BAB 2 Munculnya Pendekar Ceng-kang-pouw
Saat itu matahari sudah menyingsing, dermaga sungai mulai ramai. Persoalan pejabat setempat yang bersembahyang ke atas kapal sudah di ketahui semua orang. Yang memegang kemudi, yang menarik tambang, tukang pikul semua orang sudah tahu.
Perbuatan Bu Kang, mendapat acungan jempol mereka, salah seorang dari kapal besar berkata:
”Hai… tidak disangka bapak Bu Kang orangnya baik sekali, jarang ada orang seperti itu!”
”Pejabat baik! orang bijaksana, 300 taelnya lebih berat dari 3000, 30.000 tael, karena dipakai untuk menolong orang dalam kesusahan, tidak semua orang kaya bisa berbuat seperti itu, jaman sekarang orang lebih mementingkan pangkat dan kedudukan, supaya bisa dipandang orang.
Tidak mudah punya teman seperti bapak Bu Kang, biasanya berlaku ketika sedang senang dia abangku, ketika ada kesulitan dia menjauh, apalagi kalau orang tuanya sudah meninggal. Siapa yang mau peduli masalah janda dan anak-anaknya ? Buat bapak Bu Kang, dia tahu peti jenazah akan lewat disini, dia bisa saja pura-pura tidak tahu, dan masalah beres! Keluarganya juga tidak mengenal dia. Tapi bapak Bu Kang lain. Dia kirim uang, dan sembahyang ke atas kapal. memberi wejangan pada anak-anak yang di-tinggalkan, pejabat baik begini lain hari pasti akan naik pangkat. Kalau tidak, berarti rajanya yang tidak bijaksana.”
Orang yang berkata ini namanya Kiu Bun-hoan. Dia orang dari luar daerah, bekerja di dermaga sungai sudah sebulanan. Orangnya ramah, tegas, bijaksana. Dia bertenaga besar, suka membantu, tapi dia sangat miskin, dia tinggal di sebuah losmen di pinggir kali. Penghasilannya perhari hanya cukup makan dan bayar sewa kamar. Dia masih muda, sekitar 20 tahunan umurnya, badannya kekar, alisnya tebal hitam, matanya berbinar-binar, berbibir tebal. Mungkin karena rupanya, banyak orang suka padanya. Kalau dia mau mengganti baju bututnya dengan yang baru, mencuci muka, mengganti sepatu baru, tentu dia akan menjadi seorang pemuda yang ganteng, peristiwa yang terjadi tadi malam, membuat dia memuji-muji Bu Kang, dia berkata orang seperti Bu Kang sudah amat langka, dia senang dengan kejadian ini.
Tiba-tiba dia melihat pengemudi kapal kedua nona itu berteriak:
”Hei, siapa yang mau ikut kami ke Pak-tong-ciu, akan dibayar berikut uang makan, sesudah sampai Pak-tong-ciu akan dibayar 2 ikat uang, pekerjaannya hanya membantu mengurus kapal dan menarik tambang, siapa yang mau ikut? kalau ada yang mau, cepat naik !”
Di atas kapal berikut pembantu tua hanya ada tiga orang laki-laki. Berlayar ke utara yang sungainya dangkal dan sempit, harus ada orang yang dapat menarik tambang. Mereka bertiga tidak cukup tenaga, penumpang di atas kapal dan kedua gadis yang sudah mempunyai uang, ingin cepat sampai ke rumahnya, tidak ada salahnya mencari lagi dua orang lain untuk membantunya diatas kapal, atas persetujuan nona-nona itu maka si pembantu tua mencari orang ke tepi sungai. Tetapi meski pun miskin, orang yang menganggur pun tidak ada yang bersedia membantu.
Si pembantu tua itu terpaksa menaikkan upah sampai 3 setengah ikat uang, tapi tetap tidak ada yang mau, pembantu tua akhirnya turun ke darat membujuk orang yang ada disana, tapi tetap saja tidak ada yang mau. Sebabnya sudah jelas, orang-orang tidak mau dekat dengan urusan yang bisa membawa kesialan, sebab kapal ini mengangkut peti mati, siapapun tentu saja merasa takut.
Pengemudi kapal itu sangat kesal dan bersungut-sungut. Kedua nona dalam kabin juga amat cemas, uang sudah ada tapi tidak ada orang yang mau membantu, kapal jelas tidak akan bisa berangkat, saat ini masih pagi, kapal-kapal lain masih banyak yang singgah, karena itu di tepi sungai menjadi ramai, orang-orang enggan untuk pergi cepat-cepat, pengemudi-pengemudi kapal kebanyakan sedang bersenang-senang di darat. Pedagang-pedagang, orang-orang berduit semua ingin singgah dulu di tempat penjualan barang-barang, makanan-makanan dan rumah-rumah hiburan.. siapa pun ingin beristirahat dulu menghilangkan kepenatan sesudah lama berdiam di dalam kapal di sepanjang sungai, mereka seperti orang-orang yang tidak mempunyai kepentingan saja. Tukang pikul, kuli-kuli, orang nganggur berjongkok di tepi sungai bawah pohon Yang-liu, berjudi, berkipas-kipas, bersorak-sorak, banyak yang mencari hiburan, kalau bukan hari ini kedatangan pejabat setempat, siapapun tidak ada yang memperhatikan kapal pengangkut peti mati yang sial ini, yang terjepit di antara kapal-kapal besar, seperti udang kecil dalam rombongan ikan besar, beberapa kali mau berangkat selalu tidak jadi.
Nona besar Nalan dalam kabin memanggil pembantu tua, pengemudi kapal, dengan keras menegur:
”Mengapa sampai sekarang belum juga berangkat?” kau bilang harus menambah dua orang, kami menyetujui, kau bilang harus membayar 2 ikat uang itu juga tidak apa-apa, asal kapal segera berangkat. Sekarang apa lagi yang harus ditunggu? apa kau mau mempersulit? atau mencari akal untuk memeras? kalau tetap tidak berangkat juga…” dengan membalik tubuh pada pembantu tua dia berkata lagi, ”Panggil pejabat untuk mengirim orang ke sini.
Pengemudi kapal merasa takut, jidatnya sampai berkeringat, dia berkata:
”Nona besar jangan menyalahkan hamba. hamba ke darat mencari orang tapi mereka satu pun tidak ada yang mau ikut, mereka tidak suka dengan peti mati ini…”
Nona besar Nalan malah melotot dan meng-hardik:
”Apa kau bilang?”
Pengemudi kapal cepat-cepat berkata:
”Maaf hamba salah ucap! Mereka tidak berani membenci peti mati. Tapi siapapun tidak mau dekat dengan kesialan. Mereka cukup makan, kita bersedia membayar mereka juga tidak banyak, siapa yang mau membantu kita?
Nona besar Nalan dengan muka masam berkata:
”Kalau begitu bagaimana kau bisa menjalankan kapal dari Yang-ciu sampai ke sini? kenapa sekarang tidak ada lagi yang membantu, sehingga tidak bisa jalan? kelihatannya kau mau memeras ya? Tapi kau harus tahu membuat susah dengan yang berwajib itu bukan perkara yang kecil!”
Pengemudi kapal mencoba menjelaskan:
”Kami tidak berani memeras, benar-benar kami tidak ingin memeras. Sesudah sampai di Ceng-kang-pouw, apalagi pejabat di sini masih famili kalian…”
”Itu bukan famili tapi kenalan dari dulu”
Pengemudi kapal mengangguk dan berkata:
”Biar bagaimanapun hamba sudah mengerti, asal kalian berkata sepatah kata, maka pejabat yang datang tadi pagi pasti akan menangkap hamba, masa hamba mau cari masalah? Hamba juga ingin cepat sampai Pak-tong-ciu, segera menurunkan peti mati dan mencari muatan baru lagi, kalau hamba tidak mau berlayar hamba bukan manusia!”
Nona besar Nalan marah:
”Kau ini berkata apa? membuat orang kesal saja. Pergilah !”
Pengemudi kapal cepat-cepat berkata:
”Apakah hamba salah bicara? nona jangan terlalu menyalahkan. Kami orang kasar, tidak pandai bicara, tapi kami ingin penumpangnya semua selamat, jangan sampai ada kesalahan. berlayar terus ke utara kita harus melalui Lok-ma-ouw, disana sering ada perampok. Kita ingin cepat sampai di tujuan tapi kalau timbul masalah bagaimana? dan lagi berlayar ke utara sebagian airnya dangkal, jika tidak membawa orang untuk menarik tambang betul-betul tidak mungkin…”
Nona besar Nalan tidak menyangka perjalanan-nya begitu berbahaya. Pengemudi perahu ini biasa berlalu-lalang di terusan ini, dia tentu tidak berkata bohong. Air dangkal masih tidak apa-apa, tapi kalau ada perampok, itu benar-benar menakutkan.
Dia berpikir cukup lama, segera amarah menjadi reda. Dia balik bertanya:
”Kalau begitu menurutmu harus bagaimana baiknya?”
Sekarang pengemudi kapal merasa harus men-jelaskan semua masalahnya:
”Menurut hamba, memang harus bisa memanggil dua orang atau paling sedikit harus satu orang. Pokok-nya begitu sampai di tempat yang dangkal harus ada orang yang menarik tali. Kita berangkat harus membuntuti kapal besar, karena diatas kapal besar selalu ada pengawal dan banyak orang, membuntui mereka kita akan aman…
”Dimana ada kapal besar? Kapal besar belum tentu berangkat hari ini?” Kata Nona besar Nalan
Pengemudi kapal menunjuk ke jendela:
”Nona! Bukalah jendela, lihat ada berapa kapal besar disini? naiklah ke darat, lihat di antaranya ada tiga kapal pejabat yang besar. Itulah kapal pabrik tenun di selatan milik Pang Loya yang mau berlayar ke Pakkia. Di atas kapal penuh dengan bahan sutra, satin, dan lain-lain juga ada baju yang bersulam. Itu semua untuk keluarga raja. Dalam kapal kira-kira ada 40 orang juga ada pengawal. Kabarnya tengah hari ini akan berangkat, tujuannya sama dengan kita…”
Nona besar Nalan begitu mendengar penjelasan ini dia mengangguk:
”Baiklah, kita tunggu sampai tengah hari, baru berangkat bersama mereka, tapi ingat, tidak boleh menunggu lagi.”
Pengemudi kapal menghela napas dan pergi ke tepi sungai mencari orang lagi. Tapi tetap tidak ada yang mau, di darat dan di atas kapal lain saat ini lebih meriah lagi.
Matahari menyinari bumi, menyinari air sungai yang keruh. Pohon sebelah kiri, dahan tua menyerong, daun berjuntaian ke bawah, suasana pasar ramai sekali, kapal besar kecil, banyak yang singgah tapi tidak tampak gejala ada yang mau berangkat.
Tiga buah kapal besar pabrik tenun seperti tiga buah istana, jangan melihat pemiliknya, Pang Loya dan keluarga. Hanya pelayan dan pembantu nya saja sudah berpakaian sutra dan satin, mewah sekali.
Pabrik tenun Kanglam ini menduduki peringkat paling tinggi dalam urusan dalam negeri, hasil produksi pertenunan di Kang-ning dan Su-hang khusus digunakan oleh istana dan pejabat-pejabat untuk kebutuhan upacara, dalam setahun dua kali memberi-kan bingkisan bagi raja dan pejabat-pejabat istana. Oleh sebab itu pabrik tenun itu langsung dibawah peng-awasan istana, pihak lain tidak boleh turut campur mengurus tugas ini,
Sesudah beberapa tahun mengirim kain sutra dan satin, haknya Pang Loya menjadi besar, dia boleh bicara langsung dengan orang istana, pejabat tingkat satu atau dua semua memuji produksi pabrik tenun ini,
Sekarang Pang Loya berniat pergi ke ibukota, barang-barang yang dibawa seperti biasanya tidak terlalu berlebihan, dia hanya membawa 3 kapal. Tapi di atas kapalnya dibawa, emas, perak, perhiasan, permata, sutra, satin. Entah berapa ratus ribu tael harganya? Para pejabat juga banyak yang ikut di dalam kapal itu dengan dikawal empat
Hanya satu orang yang tidak bisa terima keadaan ini, dia adalah Kiu Bun-hoan, dengan pakaian yang compang-camping, mukanya penuh debu, dia sedang makan kue hitam besar sebagai makan siang. Dia paling tidak suka pada pengawal-pengawal yang merasa dirinya lebih tinggi, lebih angkuh, pikirnya, ‘keahlian apakah yang mereka miliki? berlagak sekali, mau berjudi orang harus mengalah, kalau menang tertawa terkekeh-kekeh, kalau kalah marah-marah,’ Kiu Bun-hoan ingin sekali memberi mereka pelajaran. Tapi dia tahu semua pengawalan adalah tanggung jawab ekspedisi Kie-him Yang-ciu dengan ketuanya Tiong Keng-ci yang dijuluki
Saat ini, cerobong kapal-kapal mengepul asap, kelihatannya semua sedang memasak makanan, wangi ikan goreng dan daging-daging mengepul dari kapal pabrik tenun Kanglam, membuat orang merasa lapar. Pegawai rumah makan yang di darat segera mengantar pesanan bahan-bahan makanan itu ke kapal. Orang-orang yang sedang naik ke darat mulai kembali ke kapal, orang yang akan berangkat juga mulai ber-datangan, sekarang suasana tampak lebih ramai lagi.
Tiba-tiba muncul beberapa ekor kuda, di atasnya duduk orang seperti pengawal-pengawal, tapi tampak bengis dan angkuh. Beberapa tukang kapal sepertinya mengenali mereka, mereka merasa aneh dan kaget tapi mereka berdiam diri, ada yang berbisik, main mata dan memonyongkan mulutnya.
Kiu Bun-hoan ingin sekali mendengar apa yang mereka bisikan, dia segera mendekat. Tapi begitu men-dekat, mereka malah diam seribu bahasa, seperti takut, ragu-ragu dan menggeleng-gelengkan kepala. Orang yang berkuda ketika sampai di dermaga lalu turun ke kapal yang sudah disiapkan, kapalnya kecil tapi kapal itu muat sampai tujuh delapan orang.
Orang berkuda yang turun ke kapal ada 4 orang, satu bermuka hitam seperti arang, satu lagi di kepalanya ada bekas bacokan golok, satu lagi kurus kecil, dan yang terakhir rambutnya sudah putih, kira-kira berumur 50-60 tahun. Tapi tampak masih sangat bersemangat dan matanya berbinar-binar, sisanya yang lain hanya mengantar, melihat mereka sudah naik kapal, yang mengantar berbicara sebentar lalu mem-bawa kudanya meninggalkan dermaga. Beberapa orang ini belum pernah terlihat sebelumnya.
Kiu Bun-hoan yang sudah sebulan tinggal disitu belum pernah melihat orang lain selain beberapa orang itu, orang yang berbisik-bisik sepertinya juga tidak mengenal mereka. Saat ini di kapal dan di darat suara orang terdengar amat riuh. Yang datang, yang pergi, semberawut sekali. Sepertinya tidak seorangpun seperti Kiu Bun-hoan, yang memperhatikan kejadian tadi. Dia melihat gerak-gerik yang aneh dari ke empat orang yang turun dari kuda tadi.
Hari sudah siang, asap dapur mulai menghilang, angin timur laut mulai bertiup. Kapal besar mulai membongkar papan injakan untuk memisahkan kapal dari daratan dan juga tenda-tenda.
Pengemudi kapal keluarga Nalan bertambah risau, dia memekik lagi:
”Hai, hai kapal kami sudah mau berangkat ke Pak-tong-ciu, siapa yang mau ikut akan diberi makan dan gaji besar, ayo, ayo cepatlah kemari”
Tiba-tiba Kiu Bun-hoan datang sambil setengah berlari dan berkata:
”Aku ikut! aku ikut!”
”Kenapa bukan dari tadi bilang?”
”Tadi aku masih ragu-ragu, tapi kalian harus menunggu sebentar, aku mau pulang dulu mengambil barang-barangku di losmen.”
”Kau ini…. apa ada barang-barangmu yang berharga? sudahlah! hayo cepat! kalau terlalu lama bisa ketinggalan, di mana losmenmu ?”
Kiu Bun-hoan menunjuk ke arah
”Tidak jauh, aku pergi sebentar juga akan kembali, kau jangan gusar.”
Pengemudi kapal menghela napas:
”Bagaimana aku tidak kesal, kapal besar sudah mau berangkat, cepatlah kembali...!”
Memandang Kiu Bun-hoan yang berlari ke arah timur. Dia bersungut-sungut lagi:
”Dasar orang miskin, sampai sepasang sepatu yang pantas pun tidak punya, mana bisa ada barang-barang berharga di losmennya? aneh sekali!”
Kapal-kapal besar mulai bergerak, Nona besar Nalan memanggil pembantu tua:
”Mengapa masih belum mau berangkat?”
Pengemudi kapal segera berkata:
”Berangkat! berangkat! segera berangkat! Dengan susah payah kita baru mendapat satu pegawai, sekarang dia pulang dulu mengambil barangnya, begitu dia datang kita langsung berangkat.”
Pembantu tua itu berkata:
”Tunggulah dia sebentar, tapi kita harus berangkat biarpun dia tidak datang!”