlahan berkata:
”Saat itu kami suami istri tidak ada yang membantu, dengan sepasang pedang kami pergi menepati janji, sebaliknya Kiu-mo-lam-thian malahan telah mengundang tujuh puluh dua jago silat kelas satu dari aliran hitam, mulai dari mulut gunung Yam-kang sampai di depan dataran rendah Ta-lung, telah menyiapkan sembilan jebakan yang lihay, dalam sembilan kali pertarungan ini aku dengan istriku sampai kehabisan tenaga, darah sudah membasahi sekujur tubuh, akhirnya pertarungan paling dahsyat terjadi didepan dataran rendah Ta-lung, aku terluka oleh tiga belas sabetan golok, pedang, dan pukulan telapak yang ringan dan berat, istriku Ti Bwee-giauw, juga dua jarinya terputus, sebelah matanya buta, menghadapi tujuh puluh dua jago silat aliran hitam, ditambah Kiu-mo-lam-thian semuanya menjadi delapan puluh satu orang, dari pihak musuh delapan puluh orang ada yang pinggangnya putus, perutnya pecah, kepala hancur, dada tertembus, dari Kiu-mo-lam-thian hanya tertinggal satu orang yang masih hidup, yaitu Hud-bin-put-ceng-sim (Wajah Budha hati busuk), Bu-beng-hud (Budha tanpa nama), dia masih hidup dengan nafas yang hampir putus, lengan kirinya juga telah terpotong…”
Cerita ini, sangat kental dengan bau amis darah, membuat The Ih-hui yang sedang senang minum arak, hatinya jadi berdebar-debar, arak yang ada di mulutnya jadi sulit ditelan!
Menunggu sampai kata-kata Ciam Thian-peng selesai, The Ih-hui baru bisa bernafas dan menelan arak di dalam mulutnya, dengan serius dia berkata:
”Kata orang jika ‘Rumput liar tidak dicabut sampai akarnya, saat angin musim semi bertiup dia akan tumbuh kembali’, apa lagi Hud-bin-put-ceng-sim, Bu-beng-hud adalah orang yang paling jahat diantara Kiu-mo-lam-thian, kalian suami istri jika telah membunuh delapan puluh penjahat, seharusnya jangan ada hati kasihan lagi, seharusnya menambah satu tikaman pedang lagi pada Bu-beng-hud ini!”
Ciam Thian-peng menganggukan kepala:
”Kata-kata The Lo-siu memang benar, tapi saat itu entah karena telah terlalu banyak membunuh orang? Atau ada alasan lain? Ketika aku mengangkat pedang menunjuk ke dadanya, hanya menusuk robek baju Bu-beng-hud saja, hanya terlihat sedikit darah mengalir lalu berhenti, hatiku malah tidak tega menusuk lagi tubuhnya! Istriku juga dengan wajah penuh air mata dan sedih mengeluh, bersama-sama denganku dia menarik kembali pedangnya, lalu pergi membiarkan Bu-beng-hud yang tinggal sebelah lengannya, meninggalkan dia diatas lumuran darah entah hidup atau mati!”
”Seterusnya, apakah kalian menjadi bosan berkelana di dunia persilatan…” Kata The Ih-hui jadi mengerti.
Ciam Thian-peng mengangguk:
”Betul, selanjutnya aku dengan istriku setiap kali melihat pedang, hati kami jadi gemetar, melihat darah, tangan menjadi lemas, maka kami meninggalkan Kanglam, tinggal dikota kecil perbatasan ini yang tidak ada seorangpun kenal…”
Perkataannya terhenti sejenak, dia minum satu tegukan arak lagi:
”Akibatnya terhadap anak tunggal kami Ciam Bun-jit, kami hanya hanya mengajarkan ilmu pernafasan dasar yang berguna untuk kesehatan saja, tidak membiarkan dia belajar jurus Im-yang-kiam yang tiada tandingannya, ilmu pedang yang tersohor sebagai salah satu ilmu pedang terhebat, tapi jurusnya sangat ganas dan hawa membunuhnya terlalu berat!”
Habis berkata! Tidak tahu karena merasa pilu? Atau emosi? Sekaligus dia minum habis dua belas gelas besar arak, membuat diatas meja bertambah beberapa teko kosong, sepuluh kati arak Ni-ji-hong yang dipanaskan Lo-sam untuk tamu, hanya tinggal sedikit lagi.
The Ih-hui hanya melihat saja perbuatannya, dia tertawa dan berkata:
”Ciam-heng sungguh ukuran minummu seperti laut, kau telah minum hampir tujuh delapan kati…”
Ciam Thian-peng merasa kepalanya sudah terasa sedikit pening, maka dia bangkit berdiri, pada The Ih-hui mengepalkan tangan sambil tertawa:
”Banyak terima kasih The Lo-siu, istriku masih menunggu dirumah, Ciam Thian-peng pamit dulu, malam ini sungguh aku merasa telah meninggalkan Kanglam jauh sekali, selama tiga belas tahun, pertama kalinya aku bisa minum dengan puas!”
Saat Ciam Thian-peng melangkah keluar dari warung Gentong Arak Liu-sam, udara malam telah menjatuhkan salju sebesar bulu angsa.
Tenaga arak yang tidak kentara memang sangat mengejutkan orang, Ciam Thian-peng yang mempunyai ilmu silat tinggi, dan dijuluki pesilat yang tiada tandingannya pada masa itu, langkahnya menjadi tidak stabil, tubuhnya juga terhuyung-huyung.
The Ih-hui mengambil uang dari dalam kantongnya membayar rekening, pada Liu-sam dia tertawa katanya:
”Lo-sam, teman baikmu sungguh menyenangkan, jauh-jauh dari Kanglam bisa mengantarkan arak kesini…”
Liu-sam tertawa memotong:
”Kukatakan jujur saja pada The Loya, orang yang membawakan Ni-ji-hong ini, sangat asing bagiku, katanya tuan Yam-gouw menitipkan arak ini untuk aku karena sejalan denganku, orangnya siapa, sampai saat ini aku juga tidak ingat!”
”Tuan Yam-gouw……”
Kata-katanya baru keluar, mendadak wajahnya berubah, dari gelungan rambutnya dia mencabut sebuah tusuk konde perak, lalu mencelupkan ke dalam teko yang ada araknya.
Liu-sam memandang aneh, katanya:
”The Loya, kau…kau…kau ini kenapa…”
The Ih-hui mencabut konde peraknya, melihat diatas tusuk konde peraknya tidak ada perubahan warna, alisnya sedikit dikerutkan, dia menundukan kepala berpikir sambil melangkah keluar toko…
Diluar… salju turun sangat besar, seharusnya tidak ada orang, tapi kenyataannya malah tidak begitu, seseorang telah menghadang jalannya The Ih-hui.
Terhadap Ciam Thian-peng, The Ih-hui merendah bahwa dirinya tidak begitu mahir ilmu silat, sebenarnya walau dia telah mengundurkan diri dari dunia persilatan, ilmu silatnya tidak pernah lalai, bisa dikatakan dia juga seorang pesilat hebat.
Walau dia telah minum dua tiga kati Ni-ji-hong, juga sedikit mabuk, tapi ketika menyadari ada orang yang meng-hadang, segera dia menghentikan langkahnya, berdiri tegak, mabuknya jadi setengah hilang, dia mengangkat mata melihat.
Di depannya sekitar sepuluh kaki, dari belakang pojok tembok keluar seseorang berbaju hitam bercadar.
Angin dingin sangat kuat, salju pun lebat, orang itu hanya memakai baju panjang hitam tipis, di dalam angin dan salju sedikit pun tidak merasa kedinginan, bisa dinilai tenaga dalamnya, sudah sampai tingkat yang hebat sekali.
Tapi lengan baju kirinya, kosong melompong, berkibar ditiup angin, membuat orang yang melihat langsung tahu, orang itu tidak mempunyai lengan kiri.
Sasaat The Ih-hui memperhatikan lawannya, mengepal sepasang tangan, bertanya:
”Tuan siapa?”
Orang berbaju hitam itu bersuara sedingin es:
”Tuan Yam-gouw…”
The Ih-hui tertegun, dia teringat tuan Yam-gouw ini adalah orang yang dikatakan Liu-sam, yang menitipkan arak jauh-jauh dari Kanglam, maka dia menganggukan kepala berkata:
”Ternyata aku tidak salah menebaknya, arak Ni-ji-hong ini, memang tidak sederhana…”
Orang berbaju hitam itu tertawa keji:
”Tentu saja tidak sederhana, itu adalah satu langkah hebatku, mengandalkan langkah hebat ini digunakan untuk membalas dendam tiga belas tahun yang lalu!”
‘Balas dendam…’, ‘Tiga belas tahun…’, ‘Lengan baju sebelah kiri kosong melompong…’, ditambah tadi pedang tiada tandingannya Ciam Thian-peng mengatakan masalah di dataran rendah Ta-lung di Yam-kang, di dalam hati, pikiran The Ih-hui, sedikit berputar, maka dia segera sadar, dia sekali lagi memperhatikan orang berbaju hitam, berkata:
”Aku mengerti, Tuan tentu yang dipanggil Yam-gouw, kau adalah salah satu dari Kiu-mo-lam-thian yaitu Hud-bin-put-ceng-sim Bu-beng-hud!”
“He he he he!” orang berbaju hitam itu tertawa dingin, dia menganggukkan kepala:
”Kau orang tua, ternyata masih belum pikun, ketika aku melihat gerakanmu mencabut tusuk konde dan mencoba arak, maka aku tahu kau sudah menaruh curiga, maka sengaja aku menghadang, tidak membiarkan kau pergi kerumah keluarga Ciam untuk melapor pada Ciam Thian-peng suami istri supaya waspada, hingga membuat kami menambah kerepotan!”
Perkataan “Kami” ini, membuat The Ih-hui yang mendengar jadi terkejut didalam hati, tidak tahan dia menoleh melihat ke dalam warung Gentong Arak Liu-sam sekali.
Bu-beng-hud tertawa dingin berkata:
”Lo The, kau tidak perlu melihat, kebiasaanku dalam melakukan pekerjaan, semuanya sudah dipikirkan matang-matang, tidak akan membiarkan rahasia sekecil apa pun boleh bocor, Liu-sam telah menjual setengah arak Ni-ji-hong, dan mendapat keuntungan yang tidak sedikit, sekarang dia sudah mengembangkan usahanya, dan menambah cabang warungnya dikota mati sia-sia, di jalan ke akhirat dia akan membuka warung Gentong Arak Liu-sam!”
The Ih-hui tahu, Liu-sam sudah mati, dia sendiri juga kebanyakan tidak akan beruntung, maka sambil diam-diam mengumpulkan hawa murninya, dia menyiapkan tenaga dalamnya, dia menatap pada Bu-beng-hud:
To the author of this blog,I appreciate your effort in this topic.
BalasHapus