Sabtu, 09 Mei 2009

Legenda Golok Halilintar

Halilintar memecah di langit yang berwarna kelam abu-abu dan menghantam bumi!

Getaran bunyi halilintar yang mengelegar-gelegar dahsyat bergentayangan dicelah-celah lembah gunung lama sekali hilangnya.

Kilatan cahaya yang datangnya hanya sekilas, menerangi tiga macam barang yang membuat orang miris, diatas bukit tunggal yang menyerupai kepala botak dewa Lohan. Golok panjang yang putus, Pedang yang patah, Busur panah yang cacad.

Golok panjang yang putus, hanya menyisakan bagian kira-kira dua cun dari ujung goloknya, tetapi diatas puncak menusuk tanah batu yang kerasnya bagaikan emas dan besi diatas, ekor pitanya berwarna merah darah mencolok berkibar di terpa angin, gagang golok tersebut berbeda dengan yang lain, besarnya sama dengan jari tangan anak-anak, kelihatan terbuat dari bahan yang empuk, sekarang berdiri dengan tegak.

Pedang yang patah, tergeletak di tempat tidak jauh dari golok panjang yang putus, ujung pedang yang telah patah setengah, entah dimana bagian patahannya? Dalam kilatan halilintar, gagang pedang itu mengeluar-kan cahaya ke sekeliling tempat itu, sekali pandang sudah dapat diketahui gagang pedang itu telah tertanam banyak batu perhiasan.

Busur panah yang cacad, tergantung di pinggir tebing tidak jauh dari golok putus, pedang patah, sepertinya hampir jatuh ke bawah jurang, sebetulnya, sebagian busurnya sudah terbenam di celah batu, kokoh tidak dapat dicabut lagi, punggung busurnya terbuat dari giok putih, tali busurnya sudah hilang, sehingga disebut busur panah yang cacad.

Kilat dan halilintar sudah berlalu, dari jurang yang sangat dalam timbul angin yang sangat dingin, dan mendadak suara rintik-rintik hujan turun dari langit yang lusuh!

Apakah langit turut bersedih atas sisa pertarung-an di puncak bukit tunggal ini? meneteskan air mata kasihan pada golok panjang yang putus, pedang yang patah dan busur panah yang cacad.

Apa betul? Atau bukan?



BAB 1



Gua iblis



Kilatan halilintar bagaikan pelangi, amarah geledek masih bergetar! Lembah iblis yang gelap gulita terletak di daerah Ban-li-san (Pegunungan sepuluh ribu) di Gui-lin selatan.

Begitu kilat halilintar berkelebat, sisa cahaya yang merah menyala terang, membuat lembah iblis terang benderang sekilas dan lembah yang sejak ribuan tahun, siang malam terkunci oleh kegelapan, baru tampak di mata langit.

Tampak dasar lembah berlumut hijau tanpa jalan, tidak terlihat batunya, di sampingnya berdiri bukit-bukit yang menjulang tinggi, kadang ada juga batu-batu yang mencolok keluar, bentuknya seperti binatang raksasa jaman purbakala, dengan mata yang mengerikan memandang ke bawah, membuat orang takut.

Saat kilatan sinar berkelebat, terlihat satu anak kecil sedang meloncat melewati batu yang terletak di atas dasar bukit, yang tingginya puluhan meter.

Anak itu! Loncatannya ringan dan lincah, tidak kalah dari loncatan monyet batu-batu yang bisa melon-cat sampai sejauh dua tombak.

Yang lebih aneh lagi, dia turun dari atas bukit tinggi yang banyak jumlahnya, bocah lelaki yang baru berumur sepuluh tahun, bagaimana bisa datang ke tempat itu? Untuk apa dia datang?

Saat kilatan sekali lagi datang di ikuti suara halilintar, geraknya seperti ular emas yang melesat ke bawah lembah, dengan cepat lewat di depan anak itu, biarpun sangat berani, dia terkejut juga atas kejadian itu.

Bocah itu belum minum dan makan sejak kemarin siang, tubuhnya gemetar tersiram air hujan, lapar dan dingin, membuat orang dewasa saja bisa patah semangat, apa lagi bocah cilik ini, dia hampir putus asa.

Dia melihat pemandangan sekeliling tempat, kesunyian dan kegelapan belum memperlihatkan muka asli lembah iblis yang mengerikan, demua menambah ketakutan bocah ini.

Mendadak, kilat dan halilintar datang lagi, mem-buat hati bocah yang kelaparan ini mendapat pukulan berat. Tetapi… sinar kilat dan suara halilintar ini seperti memberi rangsangan sejenak, membuat jiwa pemberani-nya pulih kembali.

Dengan semangat yang pulih, dia berpikir: pepatah mengatakan ayahnya adalah gambaran laki-laki sejati, dia adalah pemimpin dari empat pendekar wahid yang termasyur yang mendapat gelaran “Lui-to (Golok Halilintar), In-kiam (Pedang Awan), Giok-kiong (Busur Kumala) dan Kau-sat (Kail Pembunuh)”

Ayahku berjuluk Lui-to-cai-thian (Golok halilintar di langit)! Adalah seorang ayah yang gagah. mana boleh aku jadi seorang pengecut dan gampang putus asa.

Semangatnya yang teguh seperti membuat suatu keajaiban, begitu bocah itu memikirkan sebutan ayahnya, Lui Kie Lui-to-cai-thian, semangat juangnya langsung bangkit, hilang rasa takut terhadap situasi sekelilingnya yang gelap dan asing, juga melupakan perihnya perut lapar dan gemetaran untuk sementara, mengunakan ilmu meringankan tubuh yang diajarkan ayahnya sejak dia masih kanak-kanak, dia meloncat ke bawah, ke jurang iblis.

Ke bawah jurang iblis? Tentu saja, bocah kecil itu tidak tahu dia telah menuju tempat yang salah, dia tidak mengenal jalan, hanya menerjang tempat itu bagaikan orang buta.

Sekali lagi kilat dan halilintar berselingan keluar, hujan lebat tercurah dari langit, sekejap saja bajunya sudah basah semua, detik ini mana mungkin dia menper soalkan bajunya yang basah? Tetapi terpaan hujan lebat tersebut, membangkitkan rasa dingin dan lapar yang telah dilupakan tadi, dia jadi lebih tersiksa lagi.

Bocah itu terpaksa melanjutkan loncatan yang bagaikan angin melewati batu-batu yang terjal, sebentar saja sudah melesat sejauh sepuluh tombak.

Hujan lebat, batu licin, di tambah lapar, dingin, dan kelelahan, baru saja bocah itu meloncati batu terjal di seberang yang jaraknya satu tombak, mendadak kaki-nya terpeleset, dalam hatinya berseru, ‘Celaka’ belum kata-katanya juga diucapkan, tenaga dalamnya seperti terkuras habis, tanpa daya dia jatuh terpelanting menuju bawah jurang yang puluhan tombak dalamnya.

Anak kecil itu putus asa! Dia memejamkan kedua matanya, terasa suara angin yang menderu di pinggir kupingnya, kecepatan turunnya cepat, dalam hatinya dia merasa sedih, dan berkata:

”Ayah, sebetulnya A Bin tidak boleh kabur dari rumah………”

Belum berhenti berpikir, tubuhnya mendadak menimpa benda yang basah, empuk dan sangat kenyal, dia tidak merasa sakit, malah tubuhnya terpental balik ke udara dan jatuh lagi, berulang-ulang hingga empat kali, baru bisa terlentang diatasnya.

Dia terkejut bercampur senang, dengan teliti di rabanya benda yang menahan tubuhnya, dalam hatinya berkata, ‘beruntung selamat,’ ternyata dia selamat oleh lumut hijau yang tebalnya beberapa kaki, yang tumbuh sejak jaman purba kala tidak terkena sinar matahari, lumut itu berobah jadi empuk dan elastis, biarpun ada orang jatuh dari tempat tinggi hingga seratus tombak pun, tidak akan terluka.

Hujan makin deras, dibawah jurang terasa lebih deras lagi, A Bin merangkak bangun di bawah dasar jurang yang gelap, dia meraba-raba dinding jurang yang licin dan basah, dengan lunglai menginjak lumut yang empuk dan basah hingga sepuluh tombak jauhnya.

Mendadak tangannya meraba celah yang kosong, A Bin tidak waspada, keseimbangan tubuhnya tidak terkontrol, dan lumut yang dibawah kaki tidak bisa menahan kakinya, sehingga dia jatuh kedalam lubang itu, terdengar satu suara “bruk”, ternyata dia jatuh ke atas tanah yang keras dan kering.

Hujan yang deras menjadi berhenti karena terhalang lumut, sekarang A Bin merasa lebih leluasa, dia bersandar di tembok lubang itu yang ternyata menyerupai sebuah goa, setelah beristirahat sejenak, dia melihat gelapnya dalam goa hingga tidak kelihatan apa-apa, pelan-pelan dia teringat kehidupan masa lalunya ………..



0-0-0



Ketika A Bin baru dilahirkan tiga hari, ibunya meninggal karena sakit, dia di rawat oleh ayahnya dengan penuh kasih sayang, sejak kecil ayahnya telah memupuknya dasar latihan silat, dan oleh kakek dari ibunya yang terpelajar, dia diajarkan membaca dan menulis, hingga umur sepuluh tahun, dia telah menguasai seratus dua belas jurus ilmu ayahnya yang bernama Ilmu golok halilintar, ‘Lui-teng-kie-hoat’ (jurus Halilintar gemuruh)

Karena ayah A Bin, Lui Kie sangat sayang pada anaknya, maka dalam kehidupan sehari-harinya dia jarang keluar rumah, sepanjang tahun dia menemani anak tersayangnya, kecuali tiap tiga tahun sekali pada bulan 5 di saat hari Pecun (bacang) dia pergi ke Kwie-lam, mengikuti pertemuan Empat pendekar wahid yang diadakan tiga tahun sekali di Liong-bun-hong (Puncak-pintu langit) di Ban-li-san.

Pertemuan ini sudah berlangsung sekitar dua puluh tahunan, tiap tiga tahun menjelang malam hari raya Pe-cun, empat pendekar wahid di jaman itu akan datang ke Liong-bun-hong untuk mengadu kepandaian, yang menang akan memegang tanda “ Su-ciat-leng” (Empat perintah tertinggi) selama tiga tahun.

“Su-ciat-leng” hanya berupa Papan perintah yang berwarna hitam, perebutan Papan perintah ini telah berlangsung sepanjang dua puluh tahun, Papan perintah mempunyai kekuasaan yang sangat besar, bagi golongan hitam atau putih di dunia persilatan, biarpun tidak terikat oleh Papan perintah itu, tetapi tetap mengakui keberadaannya, karena orang yang meme-gang “Su-ciat-leng”, adalah orang yang paling hebat ilmu silatnya, siapa yang berani melawan Papan perintah itu, berarti menantang pada Empat pendekar wahid, tidak bisa di sangsikan lagi. Di dunia persilatan siapa yang mau bermusuhan dengan gabungan Empat pendekar wahid ini?

Tahun ini timbul pikiran A Bin untuk ikut ayahnya ke Liong-bun-hong menyaksikan pertemuan empat pendekar wahid. Ayahnya Lui-to-cai-thian tahu perjalanan kali ini tidak aman, maka dia tidak mengijin-kan A Bin ikut, tapi meski A Bin orangnya kecil, nyali-nya sangat besar, setelah ayahnya pergi, dia seorang diri meninggalkan rumahnya, dia telah mengelabui kakek-nya. Dengan menempuh ribuan li dari In-lam datang ke Liong-bun-hong di pengunungan itu! Sehari sebelumnya A Bin telah menemukan sebuah tempat tersembunyi di puncak itu dan mengintai situasinya, pada malam hari raya Pecun, di waktu bulan sabit menerangi Liong-bun-hong, disana telah penuh oleh orang-orang dari segala partai perguruan silat.

A Bin mengetahui aturan Empat pendekar wahid, dan sebetulnya kepandaian Empat pendekar wahid ini hampir seimbang semuanya, mereka sudah beberapa kali bertanding, tapi tidak ada pemenangnya, maka mereka berjanji tiap tiga tahun sekali mereka bertemu, masing-masing akan menggunakan tiga jurus ilmu terbarunya, dan akan dinilai dengan adil oleh empat orang itu, siapa yang lebih maju pesat dalam ilmunya, dialah yang berhak atas “Su-ciat-leng” selama tiga tahun.

Sepuluh tahun yang sudah lewat, In-kiam (Pedang Awan), Giok-kiong (Busur Kumala), Kau-sat (Kail penbunuh) telah menang satu kali, sedang Lui-to-cai-thian telah menang dua kali, Empat pendekar wahid telah berjanji, siapa saja yang lebih dulu bisa menang tiga kali, maka dia berhak memegang “Su-ciat-leng” selamanya, maka dengan rasa percaya diri yang sangat besar, A Bin ingin menyaksikan ayahnya menjadi pemilik benda itu selamanya.

Di tengah Liong-bun-hong (Puncak pintu langit) terdapat empat buah tempat duduk dari batu merupa-kan tempat penampilan Empat pendekar wahid.

Tepat jam dua belas malam, di Liong-bun-hong sunyi, tidak ada yang berbicara, semua orang yang datang dari segala perguruan silat masing-masing diam menunggu. A Bin membuka matanya lebih lebar, dalam hatinya dia sangat tegang.

Di bawah cahaya malam, satu sosok bayangan, melesat turun dari ketinggian, lajunya sangat cepat bagaikan bintang jatuh dari angkasa langsung jatuh tepat di batu tempat duduk di bagian selatan.

A Bin melihat keindahan orang itu melesat, dengan pikiran dan dalam hati berdebar dia tahu hanya ayahnya saja yang menguasai ilmu meringankan tubuh itu, hampir saja mulutnya kelepasan memanggil “Ayah telah datang”.

Kata yang ingin di ucapkan dimulut, mendadak berhenti karena kecewa. Pandangan matanya dengan cepat telah melihat orang yang datang tersebut di bahu tangannya tergantung sebilah kail besar yang meng-kilap, ternyata adalah Kail penbunuh Kau Bun-kek, salah satu dari anggota Empat pendekar wahid.

Empat pendekar wahid hanya datang satu orang, menbuat orang-orang partai yang ingin menonton tercengang dan gaduh, hati A Bin lebih beggolak bagaikan terbakar.

Kau Bun-kek menunggu sejenak, dan dari sarung tangan bajunya dia memperlihatkan sebuah benda yang warna hitam, itulah, “Su-ciat-leng” yang direbutnya dulu, bukanlah hal aneh sekarang berada ditangannya, tetapi yang baru pertama kali melihat benda yang melambangkan kekuasaan di dunia persilatan, tidak bisa menahan diri dan membuat suara gaduh.

Dengan kedua mata yang jernih Kau Bun-kek memandang sekeliling lapangan satu kali, dan dengan tertawa nyaring berkata:

”Pertemuan untuk memperebutkan Su-ciat-leng telah berjalan delapan belas tahun, waktunya jam dua belas malam tepat lewat, jika tidak datang tidak akan ditunggu lagi, sekarang aku akan memanggil tiga nama pendekar wahid yang belum datang sebanyak tiga kali, bila tidak menampakkan diri, berarti “Kau Bun-kek” ada kesempatan, memegang lagi Su-ciat-leng.”

Orang-orang di sekeliling yang datang dari segala jurusan mengharapkan pemimpin iblis yang suka melihat darah ini kalah dalam pertarungan kali ini, agar Su-ciat-leng itu jatuh ke tangan tiga pendekar wahid lain, tetapi sampai detik ini, Lui-to (Golok Halilintar), In-kiam (Pedang Awan), Giok-kiong (Busur kumala) masih belum datang.

“Siapa yang mau mencampuri urusan ini, katakan setuju?”

Betul saja, Kau Bun-kek berteriak keras:

”Saudara Busur Kumala (Giok-kiong), Giok Kang-tong!” dia berteriak tiga kali, tapi tidak ada orang yang menyahut, tersenyumlah Kau Bun-kek yang bermuka buas.

Dan dia berteriak lagi:

Judul judul karya Wolong Sheng

Judul judul karya Wolong Sheng (卧龙生) yang pernah cayhe terjemahkan sbb:
> 金剑雕翎 (Cing Jian Tiauw Ling) = Rahasia Kunci wasiat.
> 镖旗 (Biauw Ji) = Panji Naga sakti.
> 天香飙 (Dien Xiang Biauw) = Badai dunia persilatan.
> 素手劫 (Su So Cie) = Pembunuh Misterius.
> 春秋笔 (Juen Jui Pi) = Pena Wasiat.
> 三聖门 (San Sen Men) = Lembah tiga malaikat.
> 逰俠風流 (Yu Xia Feng Liu) = Bakti Pendekar.
> Rahasia kunci wasiat dalam buku aslinya hanya terdiri dari satu judul,
> tapi berhubung cerita ini kelewat panjang maka oleh Sdr. Swie San dari
> Sastra Kumala dibagi menjadi 4 bagian. Belakangan muncul lagi judul
> baru 岳小钗 (Yue Xiau Cha) atau Gak Siau-cha yang ceritanya tentang Siau
> Ling, hanya tidak jelas apakah judul ini merupakan kelanjutan dari
> Rahasia kunci wasiat, ataukah 金剑雕翎 dibagi jadi dua bagian.
> saat ini cayhe sedang persiapkan sebuah judul baru karya dari Wolong
> Sheng yang berjudul 天龙甲 (Dien Long Cia) = Tameng Naga Langit, moga
> dalam tahun ini atau paling lambat tahun depan bisa diterbitkan.
> Cerita Bangau Sakti telah dilakukan revisi dan kini terbit dengan
> judul 新仙鹤神针 (Xin Xien Ge Shen Cen) bangau sakti baru
> 金魔指 = Cincin Maut