Rabu, 30 Juli 2008

Badai Persilatan

JILID KE SATU

BAB 1

Malam yang mengejutkan hweesio kecil

Matahari baru saja terbit, Siong-san yang juga bernama Tiong-hiat merupakan gunung yang sambung menyambung menjadi satu, di sana sini terlihat jurang yang terjal dan sangat berbahaya. Siauw-lim-sie yang sangat terkenal pun berada di tempat ini.

Puncaknya yang tinggi seperti masuk ke dalam awan, di sana ada sebuah dataran luas sekitar ratusan kaki persegi, walaupun sekarang ini baru pukul 5 dini hari, tapi hweesio-hweesio Siauw-lim-sie sudah mem-baca kitab suci, lonceng pagi dari Siauw-lim-sie terus berdentang, ditambah dengan suara hweesio yang mengetuk ikan kayu (Bokhi) serta suara hweesio yang sedang membaca kitab suci, membuat siapa pun semakin merasa tempat ini sangat tenang dan tentram.

Di tempat datar itu, berbaring seorang hweesio kecil usianya baru sekitar 15-16 tahun. Dia terlihat sehat, alis matanya besar, hidung mancung, mulut persegi, sewaktu dia tertawa, dari sudut mulutnya terlihat dia masih polos. Sekarang dia sedang melihat sekitarnya sambil menggosok-gosok mata, dia baru terbangun dari tidurnya dan berkata pada dirinya sendiri, ’Dari pagi sampai malam suara berisik tidak henti-hentinya membaca O-mi-to-hud, aku benar-benar benci sebab sudah mengganggu tidurku.”

Dari raut wajahnya terlihat dia tidak suka diganggu, tangan kanannya menutupi alis untuk melihat ke arah kuil Siauw-lim-sie yang terlihat dari jauh dan megah.

Waktu itu seorang hweesio berwajah merah dan berbentuk kotak serta bertelinga besar sedang berjalan dengan perlahan ke arah hweesio kecil itu. Dia mengerutkan alisnya yang panjang juga putih, dia berjalan dengan tidak tenang.

Begitu hweesio kecil itu melihat ada yang datang, dia terkejut dan hampir berteriak, ternyata orang yang datang adalah hweesio tua yang merupakan salah satu dari 3 hweesio yang punya kedudukan tinggi di Siauw-lim-sie di panggil Leng In Taysu. Kedudukannya cuma berada di bawah ketua Siauw-lim-sie, Leng Te taysu.

Awalnya Leng In Taysu adalah murid yang bukan hweesio, murid dari ketua Siauw-lim-sie sebelumnya. 3 tahun yang lalu, tiba-tiba Leng In kembali ke Siauw-lim-sie dan mencukur rambutnya dengan suka rela. Ilmu silatnya sangat tinggi sebab dia mendapat warisan ilmu silat secara langsung dari ketua terdahulu, maka setelah dia kembali ke Siauw-lim-sie dia sangat diperhatikan oleh Leng Te Taysu. Sehingga dia tinggal di tempat penting di Siauw-lim-sie yang bernama Tan-lim-goan.

Jadi Leng In Taysu mempunyai kedudukan tinggi di Siauw-lim-sie, hweesio kecil itu biasanya sangat nakal, kenakalannya terkenal di seluruh kuil ini, kecuali berlatih ilmu silat, sisa waktu digunakannya untuk tidur. Pikirannya dipenuhi dengan khayalan, kalau tertidur di siang hari dia juga sering bermimpi. Orang-orang Siauw-lim-sie menjuluki dia ’Bong-cin’ (hweesio pemimpi) kepadanya.

Leng In Taysu sudah semakin mendekat, hweesio pemimpi sudah terbangun, gerakan tubuhnya ringan seperti seekor burung walet, dia ingin menyambut paman gurunya, tiba-tiba dia melihat sesuatu. Di otaknya berkelebat sesuatu pikiran, dia segera membalikkan tubuh dan lari sekitar 6 meter ke samping, kemudian dia bersembunyi di balik sebuah batu besar.

Tampak Leng In Taysu sedang memikirkan sesuatu. Gerak-gerik hweesio pemimpi ini tidak diketahui olehnya. Terlihat Leng In Taysu sedang mengerutkan alisnya, seperti sedang khawatir, terlihat bibirnya bergerak, ”Hhhhh!......”

Hweesio pemimpi terkejut dia menggeser tubuhnya untuk melihat lebih jelas dari sisi batu besar itu. Terlihat wajah Leng In Taysu sedang penuh khawatir, dia menatap langit, kemudian menarik nafas panjang! Hweesio pemimpi curiga dan berpikir, ’Apa yang sedang dipikirkan oleh Leng In Supek?’

Tidak lama kemudian, sikap Leng In Taysu eperti bertambah bengong, sorot matanya memancarkan kebencian, bibirnya terus bergerak, alis kirinya ditarik ke atas, sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu. Tapi mulutnya tidak mengeluarkan suara. Dia mempunyai kekesalan yang sulit diungkapkan, walaupun di tempat ini dia anggap tidak ada orang!

Lama Leng In Taysu menggoyang-goyang kepala nya, dia juga menghela nafas.

”Aku telah gagal, seharusnya ’dia’ sudah datang kemari!”

Hweesio pemimpi benar-benar terkejut dan berpikir, ’Siapa ’dia’ yang dimaksud? Apa yang dimaksud gagal oleh Leng In Supek?’ dia berjongkok di balik batu, hatinya penuh kebingungan, dia juga tidak berani menggeserkan tubuhnya karena takut mengejut-kan Leng In Taysu.

Leng In Taysu sudah kembali seperti semula, dia hanya menarik nafas dan dengan pelan berkata:

”Hal yang sudah jelas seperti ini, apa boleh dikata... kalau malam ini dia tidak kemari, besok pagi aku yang akan pergi ke sana, aku akan menerima apa yang seharusnya kudapatkan, lebih baik mati di tangan ketua dari pada mati di tangan kakak sendiri!”

Wajah Leng In Taysu seperti kram dan terlihat kesakitan, pelan-pelan dia memutar tubuhnya, dia berjalan ke atas gunung.

Begitu sosok Leng In sudah tidak terlihat, hweesio pemimpi baru berani keluar dari balik batu, dia terkejut dan menaruh curiga, dia sendiri pun bingung.

Leng In Supek yang sangat dia sukai sepertinya mempunyai kesulitan, dia berpikir semua ini tidak ada hubungan dengannya tapi yang membuatnya aneh adalah kata-katanya yaitu ’lebih baik mati di tangan ketua dari pada mati di tangan kakak sendiri!’

”Siapakah ketua yang dimaksud oleh Leng In Supek? Apakah yang dimaksud dengan kakak sendiri adalah kakak kandung Leng In Supek?”

Hweesio kecil itu melihat langit dan melamun, diam-diam dia berpikir lagi, ’Susiok sepertinya sedang menunggu seseorang... siapa yang ditunggunya?’

Tiba-tiba dia teringat pada kata-kata Leng In... ’kalau malam ini dia tidak datang, besok pagi, aku akan....’

Hati hweesio pemimpi bergetar begitu pun dengan alisnya, dia bicara sendiri, ’Malam ini dia tidak datang, apakah Leng In Supek tahu malam ini akan ada yang datang, apakah orang yang datang itu adalah ’dia’? yang dimaksud oleh paman guru? Aku juga ingin menunggunya....’

Dari kuil terdengar suara lonceng berdentang, lonceng berdentang 3 kali, hweesio pemimpi berteriak dengan senang:

”Waktu makan hampir tiba!” dia lari seperti asap ke arah kuil....

Malam yang gelap menutupi gunung, suara lonceng yang nyaring terdengar melalui gunung-gunung, suara lonceng bergema mencapai puluhan li jauhnya.

Siauw-lim-sie yang terkenal terlihat di bawah sinar bulan yang redup, bangunan yang sambung menyambung mencapai puluhan. Setelah lonceng berdentang, kuil menjadi sepi, ribuan hweesio dengan iringan dentang lonceng masuk ke alam mimpi.

Tiba-tiba di jalan naik sebuah gunung, muncul seseorang dengan wajah yang ditutup dengan kain hitam. Di punggungnya terselip sebuah pedang panjang, dia mengenakan baju ketat. Matanya melirik ke kiri dan kanan kemudian dia lari ke gunung itu. Gerakannya cepat juga lincah, dengan cepat dia melewati jalan gunung itu.

Di depan pintu utama kuil, orang itu berhenti, dia tidak ragu hanya berhenti untuk melihat keadaan sekitarnya. Dia meloncat ke atas dinding pagar seperti seekor kucing, begitu pundaknya bergerak dia sudah berjalan ke kuil.

Setelah kira-kira berjalan 10 menit, di dalam kuil dengan gerakan tubuh yang lincah dia berhasil menghindari penjagaan hweesio kuil.

Sekarang dia berhenti di depan sebuah rumah yang berdiri sendiri, di bawah sinar bulan tampak matanya terus berputar, matanya terang seperti bintang menatap langit.

Di pekarangan, pohon-pohon bambu baru saja ditanam, pohon-pohon bambu itu mengeliling dua kamar bagian luar, terlihat kamarnya sepi tapi masih terang.

Tiba-tiba orang itu menarik sorot matanya yang dingin, tanpa rasa takut dia melangkah masuk, langkah-nya besar-besar tapi tidak mengeluarkan suara.

Pintu kamar masih terbuka lebar, di dalam kamar ada 2 lilin yang masih menyala, di tengah kamar ada sebuah meja persegi, meja itu biasanya digunakan untuk sembahyang, di belakang meja ada seorang hweesio tua yang sedang duduk bersila. Tangannya memegang sebuah tungku setinggi setengah meter, di dalam tungku ada kayu wangi Tan-hiang yang sedang terbakar, asap memenuhi seluruh ruangan.

Hweesio tua yang sedang duduk bersila seperti mendengar suaranya, dengan cepat dia mengangkat kepala, kedua matanya yang terang melihat ke tempat di mana orang yang baru masuk itu berdiri. Apakah dia tahu siapa orang yang masuk itu? sebab setelah melihat, hweesio itu memejamkan matanya lagi tapi terlihat wajahnya terus bergerak-gerak, kemudian dia menun-dukkan kepalanya lagi.

Orang yang datang malam-malam ini terkejut dan berpikir, ’Dia tahu kalau aku ada di sini, mengapa dia masih diam? Apakah dia tahu siapa aku? Maka....’

Tapi hweesio tua yang sedang menundukkan kepala itu berkata dengan pelan:

”O-mi-to-hud, malam larut seperti ini Tuan masuk ke kuil, kalau orang yang tidak mempunyai ilmu silat tinggi mana mungkin bisa masuk kemari? Silakan masuk dan duduk mengobrol denganku.”

Orang yang baru datang itu tertawa, dia sedikit bergerak dan sudah berada di depan hweesio tua itu. Kemudian pelan-pelan mengangkat tangan kanannya, sewaktu dia akan membuka penutup wajahnya, tiba-tiba hweesio tua itu menghela nafas:

”Nanti..... aku tahu kau pasti akan kemari!”

Dengan angkuh orang itu mengangguk.

Kedua mata hweesio itu terbuka, matanya memancarkan cahaya aneh, wajahnya terlihat seperti kesakitan, kemudian berkata:

”Hai-ceng... apakah itu engkau?”

Orang yang datang itu memutar pergelangan tangannya yang memegang pedang, dia tertawa:

”Selain aku, siapa yang berani dan sanggup masuk ke Siauw-lim ’Tan-lim-goan’?”

Cahaya pedang terlihat dingin dan berwarna hijau menyinari baju hitam yang dikenakan oleh orang yang baru datang itu, di baju orang itu terlihat ada gambar burung merpati yang disulam, burung itu berwarna putih bersih.

”Hai-ceng......... apakah benar kau ingin mem-bunuhku....”

Orang yang baru datang itu menjawab dengan:

”He!”

”Berikan Giok-teng itu kepadaku!” (Giok-teng = tungku berkaki 3), kata-katanya belum selesai, kedua matanya melotot, bersamaan waktu itu sorot matanya manjadi ganas, dia berteriak, ”Ada orang!”

Tubuhnya bergerak secepat kilat, dia berlari keluar dari Tan-lim-goan, bayangan orang itu seperti sebuah roda berputar di udara.

Wajah Leng In Taysu berubah, dengan suara berat dia berkata:

”Hai-ceng, kembalilah! Tidak ada orang yang kemari!”

Dengan hati sedikit tenang, orang tadi kembali lagi ke ruangan, dia berdiri di depan Leng In Taysu, sikapnya tetap dingin, kejam, dan angkuh.

Di sisi pepohonan bambu yang berwarna hijau seorang hweesio kecil berbaju hitam tampak sedang berjongkok, dengan terkejut dan ketakutan dia terus melihat ke arah Tan-lim-goan.

”Leng In Supek mengenali orang itu, tadi aku tidak sengaja bergerak, hampir saja dia melihatku. Siapakah dia? Kelihatannya sangat lihai.”

’Apakah aku sedang bermimpi?’ hweesio pemimpi dengan gelisah melihat Leng In Taysu, dia teringat pada kejadian siang tadi, gerak gerik Leng In Taysu membuat siapa pun tidak mengerti.

Baru saja berpikir sampai di sana, terdengar Leng In Taysu menghela nafas lagi:

”Apakah tujuanmu hanya ini?”

”Betul, kau memang pintar, selain Giok-teng yang kuhendaki...”

”Apakah kau menginginkan nyawaku juga?”

”Ha ha ha!... tidak perlu kujawab, apa yang kau katakan tadi tidak salah!”

Pedang panjang di tangannya diputar, bunga-bunga pedang terus berkelebatan, angin dingin dari pedang terasa di permukaan kulit.

Leng In Taysu meletakkan Giok-teng di atas meja sembahyang, kemudian kedua tangannya dikatupkan menjadi satu, dengan pelan dia berkata:

”O-mi-to-hud....” Menghadapi tamu yang penuh nafsu membunuh di depannya dia seperti tidak melihat.

Pedang diangkat, hal ini membuat hweesio pemimpi yang sedang bersembunyi hampir saja berteriak karena terkejut, sewaktu dia berada dalam keadaan terkejut, pedang yang diangkat oleh orang itu berhenti di tengah udara.

Leng In Taysu membuka kedua matanya, dengan suara bergetar dia menangis:

”Mengapa kau tidak membunuhku?”

”Membunuh? Hei..!”

Orang itu tertawa dingin.

”Bukankah kalau kau bunuh diri, lebih tidak merepotkanku?”

Leng In Taysu seperti orang lemah, dia benar-benar terlihat lesu, dia melihat orang itu dan dengan pelan berkata:

”Hai-ceng, kau benar-benar kejam, hatiku sudah mengenal Budha, selama 3 tahun ini aku belum pernah membunuh lagi! Awalnya aku menjadi hweesio dan mengenakan baju hweesio bukan dengan hati benar-benar ingin menjadi hweesio, tapi selama 3 tahun ini hatiku sudah berubah total, sekarang aku adalah Leng In bukan...”

Orang yang datang itu bernama Hiang Hai-ceng, dengan dingin dia berkata:

”He!...Bukan apa lagi?”

Wajah Leng In Taysu memancarkan kesedihan yang sangat dalam.

”Sudahlah, jangan dibicarakan lagi...”

”Mana mungkin tidak dibicarakan? Yang ingin kuketahui adalah hasil kerjamu selama 3 tahun ini!”

”Jangan banyak bicara, cepat bunuh saja aku!”

Hiang Hai-ceng masih mempertahankan sikap-nya.

’Sebelum kau mati, beritahu dulu hasil kerjamu selama 3 tahun ini!”

”Apakah aku harus memberitahumu?”

”Kalau kau tidak mau memberitahu, kau mati akan lebih sakit lagi!”

Tubuh Leng In Taysu bergetar.

”Lebih sakit? Lebih sakit, tidak, aku rasa aku tidak akan merasa sakit....”

Tiba-tiba wajah Leng In Taysu muncul sikap sinis:

”Aku akan bunuh diri!”

Tiba-tiba tangan kanan Hiang Hai-ceng diangkat, jari-jarinya mengeluarkan jurus ’Coan-in-koan-jit’ (Melewati awan menghadap matahari). Angin jari melesat keluar, terdengar Leng In Taysu mengeluarkan suara ringan, kemudian dengan suara serak dia berkata.

”Hai-ceng, kau benar-benar jahat!”

Hiang Hai-ceng dengan senang berkata:

”Maksudku memang seperti itu, kau bunuh diri saja!”

Setelah berkata seperti itu, tubuhnya condong ke depan, tidak melihat dia menggeser kakinya, tangan kirinya sudah bergerak!

Hweesio pemimpi hanya merasa saat matanya berkedip Giok-teng yang berada di atas meja sembahyang sudah berada di tangan Hai-ceng, dan mata Hai-ceng memancarkan cahaya serakah.

Hweesio pemimpi hanya bisa menahan nafas melihat keadaan di dalam, dia terus bertambah curiga, tapi belum selesai dia berpikir, dia merasa bulu kudunya merinding sebab dia melihat kejadian yang terjadi di depan matanya, mulut Leng In Taysu terbuka dan memuncratkan darah seperti panah yang ditembakkan.

Di dalam darah seperti ada suatu benda kecil, hweesio pemimpi adalah anak yang pintar, dia menahan teriakannya, kemudian berpikir.... dia langsung mengerti apa yang sedang terjadi, ternyata Leng In Taysu menggigit lidahnya sendiri sampai putus untuk bunuh diri.

Dia memejamkan matanya tapi telinganya terus mendengar tawa Hiang Hai-ceng yang datang entah dari mana, dalam hati dia terus berteriak,

Rabu, 23 Juli 2008

Buku Pusaka

BUKU PUSAKA

BAB 1

Tewas di perbatasan

Hawa dingin menembus sepatu, udara mendung sampai batu pun tumbuh lumut, angin utara meniup lapangan liar yang luas, salju menindih kota perbatasan, cuaca sungguh dingin, dinginnya sampai ayam pun tidak mau terbang, anjing pun tidak mengonggong, diujung jalan sampai ujung gang, terasa sangat hening!

Perkampungan she Liu adalah sebuah kota kecil di bawah gunung Liu-pan di perbatasan, sekarang sore hari di musim dingin, bukan hari pasar, dan bukan hari pertemuan, jangan dikatakan lagi dijalan sedikit sekali orang yang berjalan, sampai yang biasa menjual arak khusus buatan sendiri, di dalam warung arak tua Gentong arak Liu-sam, juga hanya ada dua tiga tamu.

Liu-sam yang menjadi pemilik toko ini merangkap sebagai pelayan, tampak sedang memanaskan arak untuk seorang tua berbaju kuning yang duduk sendirian ditempat khusus sebelah jendela selatan, tiba-tiba, berkelebat sebuah bayangan orang berbaju hijau, seorang tamu masuk lagi ke warung arak.

Tidak menunggu Liu-sam menyambut, orang tua baju kuning yang duduk sendirian itu, sudah berdiri lebih dahulu, mengepal tangan sambil tertawa berkata:

”Ciam-heng, tidak kuduga dalam cuaca begini dingin kau masih mau datang, apa kau ada minat minum arak bagus?”

Orang yang baru masuk kedalam toko, adalah seorang sastrawan berbaju hijau yang tampangnya sangat gagah, berusia sekitar empat puluhan, mendengar ada yang berkata padanya maka dia segera mengepal tangannya membalas hormat, sambil tertawa, katanya:

”The Lo-siu, kau juga sama…”

Kata-katanya belum habis, orang yang dipanggil The Lo-siu itu, menggelengkan kepala:

”Karena cucu ku sakit berat, anak perempuan ku mengutus orang menjemput istriku untuk membantu, diakhir tahun yang dingin ini aku sendirian jadi tidak ada kerjaan, aku baru datang ke warung Gentong Arak Liu Lo-sam ini, minum sedikit arak untuk menghilangkan kekesalan, tidak diduga kedatanganku tepat waktunya, beruntung sekali aku bisa bertemu dan minum arak dengan Ciam-heng, mari…aku akan mentraktirmu, mari kita habiskan arak setengah gentong ini, untuk memuaskan kesenangan ini!”

Sastrawan berbaju hijau dengan orang tua baju kuning yang bernama The Ih-hui adalah teman minum tahunan, makanya tanpa sungkan lagi, dia maju kedepan dan duduk, dia mengangkat alis sambil bertanya:

”The Lo-siu, warung Gentong Arak Liu Lo-sam ini adalah tempat yang sering kita kunjungi, kau tadi mengatakan tepat waktu dan beruntung apa maksud kata-kata ini…”

The Ih-hui tidak menunggu sastrawan berbaju hijau melanjutkan pertanyaannya, dia menunjuk pada seteko arak dan dua piring sayur asin yang disajikan oleh warung Lo-sam, sambil tertawa:

”Ciam-heng tidak tahu, Lo-sam kedatangan teman baiknya dari Kanglam, dia membawakan barang sangat bagus…”

Berkata sampai disini dia menatap pada pemilik warung, katanya:

”Liu Lo-sam, Ciam Loya juga berasal dari Kanglam, tentu penggemar Ni-ji-hong juga, hayo cepat panaskan arak sepuluh kati lagi! dan tambah lagi satu porsi daging kambing!”

Begitu sastrawan baju hijau mendengar kata Ni-ji-hong, dia sudah menelan air liurnya duluan, tidak menunggu dipersilahkan oleh The Ih-hui, dia sendiri menumpahkan satu gelas arak, dan sedikit mencobanya, pujinya:

Arak bagus, arak bagus, sungguh asli arak bagus buatan Kanglam, Ciam Thian-peng sudah tiga belas tahun lamanya, tidak merasakan arak ini…”

Dia mengangkat gelasnya dan meminum habis araknya, lalu mengangkat teko arak, mengisinya lagi, dia tertawa pada The Ih-hui:

”The Lo-siu, apakah kau tahu arak Ni-ji-hong ini…”

The Ih-hui menganggukan kepalanya tertawa:

”Aku tahu, di daerah sekitar Sauw-seng di Kanglam, setiap kali ada yang melahirkan seorang putri, mereka selalu membuat arak ini, menimbunnya dibawah tanah, setelah putrinya besar, dia baru menggalinya untuk dijadikan sebagai arak pernikahan, sehingga umur arak ini paling sedikit sudah berumur delapan sembilan belas tahun, tentu saja wangi dan murni cocok untuk di minum dan termasuk arak kelas satu!”

Ciam Thian-peng tertawa:

”The Lo-siu ternyata seorang yang pengetahuannya luas sekali…”

The Ih-hui melihat sekali pada Ciam Thian-peng, dia mengangkat alisnya melanjutkan perkataannya:

”Ciam-heng, walau pengalaman dan pengetahuanku luas, tapi ada satu hal, yang sama sekali tidak ku mengerti…”

Ciam Thian-peng mengisikan araknya sendiri dan minum lagi:

”Masalah apa yang kau tidak mengerti?”

The Ih-hui melihat kesekeliling, melihat di dalam warung kecuali dirinya dan Ciam Thian-peng, ada dua tamu lainnya juga sedang membayar rekening setelah minum, maka tanpa khawatir lagi dia tersenyum katanya:

”Menurut pandanganku, kau adalah seorang dari keluarga terhormat di Kanglam, juga memiliki ilmu silat tinggi, kau dijuluki Thian-he-te-it-kiam (Jago pedang tanpa tanding), dengan Pak-mo (Setan utara) Thi Pa-thian, di Bu-lim, diakui sebagai yang paling hebat di utara dan selatan, jago silat terhebat sepanjang masa, tapi…kenapa kau tidak suka nama besar, malah meninggalkan Kanglam yang indah, membawa istri dan anak, lebih suka tinggal jauh di kota kecil di daerah perbatasan ini, hidup sebagai orang biasa, dan hidup di dalam cuaca dingin perbatasan…”

Baru saja berkata sampai disini, dia melihat wajah Ciam Thian-peng berubah, The Ih-hui segera menghentikan perkataannya, bisiknya:

”Ciam-heng harap maafkan aku, kita berteman memang belum lama, tapi kata-kataku agak dalam, karena selama ini aku merasa cocok denganmu, dan juga hari ini didalam warung tidak ada orang lain, maka aku berani menanyakan nya, saudara kalau ada masalah yang tidak ingin dikatakan, tidak perlu…”

Sepasang alis Ciam Thian-peng tiba-tiba mengendur, dia menggoyangkan tangannya:

”The Lo-siu, Ciam Thian-peng lebih suka hidup biasa diperbatasan yang liar ini, bukan untuk menghindarkan musuh, juga bukan karena telah melakukan hal yang memalukan, semua terjadi karena peristiwa tiga belas tahun yang lalu, setelah pertempuran berdarah yang dahsyat itu, tiba-tiba aku merasa bosan dan jenuh dengan perselisihan di dunia persilatan, maka aku membawa istri dan anakku pergi jauh meninggalkan Kanglam, menghindar dari orang-orang yang merepotkan, tinggal dikota kecil perbatasan yang damai dan sepi ini, melanjutkan sisa hidup kami.”

The Ih-hui berpikir sejenak, sorot matanya bersinar:

”Pertarungan berdarah yang dahsyat pada tiga belas tahun lalu? Betulkah kalian suami istri dengan sepasang pedang, di dataran rendah Ta-lung di Yam-kang, telah menghabisi Kiu-mo-lam-thian (Sembilan iblis buruk dari langit selatan)…”

Ciam Thian-peng yang mendengar, jadi tersenyum pahit, katanya:

”Sejak dulu aku sudah merasa The Lo-siu bukan orang biasa, benar saja ternyata adalah orang sealiranku…”

The Ih-hui tertawa:

”Ketika muda aku juga pernah berkelana di dunia persilatan tapi tidak lama, aku tahu diriku tidak hebat, maka segera mengundurkan diri dari dunia persilatan, hanya kadang-kadang aku masih mendengar dari teman lama, sedikit cerita tentang dunia persilatan, Ciam-heng harap jangan memandang aku terlalu tinggi, ilmu silatku tidak ada artinya, untuk membawakan pedangmu juga tidak pantas?”

Ciam Thian-peng mengeluh, dia terdiam sesaat, lalu menatap The Ih-hui lagi:

”Baiklah, karena kau telah menanyakannya, aku akan menceritakan tentang kejadian lama yang terjadi pada tiga belas tahun lalu, untuk obrolan sambil minum arak, bagaimana?”

The Ih-hui sangat gembira, katanya:

”Bagus! Bagus! memang aku tidak tahu detailnya tentang masa lalu itu, kejadian ini lebih hebat ratusan kali dibandingkan makan daging kambing panggang, daging sapi asin untuk teman minum arak!”

Ciam Thian-peng yang gelasnya sudah kosong, setelah dipenuhi arak lagi, pelan-pelan meminum habis kembali, matanya bersinar menyorot, dia mengangkat alis berkata:

”The Lo-siu, apakah kau tahu, tiga belas tahun yang lalu aliran hitam meraja lela didunia persilatan, mereka sering merampok dan membunuh orang, merupakan mala petaka dunia persilatan utara dan selatan!”

The Ih-hui mengangguk berkata:

”Aku tahu, mereka di utara adalah Pak-mo (Setan utara) Thi Pa-thian, sedang yang mengacau di selatan adalah Kiu-mo-lam-thian yang telah dihabisi oleh kalian suami istri!”

Ciam Thian-peng tertawa pahit:

”Pertama, daerah utara sangat jauh, kedua, Pak-mo Thi Pa-thian tidak menentu tempatnya, jejaknya tidak tetap disatu tempat, kami suami istri selalu berusaha menolong rakyat, kami ingin menghancurkan segala macam kejahatan dan menentramkan rakyat, untuk itu kami membuat janji pertemuan dengan Kiu-mo-lam-thian di dataran rendah (rawa) Ta-lung di Yam-kang…”

The Ih-hui mengangkat gelas:

”Tindakan berbudi Ciam-heng dengan istrimu Wi-hui-hek-ie (Pengawal terbang baju hitam), membuat nama kalian sangat harum di dunia persilatan, membuat orang sangat kagum, hanya tidak tahu saat itu…”

Di dalam sepasang mata harimau Ciam Thian-peng menyorot sinar semacam nostalgia, perlahan berkata:

”Saat itu kami suami istri tidak ada yang membantu, dengan sepasang pedang kami pergi menepati janji, sebaliknya Kiu-mo-lam-thian malahan telah mengundang tujuh puluh dua jago silat kelas satu dari aliran hitam, mulai dari mulut gunung Yam-kang sampai di depan dataran rendah Ta-lung, telah menyiapkan sembilan jebakan yang lihay, dalam sembilan kali pertarungan ini aku dengan istriku sampai kehabisan tenaga, darah sudah membasahi sekujur tubuh, akhirnya pertarungan paling dahsyat terjadi didepan dataran rendah Ta-lung, aku terluka oleh tiga belas sabetan golok, pedang, dan pukulan telapak yang ringan dan berat, istriku Ti Bwee-giauw, juga dua jarinya terputus, sebelah matanya buta, menghadapi tujuh puluh dua jago silat aliran hitam, ditambah Kiu-mo-lam-thian semuanya menjadi delapan puluh satu orang, dari pihak musuh delapan puluh orang ada yang pinggangnya putus, perutnya pecah, kepala hancur, dada tertembus, dari Kiu-mo-lam-thian hanya tertinggal satu orang yang masih hidup, yaitu Hud-bin-put-ceng-sim (Wajah Budha hati busuk), Bu-beng-hud (Budha tanpa nama), dia masih hidup dengan nafas yang hampir putus, lengan kirinya juga telah terpotong…”

Cerita ini, sangat kental dengan bau amis darah, membuat The Ih-hui yang sedang senang minum arak, hatinya jadi berdebar-debar, arak yang ada di mulutnya jadi sulit ditelan!

Menunggu sampai kata-kata Ciam Thian-peng selesai, The Ih-hui baru bisa bernafas dan menelan arak di dalam mulutnya, dengan serius dia berkata:

”Kata orang jika ‘Rumput liar tidak dicabut sampai akarnya, saat angin musim semi bertiup dia akan tumbuh kembali’, apa lagi Hud-bin-put-ceng-sim, Bu-beng-hud adalah orang yang paling jahat diantara Kiu-mo-lam-thian, kalian suami istri jika telah membunuh delapan puluh penjahat, seharusnya jangan ada hati kasihan lagi, seharusnya menambah satu tikaman pedang lagi pada Bu-beng-hud ini!”

Ciam Thian-peng menganggukan kepala:

”Kata-kata The Lo-siu memang benar, tapi saat itu entah karena telah terlalu banyak membunuh orang? Atau ada alasan lain? Ketika aku mengangkat pedang menunjuk ke dadanya, hanya menusuk robek baju Bu-beng-hud saja, hanya terlihat sedikit darah mengalir lalu berhenti, hatiku malah tidak tega menusuk lagi tubuhnya! Istriku juga dengan wajah penuh air mata dan sedih mengeluh, bersama-sama denganku dia menarik kembali pedangnya, lalu pergi membiarkan Bu-beng-hud yang tinggal sebelah lengannya, meninggalkan dia diatas lumuran darah entah hidup atau mati!”

”Seterusnya, apakah kalian menjadi bosan berkelana di dunia persilatan…” Kata The Ih-hui jadi mengerti.

Ciam Thian-peng mengangguk:

”Betul, selanjutnya aku dengan istriku setiap kali melihat pedang, hati kami jadi gemetar, melihat darah, tangan menjadi lemas, maka kami meninggalkan Kanglam, tinggal dikota kecil perbatasan ini yang tidak ada seorangpun kenal…”

Perkataannya terhenti sejenak, dia minum satu tegukan arak lagi:

”Akibatnya terhadap anak tunggal kami Ciam Bun-jit, kami hanya hanya mengajarkan ilmu pernafasan dasar yang berguna untuk kesehatan saja, tidak membiarkan dia belajar jurus Im-yang-kiam yang tiada tandingannya, ilmu pedang yang tersohor sebagai salah satu ilmu pedang terhebat, tapi jurusnya sangat ganas dan hawa membunuhnya terlalu berat!”

Habis berkata! Tidak tahu karena merasa pilu? Atau emosi? Sekaligus dia minum habis dua belas gelas besar arak, membuat diatas meja bertambah beberapa teko kosong, sepuluh kati arak Ni-ji-hong yang dipanaskan Lo-sam untuk tamu, hanya tinggal sedikit lagi.

The Ih-hui hanya melihat saja perbuatannya, dia tertawa dan berkata:

”Ciam-heng sungguh ukuran minummu seperti laut, kau telah minum hampir tujuh delapan kati…”

Ciam Thian-peng merasa kepalanya sudah terasa sedikit pening, maka dia bangkit berdiri, pada The Ih-hui mengepalkan tangan sambil tertawa:

”Banyak terima kasih The Lo-siu, istriku masih menunggu dirumah, Ciam Thian-peng pamit dulu, malam ini sungguh aku merasa telah meninggalkan Kanglam jauh sekali, selama tiga belas tahun, pertama kalinya aku bisa minum dengan puas!”

Saat Ciam Thian-peng melangkah keluar dari warung Gentong Arak Liu-sam, udara malam telah menjatuhkan salju sebesar bulu angsa.

Tenaga arak yang tidak kentara memang sangat mengejutkan orang, Ciam Thian-peng yang mempunyai ilmu silat tinggi, dan dijuluki pesilat yang tiada tandingannya pada masa itu, langkahnya menjadi tidak stabil, tubuhnya juga terhuyung-huyung.

The Ih-hui mengambil uang dari dalam kantongnya membayar rekening, pada Liu-sam dia tertawa katanya:

”Lo-sam, teman baikmu sungguh menyenangkan, jauh-jauh dari Kanglam bisa mengantarkan arak kesini…”

Liu-sam tertawa memotong:

”Kukatakan jujur saja pada The Loya, orang yang membawakan Ni-ji-hong ini, sangat asing bagiku, katanya tuan Yam-gouw menitipkan arak ini untuk aku karena sejalan denganku, orangnya siapa, sampai saat ini aku juga tidak ingat!”

”Tuan Yam-gouw……”

Kata-katanya baru keluar, mendadak wajahnya berubah, dari gelungan rambutnya dia mencabut sebuah tusuk konde perak, lalu mencelupkan ke dalam teko yang ada araknya.

Liu-sam memandang aneh, katanya:

”The Loya, kau…kau…kau ini kenapa…”

The Ih-hui mencabut konde peraknya, melihat diatas tusuk konde peraknya tidak ada perubahan warna, alisnya sedikit dikerutkan, dia menundukan kepala berpikir sambil melangkah keluar toko…

Diluar… salju turun sangat besar, seharusnya tidak ada orang, tapi kenyataannya malah tidak begitu, seseorang telah menghadang jalannya The Ih-hui.

Terhadap Ciam Thian-peng, The Ih-hui merendah bahwa dirinya tidak begitu mahir ilmu silat, sebenarnya walau dia telah mengundurkan diri dari dunia persilatan, ilmu silatnya tidak pernah lalai, bisa dikatakan dia juga seorang pesilat hebat.

Walau dia telah minum dua tiga kati Ni-ji-hong, juga sedikit mabuk, tapi ketika menyadari ada orang yang meng-hadang, segera dia menghentikan langkahnya, berdiri tegak, mabuknya jadi setengah hilang, dia mengangkat mata melihat.

Di depannya sekitar sepuluh kaki, dari belakang pojok tembok keluar seseorang berbaju hitam bercadar.

Angin dingin sangat kuat, salju pun lebat, orang itu hanya memakai baju panjang hitam tipis, di dalam angin dan salju sedikit pun tidak merasa kedinginan, bisa dinilai tenaga dalamnya, sudah sampai tingkat yang hebat sekali.

Tapi lengan baju kirinya, kosong melompong, berkibar ditiup angin, membuat orang yang melihat langsung tahu, orang itu tidak mempunyai lengan kiri.

Sasaat The Ih-hui memperhatikan lawannya, mengepal sepasang tangan, bertanya:

”Tuan siapa?”

Orang berbaju hitam itu bersuara sedingin es:

”Tuan Yam-gouw…”

The Ih-hui tertegun, dia teringat tuan Yam-gouw ini adalah orang yang dikatakan Liu-sam, yang menitipkan arak jauh-jauh dari Kanglam, maka dia menganggukan kepala berkata:

”Ternyata aku tidak salah menebaknya, arak Ni-ji-hong ini, memang tidak sederhana…”

Orang berbaju hitam itu tertawa keji:

”Tentu saja tidak sederhana, itu adalah satu langkah hebatku, mengandalkan langkah hebat ini digunakan untuk membalas dendam tiga belas tahun yang lalu!”

‘Balas dendam…’, ‘Tiga belas tahun…’, ‘Lengan baju sebelah kiri kosong melompong…’, ditambah tadi pedang tiada tandingannya Ciam Thian-peng mengatakan masalah di dataran rendah Ta-lung di Yam-kang, di dalam hati, pikiran The Ih-hui, sedikit berputar, maka dia segera sadar, dia sekali lagi memperhatikan orang berbaju hitam, berkata:

”Aku mengerti, Tuan tentu yang dipanggil Yam-gouw, kau adalah salah satu dari Kiu-mo-lam-thian yaitu Hud-bin-put-ceng-sim Bu-beng-hud!”

“He he he he!” orang berbaju hitam itu tertawa dingin, dia menganggukkan kepala:

”Kau orang tua, ternyata masih belum pikun, ketika aku melihat gerakanmu mencabut tusuk konde dan mencoba arak, maka aku tahu kau sudah menaruh curiga, maka sengaja aku menghadang, tidak membiarkan kau pergi kerumah keluarga Ciam untuk melapor pada Ciam Thian-peng suami istri supaya waspada, hingga membuat kami menambah kerepotan!”

Perkataan “Kami” ini, membuat The Ih-hui yang mendengar jadi terkejut didalam hati, tidak tahan dia menoleh melihat ke dalam warung Gentong Arak Liu-sam sekali.

Bu-beng-hud tertawa dingin berkata:

”Lo The, kau tidak perlu melihat, kebiasaanku dalam melakukan pekerjaan, semuanya sudah dipikirkan matang-matang, tidak akan membiarkan rahasia sekecil apa pun boleh bocor, Liu-sam telah menjual setengah arak Ni-ji-hong, dan mendapat keuntungan yang tidak sedikit, sekarang dia sudah mengembangkan usahanya, dan menambah cabang warungnya dikota mati sia-sia, di jalan ke akhirat dia akan membuka warung Gentong Arak Liu-sam!”

The Ih-hui tahu, Liu-sam sudah mati, dia sendiri juga kebanyakan tidak akan beruntung, maka sambil diam-diam mengumpulkan hawa murninya, dia menyiapkan tenaga dalamnya, dia menatap pada Bu-beng-hud:

”Kau tidak ingat Ciam Tayhiap suami istri pada tiga belas tahun lalu telah mengampunimu, sekarang kau malah berencana membalas dendam, tapi kenapa di dalam arak Ni-ji-hong, tidak ditaruh racun?”

Laut Bersalju Sungai Berdarah

LAUT BERSALJU SUNGAI BERDARAH

Angin berhembus dengan kencang, membuat daun yang sudah layu dan masih tergantung di atas pohon disapu hingga bersih. Di luar sebuah kota terpencil disana tidak tampak ada seorang pun. Di tanah yang luas itu hanya terdengar suara hembusan angin yang menusuk hingga ke telinga.

San-hai-koan adalah sebuah kota, tampaknya tidak didirikan hanya dengan tujuan menahan serangan dari bangsa luar yang menyerang kota itu, jika kita keluar dari kota ini, kita akan merasakan cuaca berubah menjadi buruk dan angin berhembus sangat kencang.

Angin utara menghantarkan suara derit roda kereta yang terus berbunyi. Setelah beberapa detik berlalu, baru terlihat ada 7-8 orang laki-laki yang berjalan sambil mengapit sebuah kereta kuda. Mereka terus berjalan memasuki sebuah hutan.

Para lelaki itu segera menghentikan keretanya, kemudian dari dalam kereta mereka mengeluarkan sebuah papan tebal dan ranting-ranting pohon besar. Tampak mereka mulai menggergaji, memukul dengan palu besar, ada juga yang sedang mengayunkan kapaknya. Mereka bekerja di belakang kereta, tidak lama kemudian mereka telah membuat sebuah kurungan yang terbuat dari kayu. Lalu mereka membongkar kereta kuda itu, roda kereta dipasangkan di bawah kurungan kayu, ternyata mereka membuat sebuah kereta tahanan.

Dari dalam kereta mereka membopong seorang lelaki berambut acak-acakan.

Seorang lelaki setengah baya membentak:

”Buka celana dan baju orang ini, masukkan ke dalam kurungan!”

Mungkin karena jalan darah lelaki tahanan itu telah ditotok maka dia tidak bisa melawan perlakuan mereka. Hanya dalam waktu sebentar, dia telah ditelanjangi, yang tersisa hanya celana dalamnya saja. Kemudian dia dimasukkan kembali ke dalam kereta tahanan yang baru dibuat, kepalanya terjulur keluar di atas kurungan kayu itu, sedangkan tubuhnya berada di dalam kurungan.

Angin yang berhembus, membuat rambutnya berterbangan tertiup angin. Kali ini baru terlihat dengan jelas ternyata wajah tahanan ini sangat tampan, putih, dan tidak bercambang, dia tampak pintar dan lincah. Sama sekali tidak mirip orang yang telah melakukan tindak kejahatan.

Lelaki setengah baya itu membuka nadi yang tadinya membuat si tahanan tidak bisa bicara.

Kao Im-liong, bagaimana rasanya angin utara ini? Saat kau membunuh, apakah ingat siksaan seperti ini akan menantimu?”

Lelaki yang berada di dalam kereta tahanan itu menjawab:

Sung Ji-cu, aku sudah mengatakan berulang kali, aku tidak membunuh Kie Eng-leng, dengan cara apa lagi aku bisa membuatmu percaya?”

Seorang lelaki agak muda yang berdiri di sisi Sung Ji-cu tampak marah, dia membentak:

”Hei bocah tengik, kau benar-benar tidak tahu diri! Kau tidak boleh menyebut nama besar Kie Tay-ya secara sembarangan!”

Dengan nada ringan Kao Im-liong berkata:

”Masing-masing orang mempunyai prinsip, kalian menganggap dia sebagai dewa, orang lain belum tentu! Wajahnya seperti apa sampai sekarang pun aku tidak tahu!”

”Siau Liu, tidak usah banyak bicara dengannya! Yang penting setelah tiba di depan kuburan Kie Tay-ya, kita ambil jantungnya untuk dipakai sembahyang dan juga untuk membalas kebaikan Kie Tay-ya kepada kita! Ayo, kita berangkat sekarang juga!” kata Sung Ji-cu

Laki-laki muda itu naik ke punggung kuda umtuk menarik kereta tahanan. Angin utara sangat dingin meniup kulit tubuh. Walaupun Kao Im-liong mempunyai ilmu silat tinggi, dia tetap saja gemetar karena kedinginan.

Saat sore tiba, walaupun sudah menotok nadi untuk kebal terhadap cuaca dingin, tetap saja dia terus gemetar seperti orang yang sedang menampi beras.

Seorang laki-laki kurus bernama Cu Po, dengan suara kecil berkata:

”Lotoa, aku takut dia tidak akan bisa bertahan sampai malam!”

Sung Ji-cu melihat hari hampir gelap, dia berkata:

”Cari tempat yang anginnya tidak kencang, dan kita menginap di sana!”

Sesudah lama mencari, mereka baru berhasil mendapatkan sebuah tempat dekat gunung, kereta pun dihentikan di tempat itu. Sesudah lelaki-lelaki itu turun dari kuda, mereka sibuk menyiapkan segala sesuatunya, kemudian mereka mengumpulkan kayu bakar dan batu. Batu-batu itu untuk membuat tungku, dan mereka juga menggunakan bebatuan itu untuk mendirikan dinding setinggi pundak, dengan tujuan menahan hembusan angin kencang.

Kayu dibakar, dan keadaan merasa hangat, tapi karena ditotok mereka, aliran darah berjalan lebih lambat, bibir Kao Im-liong masih berwarna ungu kehijauan, tapi tubuhnya tidak gemetar lagi.

Cu Po dan yang lainnya mengeluarkan bakpao daging dan dipanaskan di atas api, setelah hangat siap untuk dimakan. Sung Ji-cu duduk di sebuah batu sambil melihat Kao Im-liong yang masih berada dalam kurungan, dia berharap Kao Im-liong minta makanan kepadanya.

Tetapi dia kecewa karena Kao Im-liong tetap duduk dengan diam di dalam kurungan, seperti seorang biksu yang sedang bertapa.

”Lotoa, jarak dari sini hingga ke kuburan Kie Tay-ya masih harus beberapa hari lagi? Cuaca begitu dingin, aku takut dia tidak akan bisa bertahan.” bisik Cu Po

”Mengapa kau begitu perhatian kepadanya?” tatap Sung Ji-cu

Sifat Sung Ji-cu sangat keras, Cu Po sangat mengerti keberatannya maka dia segera menjawab:

”Jangan salah paham, aku takut dia tidak bisa bertahan sampai di tempat tujuan...”

Sung Ji-cu tampak tidak sabar dia melambaikan tangan:

”Sudahlah, beri sedikit makanan padanya!”

Cu Po membawa sepotong daging yang diasin-kan, dia menotok nadi kaki dan tangan Kao Im-liong, dan membuka totokan di bagian pinggang kemudian menyuapi-nya.

Kao Im-liong tidak sungkan, daging dan 2 buah bakpao dimakannya dengan lahap, dia juga minum banyak air kemudian dia berkata:

”Aku mau buang air besar!”

Sung Ji-cu tertawa terbahak-bahak:

”Buang saja di dalam celanamu! Dorong kereta ini ke sebelah sana, jangan biarkan bau kotorannya sampai tercium olehku!”

”Jika aku buang air kecil atau besar di celana, besok saat mulai melakukan perjalanan baunya pasti akan tercium oleh olehmu!”

”Jangan macam-macam, aku sudah menghabis-kan banyak waktu dan tenaga baru berhasil menangkapmu, mana mungkin aku akan membiar kan kau melarikan diri begitu saja!”

Kao Im-liong tertawa terbahak-bahak:

”Siapa yang menyuruhmu melepaskanku? Kedua tanganku sudah ditotok, lariku pun tidak akan lebih cepat dari seekor kuda, apalagi kalian ada 7-8 orang!”

”Baiklah, Cu Po, kau yang bertanggung jawab menjaga dia!”

Cu Po mengomel sambil melepaskan Kao Im-liong keluar dari dalam kurungan, dia membawa 2 orang anak buahnya dan menyiapkan busur, lalu mengantar Kao Im-liong buang air besar.

Kao Im-liong tampak tidak berniat melarikan diri. Setelah selesai buang air besar, dia berjalan dengan langkah besar, lalu duduk di pinggir Sung Ji-cu dan bertanya:

”Aku ingin tanya kepadamu, harap kau mau menjawab dengan jujur!”

Cu Po dengan cepat menyela:

”Masuk ke dalam keretamu, kalau tidak jangan salahkan kami berbuat kasar kepadamu!”

Kao Im-liong menjawab dengan dingin:

”Apa kau takut aku kabur? Jika aku berniat kabur untuk apa aku kembali lagi ke sini?”

Cu Po terdiam, memang benar yang di katakan oleh Kao Im-liong tapi Sung Ji-cu tetap marah:

”Sekarang yang menjadi tahanan kau atau aku? Berani sekali kau bertanya kepadaku? Hm... Aku benar-benar ingin tertawa karena kau membuatku merasa lucu!”

Kao Im-liong menjawab dengan tegas:

”Aku hanya ingin mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya? Aku mohon kau mau mengatakan padaku, bagaimana Kie Eng-leng bisa terbunuh? Dan kapan dia meninggal?”

”Kau tidak boleh memanggil namanya dengan sembarangan!” kata Sung Ji-cu marah

Dengan dingin Kao Im-liong berkata lagi:

”Kalian mendapat kemurahannya, karena itu kalian memanggilnya dengan sebutan Tay-ya, aku tidak melarang, tapi mereka selalu melakukan aksi di luar San-hai-koan. Aku belum pernah keluar dari San-hai-koan dan aku tidak kenal dengannya, hanya kadang-kadang saja ada orang yang bercerita tentangnya. Kali ini dia membuatku tersiksa, apakah aku harus seperti kalian memanggil dengan sebutan Tay-ya?”

Wajah Sung Ji-cu berubah:

”Kau benar-benar tidak takut mati?”

”Tentu saja takut! Apakah di antara kita pernah ada permusuhan? Kau berniat membunuhku karena kau menuduh aku yang menjadi penyebab kematian Kie Eng-leng!”

”Bukan curiga tapi ini adalah sebuah kenyataan! Di dunia ini kecuali dirimu, siapa yang sanggup menggunakan pedang berbentuk ular?” Sung Ji-cu menyuruh anak buahnya mengeluarkan pedang Kao Im-liong yang berbentuk ular. Kedua sisi pedang itu sangat tajam seperti kepala ular yang sedang menjulurkan lidahnya bercabang dua, panjangnya berlidah sekitar 7.50 sentimeter, pedang itu tampak bercahaya. Sekali melihat dapat diketahui kalau pedang itu bukan pedang biasa!

”Apakah ada yang melihat kalau aku she Kao yang membunuh tuan besar kalian?”

”Polisi sakti bernama Oey Pho-yam mengatakan kalau Kie Tay-ya mati karena senjata berbentuk pedang ular! Selama puluhan tahun kecuali murid Siau-liong-bun, tidak ada yang menggunakan senjata seperti ini, dan kami telah menyelidiki kalau perkumpulan Siau-liong-bun, sampai generasi kakek gurumu selalu mewariskan pada pewaris tunggal!”

”Apakah polisi yang kau maksud adalah polisi yang bernama Oey Pho-yam dari San-hai-koan?”

”Betul! Dia sering memecahkan banyak kasus, jika dia berani berkata seperti itu, semua orang akan percaya kepadanya!” Sung Ji-cu tertawa terbahak-bahak, ”karena itu kau tidak bisa berbohong lagi, aku tidak akan mudah tertipu! Masuklah ke dalam keretamu! Pedang ini dan Siau-liong-bun akan mengiringi kematianmu! Setelah kau mati tidak ada yang merasa menyesal tapi orang seperti Kie Tay-ya jika mati di tangan siluman sesat sepertimu sungguh sangat disesal-kan!”

Kao Im-liong membentak:

”Kau belum memberitahuku kapan Kie Eng-leng mati?”

”Kau membunuhnya pada bulan 8 tanggal 10, sebelum hari Tiong-ciu (hari kue bulan).”

Kao Im-liong tertawa keras:

”Pada malam Tiong-ciu, aku sedang berada di Hang-ciu tepatnya di restoran Thian-hiang, waktu itu aku sedang mabuk berat. Jaraknya begitu jauh sampai ribuan kilometer, bagaimana aku bisa ada di sana?”

”Siapa yang sudi mendengarkan omong kosong-mu?” seru Cu Po.

”Aku punya 3 orang saksi!” bela Kao Im-liong.

”Siapa mereka?”

”Pertama Gouw In-hiang, kedua Kang Guan-tiang, dan ketiga Yo Sun!” Wajah Kao Im-liong sedikit kendur, sepertinya masih ada harapan hidup karena ketiga orang itu sangat terkenal di daerah Kanglam dan bila ingin mencari mereka pasti tidak akan sulit!

Kata-kata Kao Im-liong membuat tangan dan kaki mereka dingin seperti es:

”Ketiga orang yang kau sebut tadi tentu telah menjadi kaki tanganmu atau bisa dikatakan mereka membantumu membunuh Kie Tay-ya! Kami sudah menyelidiki, mereka bertiga juga telah terbunuh oleh senjata berbentuk pedang ular!”

Sung Ji-cu marah dan membentak:

”Kao Im-liong, kau mau membantah apa lagi!”

”Kami tidak ada permusuhan denganmu, untuk apa kami jauh-jauh datang dari Song-ciu, membawamu ke tempat dingin. Jika kami tidak menyelidiki dengan benar, siapa yang sudi berbuat hal bodoh seperti kami!”

Laki-laki kurus yang bernama Thi Su-hiong berkata:

”Kau tampak terpelajar, tidak disangka kau begitu kejam, sampai teman sendiri pun kau berani bunuh!”

Kao Im-liong hanya bisa bengong:

”Aku tidak mempunyai permusuhan kepada Kie Eng-leng, untuk apa aku membunuhnya?”

”Setelah kematian Kie Tay-ya, kami baru tahu ternyata di rumahnya banyak barang antik dan lukisan langka yang telah menghilang. Semua benda-benda itu sangat mahal harganya!”

”Apakah ketika Kie Tay-ya dibunuh tidak ada saksi yang melihat? Apakah semua keluarga Kie Tay-ya pun mati?” tanya Kao Im-liong.

”Keluarga Kie Tay-ya yang berjumlah 79 orang, semua mati terbunuh!” Sung Ji-cu sangat marah, ”Kau sangat kejam dan tidak berperi-kemanusiaan! Jika kau mengingin-kan harta benda untuk apa kau harus membunuh mereka juga!”

Kao Im-liong seperti sebuah bola kempis, dia terduduk di bawah, kali ini dia merasa seperti sedang meloncat ke Sungai Huang-ho, dia tidak bisa mengembalikan nama baiknya!

Setelah lama dia baru bertanya:

”Apakah benar ketiga orang itu sudah mati, kapan mereka terbunuh?”

”Sebelum kami menangkapmu, karena kami tahu kalau mereka bertiga adalah temanmu, maka kami pun mendatangi mereka dahulu untuk menyelidiki lebih lanjut, tidak disangka keluarga mereka pun menghilang. Tentu kau yang telah membunuh mereka, kami tahu kalau kau sudah pergi ke Song-ciu maka kami pun segera menyusul ke Song-ciu!” jelas Cu Po.

”Jika begitu kalian tidak bertemu mereka?”

”Istri mereka yang mengatakannya sendiri mana mungkin mereka berbohong? Apakah istri mereka bermusuhan denganmu?”

Kao Im-liong merasa kasus yang terjadi kali ini sangat rumit dan menyangkut kematian banyak orang. Dia juga tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, dia tidak pernah berbuat salah kepada banyak orang, mengapa dia dijebak dengan cara seperti ini.

Sung Ji-cu menyuruh mereka memakaikan baju untuk Kao Im-liong, dia tetap ditotok kemudian dilempar kembali masuk ke dalam kereta tahanan.

Api unggun yang dipasang belum dipadamkan, Sung Ji-cu dan lainnya sudah tertidur nyenyak, tapi Kao Im-liong semalaman tidak bisa tidur karena dia merasa kematiannya tidak perlu disesalkan, hanya saja dia tidak ingin menanggung dosa yang tidak diperbuatnya!

Nama Siau-liong-bun sedikit aneh, biasanya orang menyebutnya ular, tapi sering juga disebut naga kecil. Perkumpulan ini disebut ’Siau-liong-bun’ karena ilmu silat perkumpulan ini berhubungan dengan ular.

Perkumpulan ini hanya perkumpulan kecil, ketika sedang mengangkat nama, tiga generasinya pun tidak lebih dari 10 orang. Tapi karena perkumpulan ini selalu melakukan perbuatan yang semaunya, kalangan golongan hitam maupun putih selalu bermusuhan dengan mereka. permusuhan ini semakin lama semakin besar, dalam suatu pertemuan akhirnya anggota perkumpulan ini mati karena diracun melalui arak, hanya cucu murid yang bernama Thio Meng-ih yang lolos, waktu itu dia sedang sakit dan tidak bisa hadir akhirnya dia bisa lolos dari bencana ini, anggota lainnya mati semua karena keracunan.